BAGHDAD, (Panjimas.com) – Kerugian perang melawan Islamic State of Iraq and Levant (ISIL) menelan biaya sangat besar bagi Irak, senilai $100 miliar dollar, ujar Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi, Sabtu (11/11).
“Irak telah kehilangan $100 miliar dalam perang anti-IS, tapi kami telah mencapai kesuksesan dalam tiga pertempuran, yaitu membebaskan tanah, menjaga persatuan Irak dan menghadapi ancaman,” pungkas al-Abadi dalam sebuah pidato di Provinsi Karbala, Irak Selatan, mengutip laporan Anadolu.
Mengenai krisis antara Baghdad dan Pemerintah Daerah Kurdi (KRG) di wilayah Irak Utara, PM al-Abadi mengatakan “kami tidak memerlukan mediasi dengan orang-orang Kurdi”.
“Pejuang Peshmerga [Kurdi] menikmati patriotisme, dan kami prihatin akan tudingan bagi pihak-pihak yang tidak berperang melawan Tentara Irak sebagai tindak pengkhianatan,” jelasnya.
Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi mengatakan pemilihan parlemen negara itu akan berlangsung sesuai jadwal pada bulan Mei tahun depan.
Ketegangan meningkat antara pemerintah federal di Baghdad dan KRG setelah referendum 25 September tentang pemisahan wilayah Kurdi, yang menurut Baghdad tidak konstitusional.
Beberapa pekan terakhir tampak pasukan pemerintah Irak dikerahkan ke beberapa bagian negara yang “disengketakan” antara Baghdad dan KRG yang berbasis di Erbil, termasuk Provinsi Kirkuk yang kaya akan minyak bumi.
Pengerahan pasukan tersebut menyebabkan pertempuran secara terbatas antara tentara Irak dan pasukan Peshmerga Kurdi, dengan beberapa korban dilaporkan di kedua belah pihak.
Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi pada hari Kamis (26/10) menyatakan bahwa hasil referendum kemerdekaan Kurdi di Irak Utara bulan September lalu, harus dibatalkan sepenuhnya, dan tidak hanya ditangguhkan.
Pernyataan tertulis Perdana Menteri al-Abadi tersebut dirilis sehari setelah Pemerintah Daerah Kurdistan (KRG) mengusulkan gencatan senjata sesegera mungkin, sehingga menghentikan semua operasi militer dan membekukan hasil referendum, dikutip dari AA.
Ketegangan terus meningkat antara Baghdad dan KRG yang berbasis di Erbil sejak 25 September lalu.
Pada hari Senin (25/09), warga Irak di daerah yang berada di bawah kendali Pemerintah Daerah Kurdistan, Kurdish Regional Government (KRG) serta wilayah-wilayah yang dipersengketakan antara Baghdad dan Erbil menggelar pemilihan dalam sebuah referendum mengenai apakah mereka akan memisahkan diri dari Irak atau tidak.
Menurut hasil yang diumumkan oleh KRG, hampir 93 persen pemilih terdaftar memberikan suara untuk kemerdekaan wilayah Kurdi dari Irak.
Referendum ilegal tersebut menghadapi oposisi yang tajam dari sebagian besar aktor regional dan internasional, banyak di antaranya memperingatkan bahwa jajak pendapat tersebut akan mengalihkan perhatian dari perang melawan terorisme Irak dan selanjutnya mengguncang kestabilan wilayah tersebut.
Setelah mengerahkan pasukan akhir pekan ini ke bagian-bagian wilayah yang disengketakan di negara tersebut, pejabat Irak mengumumkan pada hari Senin (16/10) bahwa ladang minyak Kirkuk sekarang ini masih di bawah kendali pemerintah pusat Irak.
Setelah serangan gencar kelompok Islamic State (IS) di Irak Utara dan Barat, pasukan yang loyal kepada KRG kemudian menguasai daerah-daerah yang disengketakan di Provinsi Kirkuk, Niniwe, Diyala dan Saladin.
Referendum ilegal bulan lalu menghadapi tentangan keras dari sebagian besar aktor regional dan internasional (termasuk A.S., Turki dan Iran), yang telah memperingatkan bahwa jajak pendapat tersebut akan mengalihkan perhatian dari perang Irak melawan terorisme dan selanjutnya kembali membuat kawasan menjadi tidak stabil.[IZ]