JAKARTA (Panjimas.com) – Setiap 21 April Bangsa Indonesia meringatin Hari Kartini. Kartini, atau lengkapnya Raden Adjeng Kartini, atau disingkat R.A. Kartini, adalah pahlawan nasional wanita yang kita kenal sebagai ikon emansipasi wanita di Indonesia. Dalam Lagu Wajib “Ibu Kita Kartini”, ia diposisiin sebagai ibu Bangsa Indonesia.
Sebenernya klaim R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi bisa dibilang aneh. Kenapa? Karna Belanda-lah pengusung pertamanya. Pemilihan R.A. Kartini sebagai lambang emansipasi wanita oleh Bangsa Indonesia, menurut sejarawan Harsja W. Bachtiar, cuman ngambil alih aja dari orang Belanda. Semasa hidupnya, R.A. Kartini nggak dikenal ama pribumi di luar lingkungan pribadinya. Orang-orang Belanda-lah yang ngenalin namanya ke kita setelah wanita bangsawan ini wafat.
Dalam catatan sejarah, tokoh sosialisme H.H. van Kol n penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer-lah aktor terdepan yang nampilin R.A. Kartini sebagai pahlawan wanita Indonesia. Sebelumnya, Dr. Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda, punya “proyek” khusus terhadap Kartini. Ia ngedorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Pemerintah Kolonial, ngasih perhatian special buat Kartini n dua saudarinya.
R.A. Kartini juga deket ama Estella Zeehandelaar, seorang penganut Yahudi, aktivis Freemasonry, n aktivis Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Cewek Belanda yang akrab dipanggil Stella ini ngenalin ide-ide Barat, terutama soal perjuangan wanita n sosialisme, ke Kartini.
Dalam perkembangannya, R. A. Kartini akrab banget ama Nyonya Abendanon n Stella. Ia rajin berkirim surat ama kedua perempuan Belanda itu. Curhatan-curhatannya soal feodalisme di kalangan bangsawan Jawa n keluhannya soal diskriminasi terhadap kaum wanita, jadi pintu masuk mereka berdua buat ngewarnain pemikiran Kartini.
R.A. Kartini nggak berumur panjang. Ia wafat dalam usia 25 tahun (1911). Enam tahun setelah kematiannya, J.H. Abendanon nerbitin sebuah buku berisi surat-surat Kartini yang diberinya judul Door Duisternis tot Lich (bahasa Belanda). Beberapa waktu kemudian nyusul terbit edisi Bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Lalu pada 1922 diterbitin lagi dalam Bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.
Seorang wanita bangsawan pribumi yang rajin berkorespondensi ama dua perempuan Belanda dengan pembahasan seputar budaya feodal n diskriminasi terhadap kaum hawa, yang kemudian surat-suratnya diabadiin jadi sebuah buku oleh Si Belanda setelah wafatnya, pada kelanjutannya dapet gelar Pahlawan Nasional n jadi Pahlawan Nasional wanita paling populer karna ultahnya dijadiin Hari Besar Nasional (Hari Kartini) -sementara nggak ada pahlawan lain yang ultahnya dijadiin hari besar dengan sebutan sesuai nama si bersangkutan. Nggak cuman gitu aja, perayaan Hari Kartini juga dibikin special n meriah. Aneka perlombaan, event, n kegiatan digelar oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ada yang esensinya lumayan, kayak bakti sosial n semacamnya; tapi nggak dikit juga yang cenderung cuman ngedepanin kulit n miskin isi, kayak event-event hiburan n ajang promo produk yang bikin kaum hawa tambah semangat buat shopping.
Apa bener R.A. Kartini wanita terhebat? Apakah Bangsa Indonesia nggak punya tokoh wanita yang punya andil lebih besar dalam perjuangan dibanding R.A. Kartini? Gimana dengan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, n yang lainnya, apa mereka nggak sehebat Kartini?
Ternyata enggak, tuh. Bukan R.A. Kartini yang terhebat! Banyak tokoh wanita yang punya peran lebih nyata dibanding R.A. Kartini. Kalo Kartini baru sebatas nyampein gagasan-gagasannya ke dua sahabat pena-nya yang orang Belanda, sejumlah wanita Nusantara telah ngelakuin tindakan yang lebih riil n nampak hasilnya. Kalo pemikiran Kartini baru disampein via surat ke Stella n Nyonya Abendanon, Rohana Kudus nge-publish gagasan-gagasannya via koran-koran yang ia terbitin sendiri. Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang), n Cahaya Sumatera (Medan), adalah media-media yang ngemuat karya pena Rohana.
Di Aceh, prajurit n panglima perang wanita bukan merupakan fenomena aneh di zaman penjajahan. Bahkan sebelum Belanda datang ke Nusantara, Kerajaan Aceh udah punya Panglima Angkatan Laut wanita bernama Malahayati.
Selain kedua nama di atas, Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Meutia, Dewi Sartika, dll, tercatat punya peran besar dalam perjuangan ngusir penjajah n ngewujudin kedaulatan Nusantara. So, sebagai generasi muda Muslim, kita jangan cepet-cepet ikut-ikutan gitu aja ngeidolain R.A. Kartini dengan berlebihan. Kita mesti adil ngasih penghargaan. Enggak bijak kiranya kalo Bangsa Indonesia disibukin dengan agenda perayaan Hari Kartini, sampai ngelupain pahlawan-pahlawan wanita lainnya. Sebagai remaja Muslim yang baik, seyogianya kita punya kemauan melek sejarah. Kita kenali para pahlawan yang gigih berjihad ngusir penjajah, n neladanin kebaikan-kebaikannya. Wallahu a’lam. [IB]