COX BAZAR, (Panjimas.com) — Sejak 25 Agustus 2017 lalu, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, demikian menurut Amnesty International.
Diantara laporan tersebut muncul informasi tentang penyerangan seksual yang dilakukan militer Myanmar.
Badan kemanusiaan pun memperingatkan jumlah bayi tidak diinginkan -akibat serangan seksual- yang akan ditawarkan untuk diadopsi dapat menjadi ratusan atau bahkan ribuan bayi.
Berikut merupakan salah satu kisah perempuan Rohingya yang mengaku menjadi korban perkosaan tentara Myanmar.
“Para tentara menangkap saya sebelum saya dapat melarikan diri. Mereka memperkosa saya,” ujar seorang perempuan yang baru berumur 17 tahun, dilansir dari laporan BBC.
Perempuan itu menceritakan bahwa dirinya disekap selama berhari-hari dan berulang kali diperkosa, bahkan ia dipukuli oleh militer Myanmar.
“Malam itu saya diperkosa kembali. Mereka melakukan lagi besok paginya dan sore hari. Mereka membiarkan saya terikat di sana. Jika saya melihat tentara, saya membungkuk dan menyembunyikan diri”, ungkapnya.
“Saya duduk disana dan menangis. Sekelompok orang Rohingya menyelamatkan saya. Mereka membawa saya melintasi perbatasan, ke Bangladesh,” imbuhnya.
“Jika menatap bayi saya, yang rasakan adalah cinta,” jelas ibu Rohingya yang sekarang mengungsi ke Bangladesh.
Di Bangladesh, perempuan ini akhirnya hamil. Dan sekarang anak perempuannya sudah berusia satu pekan. Akan tetapi, Ibunya pun belum memberikan nama kepadanya.
“Melakukan aborsi adalah sebuah dosa, demikian juga membiarkannya diadopsi. Mereka yang berdosa. Saya tidak melakukan kesalahan. Saya melahirkan bayi saya”, ungkapnya.
Kakek neneknya adalah anggota keluarganya yang tersisa. Sementara orang tuanya hilang, yang berarti kemungkinan besar telah meninggal dunia.
Kakeknya mengatakan bahwa cucunya tidak mau keluar menemui orang-orang lain, dikutip dari BBC.
“Dia bersembunyi di dalam rumah dan kami tidak memberitahukannya kepada siapa pun. Tidak seorangpun melihat dia. Saya mengatakan kepadanya untuk memberikan bayi ke orang lain, tetapi dia mengatakan tidak. Dia mengatakan bayi ini akan hidup sesuai dengan kehendak Allah,” jelas kakeknya.
Ribuan orang Rohingya mengatakan diri mereka diserang secara seksual. Tetapi tetap sulit untuk memastikan pernyataan sejumlah perempuan ini. Berbagai tuduhan tersebut selalu disangkal oleh tentara Myanmar.
Berbagai badan kemanusiaan telah bersiap-siap menangani bayi-bayi yang tidak diinginkan dan kemungkinan ditelantarkan keluarganya.
Sampai sejauh jumlah bayi yang mengalami nasib seperti ini masihlah kecil tetapi organisasi amal Save the Children misalnya mengkhawatirkan stigma masyarakat terhadap anak-anak ini.
“Kekhawatiran kami adalah bahwa anak-anak ini akan besar dengan stigma. Kami menyadari anak manapun yang dilahirkan saat ini akan berisiko distigmakan. Jadi kami bekerja keras untuk menciptakan sistem pendukung pengaman bagi anak-anak ini agar mereka dapat tumbuh dengan baik,” pungkas Daphnee Cook dari Save The Children .
Tetapi yang jelas bagi para korban perkosaan, seperti perempuan belasan tahun dengan anaknya yang baru berumur beberapa minggu ini, hanyalah perasaan cinta yang dirasakan.
“Bagaimana mereka bisa melakukan hal seperti ini kepada saya? Jika ini tidak terjadi, saya kemungkinan sudah menikah dan hidup normal. Saat menatap bayi saya, yang rasakan adalah cinta,” jelas ibu Rohingya berusia belasan tahun yang merupakan korban pemerkosaan ini.[IZ]