JAKARTA (Panjimas.com) – Sikap Pemerintah yang menunjukan keengganannya untuk memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta Ahok, bukan hanya terjadi kali ini saja, melainkan sudah berkali-kali. Dan ini menunjukkan ketidakpeduliannya pada penegakan hukum.
Hal itu dikatakan Hamid Chalid, Doktor Ilmu Hukum dan Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Panjimas, belum lama ini.
Awalnya, ketika Ahok telah resmi menjadi terdakwa pada awal Desember 2016 yang lalu dimana seharusnya Presiden sudah mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara terhadap Ahok. Tapi, Pemerintah abai, seraya berdalih bahwa pemberhentian sementara terhadap Ahok belum perlu dilakukan karena yang bersangkutan masih sedang cuti kampanye.
“Sehingga keputusan pemberhentian sementara baru akan ditandatangani oleh Presiden setelah yang bersangkutan selesai menjani masa cutinya (yang berakhir pada tanggal 11 Februari 2017).”
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dimana masa cuti Gubernur DKI Jakarta berakhir pada 11 Februari 2017, Pemerintah melalui Mendagri ternyata kembali membuat pernyataan yang nampaknya ingin sekali lagi mengulur-ulur proses pemberhentian sementara Ahok.
Dikatakan Hamid, Pemerintah melalui Mendagri mencoba mengarang penafsiran terhadap ketentuan pembehentian sementara yang diatur dalam Pasal 83 UU Pemda dengan mengatakan bahwa pemberhentian sementara terhadap Gubernur DKI Jakarta (Ahok) belum dapat dilakukan karena masih harus menunggu tuntutan (requisitoir) Jaksa.
“Setiap orang yang berakal sehat tidak memerlukan seorang ahli hukum untuk memahami bahwa yang sedang dimainkan ini bukanlah tafsir atas bunyi suatu ketentuan undang-undang, tapi ini adalah kayu kekuasaan yang sedang mengayun kesana-kemari yang sedang menunjukkan kepanikan belaka.”
Sudah jelas bahwa yang menjadi ukuran untuk menilai apakah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Kepala Daerah itu adalah terpenuhinya ketentuan Pasal 83 UU Pemda sehingga berkosekuensi pemberhentian sementara.
Hal itu cukup dilihatdari jumlah atau ancaman pidana yang tertera dalam undang-undang, bukan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa! Lagipula, ayat (2) dari Pasal 83 UU Pemda itu telah menegaskan bahwa yang menjadi dasar pemberhentian sementara itu adalah adanya registrasi perkara pidana di pengadilan, bukan pembacaan tuntutan oleh jaksa.
“Jadi manakala perkaranya sudah dilimpahkan oleh Jaksa ke pengadilan dan telah teregistrasi di Pengadilan maka sejak saat itu Presiden harus mengeluarkan Keppres Pemberhentian Sementara atas Kepala Daerah yang dimaksud. Sebab bukti registrasi perkara itulah yang akan ditulis dan menjadi dasar dikeluarkannya Keppres yang dimaksud.”
Dalam prakteknya selama ini, Kepala Daerah yang terjerat kasus pidana pasti diberhentikan sementara segera setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa, tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan (requisitoir) yang diajukan Jaksa di dalam persidangan. Sebab yang ditentukan oleh UU Pemda sebagai syarat untuk memberhentikan sementara Kepala Daerah adalah apabila perkaranya sudah dilimpahkan dan telah teregistrasi di pengadilan.
Pernyataan Mendagri yang pada intinya berisi “penolakan” untuk memberhentikan sementara Ahok dengan dalih masih menunggu tuntutan (requisitoir) Jaksa dapat dipastikan merupakan tindakan subjektif dan spesifik hanya berlaku bagi Ahok.
Melindungi Ahok
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa dalam kasus-kasus lain, Mendagri yang sama dan Presiden yang sama tanpa bimbang-ragu mengikuti prosedur pemberhentian sementara Kepala Daerah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh UU Pemda.
Sebagai contoh misalnya pemberhentian sementara Wakil Walikota Probolinggo H. M. Suhadak yang Keputusan Pemberhentian Sementaranya ditandatangani pada tanggal 22 November 2016 oleh Mendagri, tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa.
Contoh lain misalnya Keputusan Pemberhentian Sementara Bupati Subang yang ditandatangani oleh Mendagri tanggal 3 Oktober 2016, juga tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa.
“Baru dalam kasus Ahok ini saja, Presiden melalui Mendagri telah dengan sengaja mengesampingkan hukum dan mengedepankan kekuasaan yang ada dalam genggamannya dengan menggunakan standar ganda dan tafsir yang mengada-ada dalam melaksanakan ketentuan Pasal 83 UU Pemda tersebut.” (desastian)