PANJIMAS.COM – Modernisasi adalah proses transformasi dari mekanisme sederhana ke yang lebih mutakhir dan maju. Ia bermula di Inggris dengan peristiwa Revolusi Industri (1760-1830) yang ditandai penemuan Mesin Uap oleh James Watt, dan disusul penemuan-penemuan lain di bidang teknologi.
Modernisasi nggak melulu ada di ranah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) aja loh, ia juga merambah ke ranah pemikiran (fikrah). Buah modernisasi pemikiran antara lain, sekularisme, liberalisme, pluralisme, relativisme, demokrasi, dan feminisme.
Kemunculan modernisasi secara umum disambut ceria oleh mayarakat dunia, nggak terkecuali kaum Muslim, dan lebih-lebih anak mudanya. Sebenernya baik sih, klo tuh sambutan (respon) didasari semangat keilmuan dan spiritualitas. Temuan-temuan IPTEK misalnya, bakal memantik kesadaran Muslim atas ke-Mahabesar-an Allah subhanahu wa ta’ala. Alhamdulillah, realitas kayak gini bisa kita jumpai ampe hari ini.
Sebaliknya, klo respon terhadap modernisasi kita lakuin secara membabi buta, secara belum apa-apa udah segitu-gitunya terpesona, bakalan gawat deh jadinya. Kita saksiin saat ini, betapa realitas kayak gini beneran kejadian. Kaum Muslim banyak yang terjerat jebakan modernisasi. Kemajuan iptek yang harusnya ngemudahin aktivitas, interaksi, dan komunikasi, malah jadi perampas waktu yang kita miliki. Kecanggihan teknologi harusnya ngebikin kita punya waktu luang lebih panjang karena aktivitas dan keperluan hidup bisa diberesin lebih cepet. Tapi faktanya sebaliknya, jatah waktu manusia yang udah ditakar tetap sama Allah subhanahu wa ta’ala habis cuman buat bergerak ngikutin irama modernisasi, buat nikmatin kemanjaan-kemanjaan yang disuguhin ama perangkat berteknologi tinggi. Waktu buat bertafakkur, berzikir, berkhalwat ama Allah subhanahu wa ta’ala pun jadi sempit akhirnya, bahkan sama sekali nggak ada. Astaghfirullah al-Azhiim. Rugilah hidup ini…
“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.” (al-Ashr: 1-3).
So, biar nggak jadi korban modernisasi dan mampu ngambil manfaat darinya, kita harus paham dan tau dampak positif maupun negatifnya. Klo udah gitu, insya Allah kita sebagai generasi muda Islam bisa nempatin diri dengan tepat, sehingga mampu ngerespon modernisasi yang nyelimutin masyarakat kita dewasa ini dengan sikap yang tepat.
Berikut ini dampak positif modernisasi di ranah iptek. Pertama, perubahan tata nilai dan sikap. Contohnya perpindahan sudut pandang dari mistik ke sains. Kedua, berkembangnya iptek. Pengaruhnya pada kalancaran aktivitas dan terpenuhinya berbagai kebutuhan, termasuk kemudahan berdakwah n thalabul ‘ilmi.
Sebaliknya, dampak negatif modernisasi teknologi adalah sebagai berikut. Pertama, pola hidup konsumtif. Ini bisa ngerdilin kemandirian umat, karena ngerasa nggak bisa bikin apa-apa sendiri dan harus beli. Parahnya, belinya ke cukong-cukong kapitalis. Kedua, sikap individualistik. Ini bikin ikatan batin dan keakraban dengan sesama melemah. Ketiga, gaya hidup kebarat-baratan. Ini sebagai wujud pengidolaan bangsa sumber modernisasi (Barat). Klo yang ditiru baiknya sih keren. Masalahnya yang ditiru ama anak muda kebanyakan adalah seni budayanya yang nggak bermoral. Keempat, kesenjangan sosial. Ini terjadi antara orang yang ngikut arus modernisasi ama yang bertahan pake tradisi lama. Kelima, kriminalitas. Demi ngimbangin “kemajuan” orang lain, jalan haramlah yang jadi pilihan. Naudzubillahi min dzalik. Hal ini juga dipicu oleh menipisnya rasa kekeluargaan akibat mental individualistik.
Selanjutnya, yuk simak firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut ini.
“Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, surgalah tempat tinggal(nya).” (an-Nazi’at: 37-41).
Hayo, pilih mana…? Nih ayat jelas ngingetin kita akan bahaya ngerespon modernisasi dengan tanpa dasar ilmu Din dan iman yang mantab.
Lanjut lagi, coba kita dengerin nasihat ulama satu ini. Syaikh al-Maududi rahimahullah bilang bahwa pemuda Muslim cuman punya dua senjata ampuh buat bekal berkelana di belantara kehidupan modern. Apa aja itu?
(1) “Hendaklah engkau ketahui secara utuh hidayah yang Allah turunkan kepada Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Imanilah hidayah itu dengan tulus ikhlas, jadikanlah ia sebagai bagian kehidupanmu di dunia. (2) Hendaknya engkau memersenjatai diri dengan akhlaq mulia. Wahai kaum muda, aku tandaskan bahwa engkau dapat menaklukkan musuh bila memersenjatai diri dengan dua hal itu. Dua senjata yang juga dipakai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam untuk menaklukkan Bangsa Arab.” (al-Maududi, Tahaddiyatul Ashir Jadid wa asy-Syabaab).
Harus selalu kita inget juga bahwa kemuliaan seseorang di mata Allah subhanahu wa ta’ala nggak diukur dari predikat-predikat kasat mata kayak harta, jabatan, dan ketampanan atawa kecantikan. Tapi ukurannya adalah ketaqwaan. Klo prinsip ini beneran tertanam dalam hati, insya Allah kita nggak bakalan terjerat oleh jebakan modernisasi.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat: 13).
Lantas kayak apakah gambaran orang bertaqwa itu?
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu, dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (al-Baqarah: 3-4).
Probadi kayak gitulah yang mampu ngerespon modernisasi dengan sikap positif, konstruktif, beradab. Mereka berhati-hati dan waspada terhadapnya karna tau kalo ada jebakan di dalamnya. Wallahu a’lam. [IB]