(Panjimas.com) – Marah adalah sikap yang nggak disuka dalam Islam. Kita mesti menahannya, karena ia nggak bakal jadi solusi problem kehidupan. Tapi, buat yang satu ini, marah jadi bukti keimanan. Kalo nggak marah, diragukanlah iman di dada. Marah atas apakah ia? Yuk, simak aja!
Rasulullah saw nggak pernah marah ketika dirinya sebagai pribadi disakiti. Beliau pemaaf, amat sangat ringan ngasih maaf. Bahkan, kebajikanlah beliau jadiin balasan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, seorang lelaki bilang ke Nabi saw,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab, “Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari).
Nasihat Rasulullah saw itu sesuai firman Allah swt:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Qs. Ali ‘Imran [3]: 134).
Berarti Rasulullah saw nggak pernah marah sama sekali? Nggak juga. Beliau manusia, marah udah jadi bagian dari fitrahnya. Cuman, marah beliau pada tempatnya. Di manakah?
Rasulullah saw bakal sangat marah kalo ada hukum Allah swt dilanggar, kehormatan Islam dan Muslim diinjak-injak. Contoh kasus, pernah Zaid bin Haritsah minta pengampunan buat wanita Makzumiyyah yang mencuri. Juga saat seseorang manjangin bacaan shalatnya sampai bikin orang enggan shalat berjama’ah. Saat itu beliau marah. Banyak hadits yang nyebutin Nabi saw marah lantaran sikap negatif orang terhadap Islam.
Dari ‘Aisyah ra, “Rasulullah saw tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, dan tidak pula pernah memukul wanita (istri), dan nggak pernah memukul seorang pembantu. Beliau hanya memukul jika berjihad di jalan Allah. Dan tidak pernah sama sekali karena beliau disakiti, memberi balasan kepada pelakunya. Kecuali, kalau ada suatu perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau bakal ngebalas dengan hukuman, hanya karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim).
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata,“Tidaklah Rasulullah saw disuruh memilih di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya. Kalo perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggarlah, beliau bakal ngebalas dengan hukuman terhadap perkara itu, karena Allah swt.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ulama membagi kemarahan jadi tiga. Pertama, marah yang terpuji. Yaitu marah karena Allah disebabin adanya hukum dan aturan Allah swt yang dilanggar, atau demi ngebela agama Allah dan kehormatan umat Islam. Kedua, marah yang diharamkan. Yaitu marah karena demi membela kebatilan dan kemaksiatan. Kayak marah ngeliat hukum Allah swt ditegakin, marah ngeliat banyak cewek nutupin aurat, atau marah demi ngebela kemunkaran kayak pornografi, perjudian, perzinaan dan kemaksiatan lain. Ketiga, marah yang dibolehin, tapi menahan lebih baik dan dianjurin. Yaitu marah karena terdzaliminya diri sendiri selama bukan karena kemaksiatan. Dan, kemarahan buat hal ini nggak boleh berlebihan, karena bisa ngejerumusin ke hal-hal yang Allah benci.
Nah, kalo ada orang yang jelas-jelas menghina al-Qur’an, tentu sewajarnya kita sebagai Muslim marah. Namun, ekspresi kemarahannya gimana, mesti kita perhatiin.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry ra, ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan tangannya, jika nggak mampu, hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan lisannya, jika nggak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim).
So, artinya Islam tuh indah banget. Marah boleh, tapi harus pada tempatnya dan diekspresiin dengan tepat, bijak, biar outputnya keberkahan, bukan kemudharatan. Wallahu a’lam bish shawab. [IB]