JAKARTA, Panjimas – Diantara penampilan Prabowo saat Pilpres untuk meyakinkan pendukung adalah sikap atau tekad untuk timbul tenggelam bersama rakyat. Menggebrak meja mimbar adalah bukti atas heroisme untuk berjuang demi rakyat.
Namun perjalanan bergerak ke arah lain. Prabowo dan Sandiaga menjadi pembantu Presiden sebagai anggota Kabinet. Hero telah berubah menjadi pemandu hore.
Prabowo bukan karakter pemimpin yang baik. Dalam makna konsisten. Begitu menjadi Menteri langsung terkurung dalam sangkar. Tidak ada pernyataan pembelaan pada penderitaan rakyat baik soal Vaksin, PPKM, pengangguran, TKA China, hutang luar negeri, pembunuhan enam laskar, penzaliman kepada HRS, serta penistaan agama. Bungkam seribu bahasa.
Alih-alih pembelaan pada kesulitan rakyat atau memberi masukan konstruktif kepada Presiden tentang masalah kerakyatan, justru yang tertangkap publik adalah pujian habis kepada Jokowi yang terlihat melewati batas sebagai “jagoan” mantan kandidat Presiden yang mendapat dukungan besar dari rakyat.
Dua kali Prabowo “bersyahadat” memuji Jokowi. Pertama dalam pidato khusus sendiri. “Saya bersaksi bahwa keputusan Jokowi selalu berdasarkan keselamatan rakyat miskin dan lemah” dan kedua, saat pertemuan Jokowi dengan Parpol koalisi baru-baru ini. Prabowo menyatakan “Jadi kepemimpinan Pak Jokowi efektif. Saya mengakui itu dan hormat sama Bapak. Saya lihat. Saya saksi. Saya ikut dalam Kabinet. Kepemimpinan, keputusan-keputusan Bapak cocok untuk rakyat kita”.
Merujuk pada saat Jokowi didukung untuk menjabat tiga periode, maka pujian terbuka itu dapat “menampar muka saya”, “mencari muka” atau “menjerumuskan saya”. Tanpa ada respon serupa dari Jokowi sebenarnya Prabowo sedang “menjilat” atau “mencari muka” yang entah tujuannya apa. Gampangnya saja bisa untuk dukungan Presiden ke depan. Adakah restu Baginda sudah didapat untuk Prabowo-Puan hingga Mega pun perlu menangis dengan tambahan diksi “kurus” dan “kodok” ?
Semestinya Prabowo jangan berpikir untuk menjadi Presiden melalui kompetisi yang ketiga kalinya. Puncak kepercayaan rakyat adalah Pilpres 2019 lalu. Wajah Prabowo sudah semakin jelas kerut-kerutnya karena usia ataupun kerutan sikap politiknya. Rakyat bukan bicara bagaimana kemungkinan Prabowo dapat menang. Tetapi dengan asumsi menang dan menjadi Presiden pun Prabowo sulit mendapat dukungan penuh. Sama saja dengan Jokowi. Banjir kritik sudah terbayang. Ia bukan tokoh yang kuat.
Ketika Menhan ini menyambut di atas mimbar dengan memuji habis Jokowi, maka harapan adanya gebrakan untuk mengingatkan jalannya pemerintahan yang sudah terantuk-antuk adalah sebuah ilusi. Gebrakan meja hanya cerita masa lalu saat bersama rakyat. Kini di tempat yang jauh dari perasaan keadilan rakyat, Prabowo memang sedang menggebrak-gebrak angin.
Timbul tenggelam bersama rakyat itu dibuktikan dengan rakyat yang tenggelam dan Prabowo yang timbul. Namun sebenarnya Prabowo juga sedang tenggelam bersama tenggelamnya kapal selam Nanggala-402 yang hingga kini tak ada cerita. Nyawa 53 orang seperti sia-sia.Sepi.
Bandung, 30 Agustus 2021
M Rizal Fadillah,
Pengamat Politik dan Kebangsaan.