Jakarta (Panjimas.com) – Inovasi produk tembakau tengah berkembang di masyarakat saat ini. Mulai dari nikotin tempel, snus, produk tembakau yg dipanaskan bukan dibakar, hingga rokok elektrik atau vape. Produk-produk tembakau alternatif ini dipercaya memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok yang dibakar. Namun, di Indonesia, masih kurang banyak informasi yang menjelaskan mengenai manfaat produk tembakau alternatif, diantaranya rokok elektrik dan vape.
Dalam diskusi program Polemik dengan judul Uap vs Asap, Sabtu (27/1/ 2018) Tim peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik Indonesia (YPKP Indonesia) Dr. drg Amaliya meluruskan mengenai sejumlah isu yang berkembang di masyarakat.
“Kebanyakan orang mengira bahwa nikotin adalah zat paling berbahaya pada rokok. Padahal, justru TAR yang lebih berbahaya. TAR dibentuk dari proses pembakaran rokok. Sementara produk tembakau alternatif tidak dibakar sehingga tidak menghasilkan TAR. Rokok elektrik dan Vape, misalnya, dipanaskan bukan dibakar, sehingga menghasilkan uap bukan asap,” jelas Amaliya.
Dia juga menyebutkan bahwa dari sejumlah penelitian bertahun-tahun di sejumlah negara, sudah banyak yang menyebutkan bahwa rokok elektrik mengurangi risiko kesehatan secara signifikan.
“Hilangnya TAR menjadi kunci atas penurunan risiko tersebut. Maka, produk tembakau yang dipanaskan adalah jembatan atau media bagi perokok untuk berhenti merokok. Jadi bukan untuk sekedar gaya hidup trendi. Sehingga non-perokok jadi ikut-ikutan menggunakannya,” katanya.
Lebih lanjut Amaliya menyebutkan juga, salah satu penelitian tersebut datang dari lembaga independen Public Health England (PHE) yang berada di bawah pemerintahan Inggris Raya.
“Dalam riset yang selesai dilakukan pada tahun 2015 tersebut, disebutkan bahwa rokok elektrik menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen dibandingkan rokok konvensional. Ini adalah angka yang fantastis,” ujarnya.
Hasil dari penelitian tersebut seharusnya bisa menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan regulasi baru untuk rokok elektrik namun juga yang bersifat adil. Seperti diketahui, pemerintah dikabarkan akan mengenakan cukai untuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), termasuk diantaranya rokok elektrik dan vape, sebesar 57 persen. Angka cukai ini dianggap terlalu besar mengingat industri rokok elektrik dan vape baru saja merangkak di Indonesia.
Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa besaran cukai tidak sesuai dengan kondisi saat ini. “Saya agak kaget juga jika pengenaannya 57%. Jika dibandingkan dengan negara lain, industri ini masih relatif baru di Indonesia.”
Dari sisi penerimaan negara, berarti yang bisa didapat Rp57 miliar dengan 1 juta pengguna rokok elektrik/vape. Ini jumlah yang kecil, lantas kenapa pemerintah tidak mengejar yang besar-besar seperti tas kresek, minuman berpemanis, dll? “Saran saya, pemerintah jangan buru-buru dalam mengambil kebijakan, karena industri ini masih bayi,” katanya.
Masih dalam diskusi tersebut, Helmi Firdaus dari Asosiasi Vape Indonesia (AVI) mengutarakan harapan agar pemerintah lebih jeli dalam menyusun kebijakan publik terkait vape. “Saya sepakat dengan adanya regulasi, namun jangan sengaja mempersulit, jadi kami susah mengakses likuidnya. Kalau nanti harganya semakin mahal dan sulit didapatkan, bagaimana? Jadi biarkan menggunakan hak kami untuk memilih apa yang baik. Karena dampaknya jelas untuk kesehatan kami,” ungkap Helmi.
“Pelarangan ataupun regulasi yang kental muatan untuk menghalangi justru akan membawa risiko atas hilangnya terobosan kesehatan di Indonesia,” tambahnya.
Indonesia saat ini merupakan salah satu negara dengan konsumen rokok terbesar di dunia dengan jumlah 48 juta perokok aktif (data Kemenkes hingga 2017). “Kita sudah melihat ada banyak usaha pemerintah untuk menggiring orang berhenti merokok melalui pembatasan iklan dan penjualan, namun harus kita akui, tidak berhasil. Justru kami sudah banyak mendapatkan studi kasus dimana pengguna rokok elektrik dan vape benar-benar berhenti merokok, bahkan juga benar-benar berhenti mengkonsumsi baik rokok maupun vape,” jelas Helmi.
Ditempat yang sama, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Sunaryo menjelaskan, bahwa memang sudah waktunya likuid vape dikenakan tarif cukai. Pihaknya mengatakan untuk besaran 57%, masih bisa diterima oleh masyarakat.
“Masih acceptable untuk besaran tersebut. Ini juga karena kami mengelompokkan industri ini bukan padat karya seperti rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar. Dia padat modal, sehingga bisa kami kenakan cukai lebih tinggi,” ujarnya.
Sangat disayangkan pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak menghadiri diskusi ini. Padahal masukan dan pendapat dari Kemenkes sangat diharapkan untuk topik vape dan rokok elektrik yang sedang jadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. (ass)