ABU DHABI, (Panjimas.com) – Dewan Ulama Muslim Dunia (Muslim Council of Elders), yang dipimpin oleh Imam Al-Azhar Al-Sharif Dr. Ahmed Al-Tayeb, pada hari Kamis (17/11), telah mengutuk keras pelanggaran-pelangaran dan kekejaman terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, dilansir WAM.
Muslim Council of Elders menyatakan bahwa “Apa yang diceritakan oleh media terkait pembunuhan puluhan Muslim Rohingya dan penghancuran serta pembakaran ratusan rumah-rumah mereka adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,”
“Dan ini bertentangan dengan ajaran semua agama surgawi, tradisi, norma-norma kemanusiaan, konvensi internasional dan perjanjian-perjanjian yang mengkriminalisasi secara jelas kejahatan brutal di Myanmar ini.” tandasnya dalam pernyataan Muslim Council of Elders.
Dewan Ulama Muslim menyerukan tindakan mendesak untuk menyelamatkan Muslim Rohingya di Myanmar dan mengakui hak-hak mereka untuk hidup dalam keamanan dan perdamaian, jauh dari kebijakan penganiayaan dan diskriminasi.
Dr. Ali Al-Nuaimi, Sekjen Muslim Council of Elders, mengatakan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan pengiriman konvoi perdamaian ke Myanmar untuk menyelidiki penyebab-penyebab apa yang terjadi, dan menemukan cara-cara untuk berkontribusi pada proses perdamaian di sana.
430 Bangunan Hancur di 3 Desa Muslim Rohingya
Seperti diberitakan panjimas sebelumnya, menurut gambar-gambar citra satelit yang dirilis HRW (Human Rights Watch) pada Ahad pekan lalu (13/11), “Ratusan bangunan di desa-desa Muslim Rohingya di Myanmar telah dibakar,”
“Gambar-gambar satelit terbaru itu tidak hanya mengkonfirmasi kerusakan luas di desa-desa Muslim Rohingya tetapi juga menunjukkan bahwa kerusakan tersebut bahkan lebih besar dan lebih parah dari yang pernah kami pikir pertama kali,” demikian pernyataan Human Rights Watch (HRW) seperti ditegaskan oleh Direktur HRW Kawasan Asia, Brad Adams.
HRW mengidentifikasi total sebanyak 430 bangunan hancur di 3 desa Muslim di kabupaten Maungdaw utara, berdasarkan analisis citra satelit beresolusi tinggi yang tercatat dipotret pada pagi hari tanggal 22 Oktober, 3 November, dan 10 November 2016.
Dari jumlah ini, sebanyak 85 bangunan hancur di desa Pyaung Pyit (Ngar Sar Kyu), sementara 245 bangunan hancur di desa Kyet Yoe Pyin, dan 100 bangunan lainnya juga hancur di desa Wa Peik (Kyee Kan Pyin).
Melihat tanda-tanda kerusakan di setiap desa Muslim Rohingya di Maungdaw itu, sangat konsisten diakibatkan oleh api, termasuk keberadaan bekas luka bakar besar dan hancurnya pohon-pohon yang menaunginya. Karena tutupan pepohonan lebat, sangat mungkin bahwa jumlah sebenarnya dari bangunan-bangunan yang hancur lebih tinggi.
Selain citra satelit yang ditinjau oleh HRW, laporan-laporan organisasi hak asasi manusia, media, dan anggota delegasi dari 9 Duta Besar asing yang berkunjung ke beberapa daerah yang terkena dampak pada Rabu dan Kamis (9-10/11/2016) pekan lalu mengkonfirmasi bahwa “kerusakannya substansial”. Komisi tidak mengadakan penyelidikan resmi atau penilaian, akan tetapi menegaskan bahwa Komisi melihat di beberapa kota, perihal banyaknya struktur bangunan-bangunan yang dibakar.
Sementara itu, pada tanggal 28 Oktober, Reuters menerbitkan wawancara dengan wanita Muslim Rohingya yang menyatakan bahwa tentara Buddha Myanmar telah memperkosa mereka. Pemerintah Myanmar juga diduga telah menekan ‘Myanmar Times” untuk memecat salah satu editor mereka yang melaporkan dugaan pemerkosaan oleh tentara-tentara Myanmar.
Kebijakan pembatasan akses ke daerah-daerah diberlakukan pemerintah kepada para wartawan dan pemantau hak asasi manusia, bahkan pemerintah Myamar terus berupaya menghambat pengumpulan informasi yang berimbang.
Reuters melaporkan bahwa militer Myanmar telah mengabaikan permintaan pejabat sipil untuk rincian lebih lanjut tentang situasi.
“Angkatan Bersenjata Myanmar tidak hanya menjaga para pengamat independen agar tidak dapat memasuki daerah-daerah Muslim Rohingya yang terkena dampak, mereka tampaknya bahkan tidak mengatakan kepada pemerintah mereka sendiri, tentang apa yang sedang terjadi,” kata Brad Adams, Direktur HRW Kawasan Asia
“Pihak berwenang perlu untuk memberikan akses tak terbatas kepada PBB, media, dan para pemantau HAM ke daerah-daerah Muslim Rohingya, untuk menentukan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.” pungkas Adams.[IZ]