PANJIMAS.COM – Imlek adalah nama kalender bangsa Tionghoa. Ia pakai sistem qamariyah, yaitu mengacu pada perputaran bulan. Dahulunya, kalender Imlek digunain sebagai acuan dalam bertani.
Sama kayak dalam tradisi bangsa-bangsa lain, Tahun Baru Imlek juga diperingatin dan dirayain oleh Bangsa Tionghoa. Bahkan perayaan Tahun Baru Imlek jadi hari raya terpenting dalam tradisi mereka. Dalam perayaan tersebut, mereka masangin lampion atau lentera yang bentuknya kayak bola, berkelir merah dengan aksen warna emas, di berbagai tempat. Bagi Bangsa Tionghoa, lampion itu nggak cuman jadi hiasan loh. Lebih dari itu, ia dijadiin simbol keberuntungan. Selain lampion, kembang api juga jadi ciri perayaan Tahun Baru Imlek.
Warna merah dalam perayaan Tahun Baru Imlek nggak cuman jadi milik lentera aja, pakaian dan atribut yang dikenakan maupun pernak-pernik lain yang dipajang pun didominasi warna tersebut. Emmm… kenapa merah yang dijadiin warna pilihan ya? Mau tau? Yup! Hal ini berkait erat ama mitos yang melegenda dalam tradisi Tionghoa. Demikian juga kembang api, ia nggak sekadar jadi hiburan loh, melainkan terkait juga ama mitos tersebut. Penasaran kayak gimana mitosnya?
Gini nih… Menurut legenda, zaman dahulu kala ada sesosok raksasa bernama Nian yang muncul dari pegunungan (menurut versi lain dari bawah laut) pada akhir musim dingin. Ia datang buat memangsa hasil panen, ternak, bahkan penduduk desa. Syerem, kan…? Makanya, warga desa –entah dapet inspirasi dari mana– kemudian ambil langkah “diplomatis”. Mereka naruh makanan (sebagai sesaji) di depan pintu rumah masing-masing pada awal tahun. Mereka percaya, dengan cara itu Nian nggak bakalan memangsa hasil panen, ternak, dan manusia lagi, karna udah ngerasa cukup dengan melahap habis hidangan istimewa untuknya.
Tapi pada suatu ketika, penduduk desa ngeliat Nian lari tunggang-langgang kayak lagi ketakutan gitu. Tentu mereka jadi gembira deh. Gembira bercampur tanda tanya, ada apakah gerangan? Selidik punya selidik, ternyata tuh raksasa baru aja ketemu ama seorang anak kecil berpakaian serba merah gitu. Nah, singkat kisahnya, tersimpulkanlah bahwa Nian takut ama yang namanya warna merah. Sejak itu, setiap kali tahun baru akan tiba, penduduk ngegantungin lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu setiap rumah. Selain itu, mereka juga nyalain kembang api biar rasa takut Nian kian bertambah.
Gitu tuh mitosnya, yang kayaknya emang dipercaya ama sebagian Bangsa Tionghoa dan jadi latar belakang ritual dan simbolisasi perayaan Tahun Baru Imlek sampai sekarang ini.
Di negara kita Indonesia tercinta ini nih, sebelum tahun 2000, peringatan tahun baru Imlek cuman boleh dilakuin secara tertutup oleh kalangan Tionghoa aja. Tapi semenjak tahun tersebut, mereka diizinin ama pemerintah buat ngadain perayaan di ruang publik. Lalu berlanjutlah sampai saat ini.
Perayaan tahun baru Imlek beberapa tahun belakangan ini diikuti oleh berbagai kalangan dari berbagai agama dan ras. Maklumlah, ia digelar di ruang-ruang publik. Hiasan lampion yang menyala merah dengan jumlah sangat banyak dan ditata dengan konfigurasi yang indah, bikin banyak orang pengin nonton dari deket dan berlama-lama. Kaum Muslim pun jadi turut serta deh, berduyun-duyun dateng nonton-nonton lampion dan berswafoto dengan latar belakang pernik khas Imlek tersebut.
Perayaan Tahun Baru Imlek dengan simbolisasi yang dilatarbelakangin kepercayaan non Islam, tentu nggak boleh dianggap hal yang biasa aja, karna ini udah masuk ranah aqidah. Lalu bolehkah Muslim dateng ke tempat acara sekadar buat nonton lampion dan berfoto-foto? Mari kita simak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut.
“Aku mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; Idul Fitri dan Idul Adha.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan di Madinah cuma berisi hiburan dan makan-makan, sama sekali tanpa ada ritual ala Majusi. Namun begitu, tetap aja Nabi saw dengan bijak melarangnya. Beliau menyampaikan larangan dengan santun tapi tegas, dibarengi ngasih alternatif lain sebagai penggantinya.
Suatu ketika, saat Idul Adha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya, dan hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Sebuah ayat ngasih kita pembelajaran adab ketika terjadi perayaan keagamaan selain Islam.
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (al-Furqan: 72)
Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud al-zur (perbuatan tak berfaedah) dalam ayat di atas adalah perayaan-perayaan orang kafir. (Ibnu Katsir, 6/130).
Nah, berkaca pada dalil-dalil di atas, alangkah lebih selamatnya kalo kita nggak ngedatengin perayaan Tahun Baru Imlek, kalo emang sekadar buat nyari hiburan. Berbeda kalo kita dateng guna keperluan khusus dan emang dibutuhin. Misalnya aja buat penelitian atau pengamatan ilmiah, guna ngedapetin inspirasi dan data buat kepentingan dakwah, atau hal-hal yang maslahah lainnya, yang kalo tanpa terjun ke lapangan, kita nggak mungkin bakal ngedapetin data yang kuat dan akurat. Dan tentu itu cukup dilakuin seperlunya saja. Wallahu a’lam. [IB]