M Fuad Nasar
Sejarah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah al-Mukarramah telah berlangsung semenjak berabad-abad silam. Jalur maritim Kepulauan Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah telah dikenal sejak dahulu kala. Berbagai sumber menyebutkan bahwa sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, waktu yang ditempuh dalam transportasi laut dari Indonesia ke Jeddah menjadi lebih cepat dan lebih murah, serta relatif menguntungkan dari segi keamanan pelayaran. Sebelum ada kapal uap, perjalanan jemaah haji Indonesia untuk sampai ke Jeddah mengarungi lautan dilakukan dengan kapal layar.
Prof. Dr. Deliar Noer dalam buku Administrasi Islam Di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, 1983) menyebutkan di antara negeri-negeri bukan Arab, Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jemaah haji. Di masa penjajahan Belanda, tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927, ketika sekitar 52.000 orang pergi ke Makkah. Gelar haji dipandang sebagai gelar terhormat dan umumnya mereka memakai jubah atau serban. Nasihat-nasihat para haji diperhatikan oleh masyarakat dan ketaatannya beribadah dijadikan contoh.
Semenjak berkuasanya Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan ordonansi (regulasi) mengenai perjalanan haji. Dalam ordonansi haji 1859 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan persyaratan berangkat haji harus mempunyai cukup uang untuk membiayai perjalanan ke Makkah. Persyaratan itu dibuktikan dengan jaminan dari Bupati bahwa calon haji yang akan memperoleh paspor/pas jalan memiliki uang untuk membiayai perjalanan dan kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkannya. Perkembangan lebih lanjut ordonansi haji menjadi alat pemerintah kolonial untuk memantau aktivitas keagamaan para haji.
Kenyataannya bahwa ibadah haji memberi pengalaman spiritual luar biasa yang bersifat personal kepada pelakunya. Kalau diamati lebih jauh, ibadah haji mempertebal rasa persaudaraan di antara sesama muslim sebangsa, setahah air dan sedunia. Sejarah mencatat bahwa gerakan pembaharuan dan pemberontakan terhadap penjajahan sebagian besar digerakkan oleh kaum agama terutama dipelopori oleh para haji dan ulama muda yang pulang dari Makkah. Perjalanan haji ke Makkah mendorong transformasi sosial dan kesadaran politik-nasionalisme umat Islam Indonesia dalam napas semangat keagamaan.
Berkumpulnya jemaah haji dari seluruh pelosok dunia Islam di Makkah dan Padang Arafah dipandang sebagai Kongres Islam Sedunia. Penasihat pemerintah kolonial C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa musuh pemerintah Belanda bukanlah Islam dalam arti ibadah, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Orientalis dan ilmuwan Belanda itu memberikan saran garis kebijakan politik yang berbeda terhadap umat Islam di Hindia Belanda.
Perbaikan Perjalanan Haji
Jemaah haji Indonesia di masa lalu pada umumnya orang-orang yang sangat sederhana dan tidak banyak tuntutan. Ketika mau berangkat haji yang terbayang oleh mereka ialah pengorbanan tenaga, pikirkan, dan harta benda.
Perbaikan perjalanan haji pertama kali diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia melalui Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji diketuai oleh K.H.M. Sudja’ pada 1921. PB Muhammadiyah mengirim utusan ke Arab Saudi dan memberikan saran-saran perbaikan kepada pihak yang berwenang. Bagian Penolong Haji membentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia beranggotakan para ulama dan kaum cendekia. Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia.
Mengutip Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama RI, 1957), selama masa pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, tidak ada kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Kendala utamanya adalah tidak ada sarana transportasi massal dan faktor keamanan dalam perjalanan. Rakyat saat itu sedang berjihad melawan Belanda yang hendak kembali menjajah tanah air Indonesia.
Ulama besar Hadratussyaikh K.H. Hasjim Asy’ari (Ketua Majelis Syura Masyumi dan pendiri Nahdlatul Ulama) mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu. Kementerian Agama menyiarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari kepada seluruh penduduk dan umat Islam Indonesia. Penghentian perjalanan haji sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.
Dalam masa revolusi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengirim dua kali misi haji ke Arab Saudi. Misi Haji I tahun 1948, terdiri atas K.H.R. Muhammad Adnan, Ismail Banda, K.H.M. Saleh Suaidy, dan H. Syamsir. Misi Haji I merupakan perutusan resmi haji Indonesia yang pertama sesudah Perang Dunia Kedua. Misi Haji II tahun 1949, terdiri dari H. Abd Hamid, M. Noor Ibrahimy. Prof. Ali Hasjmy, Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, dan H. Sjamsir. Misi Haji RI mengemban tugas peribadatan dan diplomasi dalam kerangka perjuangan kemerdekaan Indonesia menentang penjajahan.
Pada musim haji tahun 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah memberangkatkan jemaah haji menggunakan sarana transportasi kapal laut dengan kotum 10.000, sementara yang terisi kurang lebih 9.907 jemaah haji. Pada waktu kapal haji yang pertama “Tarakan” hendak berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim dalam acara pelepasan jemaah haji berpesan kepada kapten kapal, “Saya percayakan keselamatan jemaah haji ini kepada Tuan. Saya harap mereka mendapat pelayanan yang sesuai dengan kehormatannya.”
Dalam buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (Badan Litbang Depag dan PPIM-IAIN Jakarta, 1998), bab “K.H. Wahid Hasjim – Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi” diungkapkan usaha penting Wahid Hasjim lainnya ketika dia menjadi Menteri Agama adalah memperbaiki penanganan urusan haji. Dia menetapkan kebijakan bahwa pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian Urusan Haji dari Kementerian Agama. Dalam pelaksanaannya, bagian ini bekerjasama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Selain pemerintah, PHI adalah satu-satunya lembaga yang mengurus masalah haji. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan calon jemaah dari tipuan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksploitasi mereka.
Perbaikan perjalanan haji meliputi dua dimensi yaitu keagamaan dan kenegaraan. Kerja Sama Kementerian Agama dengan PHI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) K.H.A. Wahid Hasjim tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RI K.H. Faqih Usman di Yogyakarta Nomor AIII/1/648 tanggal 9 Februari 1950 serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950.
Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 memperkuat kerja sama Kementerian Agama dengan PHI dengan adanya klausul bahwa penyelenggaraan perjalanan jemaah haji oleh Menteri Agama diserahkan kepada Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Yayasan PHI merupakan badan hukum milik umat Islam yang didirikan pada 21 Januari 1950 dengan Ketuanya K.H. M. Sudja’ dan Wakil Ketua K.H. A. Wahab Chasbullah, Sekretaris Muhammad Sjaubani, Bendahara Abdul Manaf, dan dibantu oleh Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Muljadi Djojomartono dan K.H. Moh. Dachlan.
Yayasan PHI dibentuk sebagai pelaksanaan resolusi Kongres Muslimin Indonesia pada bulan Desember 1949 dan pengurusnya terdiri dari para tokoh umat Islam dari berbagai golongan. Dalam periode 1960-an dan seterusnya, Pengurus PHI, antara lain H.A. Musaffa Basjyr (Ketua), K.H. Hasan Basri, H.S.M. Nasaruddin Latif, K.H. Masjkur, H. Bakrie Sudja’, H.A. Hanan Rofi’ie, dan lain-lain. Yayasan PHI menerbitkan Majalah PEHAI (Perjalanan Haji Indonesia) dan kemudian diganti nama Majalah Islam Kiblat yang mendapat sambutan hangat dari pembaca dan pelanggannya di seluruh tanah air.
Pada era perhajian dekade 1950-an sudah dikenal pembagian kuota haji (dahulu disebut kotum) masing-masing daerah. Kementerian Agama juga mengeluarkan ketentuan bagi pegawai negeri yang hendak pergi beribadah haji mendapat kotum haji secara prioritas dengan syarat-syarat tertentu dan berhak mendapat cuti besar selama tiga bulan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1955. Kotum haji untuk pegawai negeri yang mendafftar dengan syarat-syarat tertentu diambilkan dari kotum haji golongan rakyat umum.
Dalam Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 ditetapkan bahwa yang dapat diterima menjadi pelamar calon haji ialah; (a) Muslimin/muslimat penduduk Indonesia, Warga Negara Republik Indonesia atau penduduk Bangsa Asing, yang akil baligh (berumur 15 tahun ke atas), belum lanjut usia (belum tua sepuh), anggota badannya tidak cacat sedemikian rupa, sehingga ia betul-betul kuat mengurus dirinya sendiri dalam perjalanan; (b) yang mampu membayar semua biaya naik haji dengan tidak melalaikan tanggungan kepada keluarga yang ditinggalkannya dan tidak terpaksa menjual harta benda yang menjadi pokok penghidupannya; (c) yang tidak tersangkut dalam urusan Polisi/atau Pengadilan; (d) yang tidak menderita penyakit jiwa; (e) yang belum menunaikan ibadah haji, kecuali mereka yang mengantarkan istri/mukharimnya yang belum menunaikan ibadah haji; (f) yang tidak nyata-nyata berusaha untuk mencari keuntungan, seperti menjadi badal syekh dan sebagainya.
Dikutip dari buku Bunga Rampai Perhajian: Realitas dan Tantangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (Departemen Agama 2003) pada tahun 1951 Menteri Agama mengeluarkan surat edaran yang memberitahukan bahwa calon jemaah haji akan diuji pengetahuannya untuk mengetahui apakah mereka cukup memahami proses ibadah haji.
Sejalan dengan cita-cita K.H.M. Sudja’ yang mencanangkan perlunya pembelian kapal haji untuk kemandirian pengangkutan jemaah haji Indonesia, Yayasan PHI dengan dukungan Menteri Agama K.H. Masjkur tahun 1953 mendirikan PT. Pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI). Perusahaan pelayaran PT. MUSI membuka kantor di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Usaha PHI tidak mudah diwujudkan karena faktor politik, ekonomi dan kendala teknis lainnya. Kontrak PT. MUSI dengan pihak Jepang untuk pembuatan kapal-kapal haji terpaksa dibatalkan.
Sesuai kebutuhan pelayanan haji, Yayasan PHI membangun gedung-gedung wisma yang difungsikan untuk asrama haji di beberapa kota. Gedung Wisma PHI yang terbesar adalah di Cempaka Putih Jakarta Pusat. Kementerian Agama di masa itu belum memiliki Asrama Haji. Pembangunan gedung wisma PHI mendapat bantuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Agama.
Seperti diungkapkan Deliar Noer dalam buku Administrasi Islam Di Indonesia, biaya perjalanan haji tidak seluruhnya tertutup dengan pembayaran dari para jemaah haji. Pemerintah membantu dengan subsidi valuta asing. Setiap tahun pemerintah memutuskan jumlah jemaah haji yang diberangkatkan. Sistem kuota diadakan untuk keperluan penyediaan valuta asing. Haji Berdikari pernah diterapkan di masa lalu dengan tetap mendaftar sebagai calon haji. Jemaah haji berdikari harus memiliki mata uang asing untuk kebutuhan di Arab Saudi. Perjalanan haji dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pelabuhan Jeddah memakan waktu selama 16 hari atau 32 hari pulang-pergi, 48 hari di Makkah dan 8 hari di Madinah sehingga totalnya 3 bulan.
Transportasi haji dengan pesawat udara dimulai tahun 1953, meski masih lebih banyak jemaah haji menggunakan kapal laut. Perjalanan haji dengan kapal laut memberikan kesempatan kepada jemaah haji untuk mengikuti bimbingan manasik haji secara intensif lebih lama dan penyesuaian perubahan suhu udara secara alamiah.
Pemerintah mengembangkan struktur organisasi Bahagian Urusan Haji (Bahagia E) di Kementerian Agama dalam beberapa episode perubahan. Dalam Kabinet Dwikora II tahun 1965 dibentuk Departemen Urusan Haji. Presiden Soekarno mengangkat Prof. K.H. Farid Ma’ruf, seorang ulama intelek Muhammadiyah dari Yogyakarta, sebagai Menteri Urusan Haji. Menteri Urusan Haji berada dalam lingkup koordinasi Menteri Koordinator Urusan Agama yang saat itu dijabat oleh Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.
Departemen Urusan Haji telah meletakkan dasar-dasar dan prinsip pelaksanaan penyelenggaraan urusan haji secara modern dalam segala bidang pekerjaan dan tugas-tugasnya. Juga dalam aspek peningkatan up grading dan coaching kepada seluruh calon haji dan para petugas haji seluruh Indonesia mengenai pengetahuan agama, akhlak dan pengetahuan umum seperlunya.
Pemerintah melalui Kementerian Agama tiap tahun menetapkan Majelis Pimpinan Haji disingkat MPH (kini Amirul Hajj). MPH berfungsi sebagai ketua rombangan haji mewakili negara. MPH juga bertugas untuk melatih para jemaah dalam ibadah haji sejak di tanah air dan memberi petunjuk selama perjalanan. Keanggotaan MPH terdiri dari tokoh-tokoh berbagai organisasi Islam dan pejabat dari berbagai kementerian.
Umat Islam Memiliki Kapal Haji
Sesudah penyerahan kedaulatan, Menteri Agama RIS K.H.A. Wahid Hasjim tahun 1951 menghidupkan kembali cita-cita lama umat Islam Indonesia melalui para pemimpinnya untuk memiliki kapal haji. Usaha pengumpulan saham kepada calon-calon haji untuk pembelian kapal haji dihidupkan kembali. Rencana tersebut menemui kegagalan dan uang saham yang telah terkumpul dikembalikan kepada masing-masing tanpa potongan.
Cita-cita pengadaan kapal haji yang mengalami liku-liku sejarah panjang baru terwujud pada 1 Desember 1964/27 Rajab 1384 dengan berdirinya PT. Pelayaran Arafat. Pelindung PT. Arafat adalah Presiden Soekarno selaku pribadi. Para pendiri PT. Pelayaran Arafat antara lain; Letjen H.M. Muljadi Djojomartono selaku Ketua Wali Pemegang Saham, Jenderal A.H. Nasution, Ali Sadikin, H. Anwar Tjokroaminoto, K. Broto Sutardjo dan H. Bakrie Sudja’. Sri Sultan Hamengkubowono IX juga sebagai pendiri PT. Pelayaran Arafat. Saham PT. Pelayaran Arafat berasal dari umat Islam calon jemaah haji dan saham pemerintah. Pengumpulan dana sebagai saham pembelian kapal haji diatur dan dilaksanakan oleh Dewan Urusan Haji dengan restu Presiden Soekarno.
Saya kutip tulisan H.A. Musaffa Basjyr dalam “Tajuk Rencana” Majalah Bulanan Islam Kiblat edisi No 1 Tahun Ke XII/1965 mengulas peresmian PT. Pelayaran Arafat bahwa lahirnya PT Arafat adalah suatu pembuktian bahwa umat Islam dalam mengejar cita-citanya, tidaklah kenal putus asa, walaupun sebelum itu telah menemui kegagalan-kegagalan, semua tetap dalam tekad untuk mencapainya.
PT. Pelayaran Arafat tahun 1965 membeli 3 buah kapal laut untuk pengangkutan jemaah haji. Salah satunya diberi nama oleh Presiden Soekarno, Kapal Nyut Nya’ Dhien Srikandi Muslimah. Sedangkan permintaan untuk menyelenggarakan perjalanan haji dengan pesawat udara tidak disetujui pemerintah. Setelah beberapa tahun beroperasi, perusahaan milik umat Islam itu mengalami kesulitan keuangan disebabkan missmanagement di tengah semakin bertambahnya pendaftar haji. Pemerintah tidak bisa menyelamatkan PT Pelayaran Arafat dan menyatakannya pailit sekitar tahun 1976. Perjalanan haji dengan transportasi kapal laut ditiadakan mulai tahun 1979, tidak lama setelah PT. Pelayaran Arafat dinyatakan pailit. Sejak saat itu transportasi haji hanya menggunakan pesawat udara.
Haji Tugas Nasional
Sejak dekade pertama Orde Baru penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah seluruh Indonesia. Perubahan kebijakan dimulai di masa Menteri Agama K.H. Moh Dachlan. Pada waktu itu terbit Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 tanggal 7 Maret 1969 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1969 yang mengatur penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
Pemerintah berupaya meyakinkan masyarakat agar bisa menerima kebijakan “monopoli” penyelenggaraan haji oleh pemerintah untuk kepentingan jemaah haji. Kebijakan melarang penyelenggaraan haji oleh organisasi atau swasta dikritik oleh sejumlah tokoh umat Islam karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kebebasan beragama dan beribadah serta melanggar Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 mengenai larangan monopoli yang merugikan rakyat. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud dalam Musyawarah Kerja Urusan Haji Ke-5 se-Indonesia tanggal 24 Maret 1969 menyampaikan bahwa dalam menyelenggarakan urusan haji tidak ada motif-motif catut, dagang atau cari untung pada pemerintah.
Sejalan dengan penguatan tata kelola haji Pemerintah membentuk Badan Koordinasi Penerangan Haji (Bakopen Haji) yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat. Sebelumnya, di masa Orde Lama sudah ada Dewan Urusan Haji (DUHA) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat H.M. Muljadi Djojomartono.
Kebijakan pemerintah secara drastis mengambil-alih penyelenggaraan haji dilatarbelakangi kekecauan pengurusan haji oleh pihak swasta dalam hal ini Mukersa Haji dan Yayasan Al-Ikhlas. Ketika itu Yayasan Al-Ikhlas akan memberangkatkan 850 jemaah haji dengan mencarter kapal Tampomas. Pembayaran cek untuk biaya pengangkutan jemaah haji di Bank of America ternyata cek kosong disebabkan dananya tidak mencukupi. Pembatalan keberangkatan calon haji ke tanah suci ketika itu menjadi isu nasional yang memilukan.
Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (Husami) yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua Yayasan telah merencanakan akan menyelenggarakan perjalanan haji dan telah lebih dari 1.000 orang calon jemaah haji mendaftar dan telah menabung. Husami terkena dampak tidak diperbolehkan memberangkatkan jemaah haji. Sementara itu kondisi keuangan dan manajemen Husami juga bermasalah. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah melarang penyelenggaraan haji oleh organisasi atau swasta dimaksudkan untuk melindungi jemaah haji, meski tidak memuaskan semua pihak.
Kementerian Agama kemudian melakukan restrukturisasi organisasi yang menangani urusan haji dengan membentuk Direktorat Jenderal Urusan Haji, dengan Dirjen Haji yang pertama yaitu Prof. K.H. Farid Ma’ruf (mantan Menteri Urusan Haji). Direktorat Jenderal Urusan Haji pernah digabung dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Sejak tahun 2010 dipisah kembali menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Pembenahan dan penyempurnaan manajemen dan pelayanan haji dilakukan oleh Kementerian Agama secara bertahap dan berkelanjutan.
Menteri Agama periode 1978 – 1983 Alamsjah Ratu Perwiranegara memprogramkan pembangunan asrama haji yang representatif. Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur (UPT Asrama Haji Embarkasi Jakarta) merupakan asrama haji pertama yang dibangun pemerintah.
Dalam autobiografi Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995) Alamsjah Ratu Perwiranegara bertanya kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Burhani Tjokrohandoko; apakah selama ini tidak pernah ada gagasan untuk membangun asrama haji yang berkapasitas besar. Ada rencana tetapi tidak pernah kesampaian karena kendala anggaran. Alamsjah melapor kepada Presiden Soeharto dan meminta izin untuk menggunakan sisa dana operasional haji untuk membangun asrama haji di atas lahan kosong milik Kementerian Agama di Pondok Gede. Presiden setuju dan mengizinkan, mengingat sisa dana haji bukan milik Kementerian Agama, melainkan yang punya umat Islam, jadi harus dikembalikan kepada umat Islam.
Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher periode 1993 – 1998 membuat kebijakan strategis pengembangan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan membentuk Dana Abadi Umat (DAU). Dana Abadi Umat diperoleh dari efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Untuk penataan manajemen keuangan haji, Kementerian Agama waktu itu mendatangkan konsultan yang berpengalaman di bidang perbankan.
Sejak awal reformasi di masa Presiden B.J. Habibie dan Menteri Agama Prof. H.A. Malik Fadjar, lahir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Undang-Undang menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji.
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memberangkatkan jemaah haji dalam jumlah terbesar dibanding negara lain. Pendaftaran calon jemaah haji Indonesia dibuka setiap hari sepanjang tahun, namun jumlah jemaah haji setiap negara dibatasi kuota yang ditetapkan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sesuai kapasitas tempat pelaksanaan ibadah haji. Calon jemaah haji yang sudah mendaftar dan memperoleh nomor porsi dapat mengecek sendiri jadwal tahun keberangkatannya melalui aplikasi SuperApps Pusaka yang dikembangkan Kementerian Agama.
Daftar tunggu atau antrian keberangkatan calon jemaah haji Indonesia hingga puluhan tahun, menjadi tantangan tersendiri yang belum terpecahkan. Sejak tahun 2023 Kementerian Agama dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memperkenalkan tagline Haji Berkeadilan dan Berkelanjutan.
Pelayanan haji Indonesia secara manajemen sangat baik sehingga mendapat apresiasi dari Kerajaan Arab Saudi. Kementerian Haji Arab Saudi mengakui jemaah haji Indonesia sangat tertib dan baik. Survei indeks kepuasan jemaah haji oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun meningkat sejalan dengan inovasi pelayanan haji yang dilakukan Kementerian Agama.
Pada musim haji tahun 1443 H/2022 M indeks kepuasan jemaah haji Indonesia mencapai angka 90,45 atau masuk kategori sangat memuaskan. Indeks di atas angka 90 adalah yang tertinggi dalam 11 kali pelaksanaan survei oleh BPS sejak 2010.
Pemerintah Arab Saudi sebagai Khadimul Haramain al-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) telah membangun berbagai fasilitas modern untuk melayani jemaah haji dari seluruh dunia. Jemaah haji Indonesia, khususnya jemaah haji regular, sudah tidak lagi menempati rumah-rumah Syekh dan pemondokan sederhana. Akomodasi jemaah haji Indonesia di Makkah dan Madinah disiapkan sesuai standar hotel berbintang.
Sejak beberapa tahun terakhir Arab Saudi melakukan perluasan area Masjidil Haram, Muzdalifah dan Mina supaya bisa menampung sekitar dua setengah juta jemaah haji. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, Arab Saudi membuat sistem elektronik haji atau e-Hajj yang memuat informasi penting, seperti pembagian kuota jemaah haji regular, haji khusus dan kuota petugas.
Kendati pelayanan dan kenyamanan di tanah suci adalah sangat penting, namun itu bukan menjadi tujuan datang ke Makkah. Haji ke Makkah adalah hanya untuk ibadah. Para pembimbing dan petugas haji perlu terus mengingatkan jemaah untuk memahami hakikat ibadah haji sebagai panggilan suci dan harus didasari dengan niat yang suci pula agar memperoleh haji mabrur.
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang.