(Panjimas.com) – Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme – isme yang lainya yang merujuk pada cara berfikir atau suatu aliran berfikir. Dengan demikian filsafat pragmatism beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini pertama kali tumbuh di amerika sekitar abad ke 19 hingga awal 20.
William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekwensi logis penerapan konsep tersebut. Penganut pragmatisme lain mengatakan suatu ide atau tanggapan dianggap benar jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu yang membawa kearah penyelesaian yang tepat (berhasil).
Kita sering mendengar perkataan “Kita harus realistis”. Kata ini cukup gencar disampaikan saat menjelang pemilu. Mengingat tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik (pileg,pilbub,pilgub,dan pilpres). Sepintas kalimat itu biasa saja. Padahal jika kita cermati secara mendalam kalimat itu membawa implikasi yang sangat mendasar karena kalimat tersebut kemudian menjadi argumentasi dalam setiap tindakan politik. Hali ini menimbulkan sikap pragmatis dalam kancah politik yang akhirnya menonjolkan sikap tunduk pada realita ( kenyataan).
Banyak orang yang mengatakan, ”Demokrasi memang bukan berdasarkan islam tapi kenyataanya kan kita hidup dalam sistem demokrasi.” Seakan itulah realita yang ada yang tidak bisa dirubah. Akhirnya kepentingan (kemanfaatan) sesaatlah yang diambil sebagai standart keputusan, tidak peduli bahwa hal itu bertentangan dengan idealism. Dengan alasan kemanfaatan, yang salah kemudian dibenarkan. Contoh, “Pemimpin (presiden) wanita memang dilarang dalam Islam. Akan tetapi, itu lebih baik dari pada dipimpin A yang berbahaya.” Muncul pula koalisi tanpa memandang apakah yang diajak berkoalisi seideologi atau tidak. Alasanya juga kemanfatan. Kita bisa melihat isu besar dinegeri ini beberapa waktu lalu di ibukota, haramnya pemimpin kafir dan isu pembubaran ormas islam yang mengantarkan pada dua kubu sesuai kedua isu tersebut. Yakni umat islam yang berharap dengan isu tersebut dapat menyatukan dan menguatkan ukhuwah umat ditahun politik yang akan mengubah pemetaan warna parpol dari warna pragmatisme ke warna ideologis. Namun karena kepentingan koalisi pragmatis lebih diutamakan ketimbang kepentingan umat islam secara lebih luas. Padahal, pragmatisme sangat bertentangan dengan islam karena islam memandang standar perbuatan adalah halal dan haram, bukan kemanfatan ( kepentingan) berdasarkan realita atau fakta yang dihadapi.
Allah Swt berfirman:
“ Ikutilah apa yang diturunkan Allah kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti Wali (Pemimpin/sahabat/sekutu) lainya.” ( QS Al-A’raf [7]: 3).
Ayat diatas melarang kita mengikuti apa saja yang tidak diturunkan oleh Allah Swt, termasuk manfaat-manfaat atau berbagai fakta yang muncul dalam kehidupan. Islam memandang perbuatan manusia ditentukan oleh syariat, bukan manusia ,bukan pula ditentukan oleh adanya suatu manfaat atau karena adanya kebutuhan manusia. Akan tetapi tidak berarti islam meniadakan perhatiaan pada kemanfaatan, hanya saja semua kemanfaatan yang ada harus distandarisasi oleh syariat islam. Boleh dan tidaknya kemanfaatan tersebut bukan mutlak berdasarkan kebutuhan manusia yang dipandang pasti benar. Namun harus mendasarkan pada syariat,ketika pada syariat itu membolehkan maka bisa diambil dan dilaksanakan untuk mendapatkan kemaslahatan yang haqiqi, jika tdak didiperkenankan pasti akan membawa suatu keburukan atau bahaya ketika dilaksanakan.
Masyarakat harus semakin cerdas dalam melihat kondisi perpolitikan saat ini, jika koalisi pragmatisme dilaksanakan hanya untuk mencapai kesuksesan pada kekuasaan maka jangan harap kebijakan dan pengurusan urusan umat akan mengedepankan aspek syariat justru yang pasti pelanggaran atas hokum syariat itu sendiri.
Munculnya orang-orang partai pragmatis di negeri Islam tak lepas dari upaya Barat dalam mengokohkan kedudukanya diwilayah tersebut. Tentu Barat tidak menginginkan ada orang-orang / partai partai yang ideologiya (Islam) bertentangan dengan ideologinya (kapitalis/sosialis komunis) untuk berkuasa disuatu negeri yang akan mengganggu dominasinya serta kepentingan-kepentinganya.
Walhasil, sikap bersikukuh untuk mengambil dan melaksanakan sikap politik yang didasarkan pada asas manfaat akan menyesatkan dan bisa mengantarkan pada bentuk pengkhianatan terhadap kebenaran islam. Alih-alih kesejahteraan yang diimpikan terwujud,kesengsaraan dan nestapa ada didepan mata. Jika sengsara dan derita hanya untuk sesaat itu merupakan ujian,namun jika hal itu hingga ke anak cucu kedepan dan lebih parah lagi imbasnya hingga diakhirat. Semuanya harus dipertanggungjawabkan dihadapan ilahi robbi masihkan kita abai dan tidak peduli. Wallahu a’ lam bish- shawab. [RN]