JAKARTA, (Panjimas.com) – Suratkabar Kompas, 7 Juli 2017 memuat berita dengan judul: “Radikalisme. LPOI Minta Ormas Radikal Dibubarkan”. Berita yang ditulis wartawan berinisial (IVV) itu menyebutkan sebanyak 14 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) telah meminta pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang ormas anti-Pancasila.
Melalui release yang diterima Panjimas, Selasa (18/7) Dewan Dakwah menyebut bahwa Ke-14 ormas yang tergabung dalam LPOI sebagaimana disebutkan berita itu meliputi Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, Al-Islamiyah, Arrobithoh al-Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Mathlaul Anwar, Attihadiyah, Azikra, Al-Wasliyah, Ikatan Da’i Indonesia, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Dewan Da’wah Islamiyah.
Menanggapi kepesertaan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah) bersama ormas LPOI yang meminta pemerintah segera menerbitkan Perppu tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Kerjasama Kelembagaan Dewan Da’wah, Drs. H. Amlir Syaifa Yasin, MA menyampaikan bantahan bahwa berita tersebut tidak benar.
Berita tersebut menyebutkan Dewan Da’wah termasuk salah satu ormas yang melakukan pembicaraan intens bersama NU dan ormas lainnya di Gedung Nahdlatul Ulama Senin, (7/7). “Dan itu sama sekali tidak benar. Tidak ada pengurus Dewan Da’wah yang mewakili hadir, dan kami tidak mengutus seorangpun mewakili Dewan Da’wah untuk hadir dalam pertemuan itu,” Demikian Amlir Syaifa Yasin. Dijelaskan pula bahwa sikap Dewan Da’wah yang seolah salah satu ormas yang mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Perppu keormasan, juga tidak benar sama sekali. “Kami membantah berita tersebut,” ujar Amlir Syaifa Yasin menambahkan.
Tolak Perppu
Terkait dengan Perppu No. 2 tahun 2017 tentang keormasan yang telah ditandatangani Jokowi, Wakil Sekretaris Umum Dewan Da’wah, Taufik Hidayat, MA, mengatakan bahwa syarat utama menerbitkan Perppu adalah keadaan yang genting dan memaksa, yaitu bilamana negara menghadapi ancaman serius namun terhalang oleh UU yang ada, dan atau tidak difasilitasi oleh UU yang ada tersebut. Untuk itulah Perppu dapat dibuat oleh eksekutif tanpa harus menunggu prosedur normal melalui DPR. Istilah populer dari keadaan genting dan memaksa tersebut adalah keadaan darurat yang kondisinya diketahui dan disepakati oleh pendapat umum dan akibat kegentingan itu pula pemerintah telah melibatkan TNI.
Taufik Hidayat justru mempertanyakan, dimana letak kegentingannya sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan Perppu? Pancasila terjaga, negara masih dalam keadaan aman, TNI siaga dan keutuhan NKRI terjaga. “Yang tidak terjaga justru adalah emosi rezim pemerintahan saat ini dimana para elitnya tidak berpihak kepada rakyat, terutama kepada ummat Islam,” pungkasnya. Persoalan lain yang mengemuka pada rezim pemerintahan sekarang ini adalah kebijakan-kebijakan pembangunan sosial rezim ini tidak sesuai dengan semangat kerakyatan, kebijakan politiknya tidak sesuai dengan semangat pasal UUD 45 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sedangkan kebijakan ekonominya pun tidak berpihak kepada rakyat.
Taufik Hidayat menjelaskan bahwa UU No. 17/2013 tentang Ormas telah menjelaskan bahwa apabila Pemerintah menganggap ada ormas yang bertentangan dengan Pancasila atau melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya, maka pemerintah harus terlebih lebih dulu melakukan langkah persuasif – pembinaan, memberi peringatan tertulis, menghentikan bantuan, dan menghentikan kegiatan (pembekuan). Apabila ormas tersebut masih juga melanggar, maka pemerintah dapat mengajukan pembubaran ormas tersebut ke pengadilan.
Prosedur yang sedemikian rupa diatur dalam UU Ormas, merupakan penjabaran dan implementasi asas keadilan. Due process of law yakni mendengarkan keterangan kedua belah pihak secara hukum, baik itu pemerintah maupun ormas yang akan dibubarkan. Sehingga proses menjadi “fair” atau berkeadilan dan tidak sewenang-wenang.
“Dalam Perppu tentang Ormas yang baru ini, semua prosedur itu telah dihilangkan, sehingga pemerintah dapat membubarkan setiap ormas secara sepihak tanpa melalui prosedur, baik kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila atau ormas yang tajam mengkritisi pemerintah. Ini dzalim. Akal-akalan. Otoriter. Tak bisa dibenarkan di alam demokrasi dengan agenda reformasi, sehingga bagaimanapun harus kita tolak. Kuat sekali tendensi ada maksud lain pemerintah mengeluarkan Perppu No. 2/2017. Taufik Hidaat melihatnya seperti pembersihan jalan untuk pemenangan Pilpres 2019.
Pembubaran ormas seperti ini pernah dialami Partai Masyumi oleh rezim Soekarno tahun 1960, sehingga pasca pembubaran partai, dibawah kepemimpinan Mohammad Natsir, mengambil langkah mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (1967). Jika Partai Masyumi saat itu mengedepankan misi berdakwah dengan politik, maka jalan yang ditempuh Dewan Da’wah hingga saat ini adalah berpolitik dengan dakwah.
Pada bagian lain, Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah, Amlir Syaifa Yasin, mengingatkan kepada pihak manapun untuk tidak mencatut nama Dewan Da’wah. [RN]