ARAKAN, (Panjimas.com) – Rohingya Observatory for Human Rights, Observatorium Rohingya untuk Hak Asasi Manusia awal November ini menyatakan bahwa sedikitnya 23.000 keluarga Muslim Rohingya saat ini hidup tanpa tempat tinggal setelah mereka telah mengungsi dari rumah-rumah mereka sejak tanggal 9 Oktober.
ROHR (Rohingya Observatory for Human Rights) menambahkan bahwa lebih dari 16.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri dari wilayah negara bagian Arakan, 264 lainnya ditangkap otoritas Myanmar dan lebih 100 orang lainnya tewas, sementara 1.077 rumah-rumah milik Muslim Rohingya telah dibakar.
Sebelumnya, PBB telah menyerukan pemerintah Myanmar untuk menyelidiki tuduhan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan warga sipil tak bersenjata, membakar desa-desa Muslim dan melakukan penangkapan sewenang-wenang di wilayah mayoritas Muslim, situasi ini memicu serangan balasan terhadap 3 pos polisi di sepanjang perbatasan Maungdaw.
Pelapor Khusus PBB tentang Hak Asasi Manusia di Myanmar, Yanghee Lee mengatakan ia telah menerima “laporan berulang kali terkait operasi penangkapan sewenang-wenang serta pembunuhan di luar hukum yang terjadi dalam konteks operasi keamanan yang dilakukan oleh otoritas Buddha Myanmar”
Sejak konflik meletus awal tahun 2012, sekitar 150.000 Rohingya telah mengungsi dan tinggal di 67 kamp-kamp pengungsian terbatas dan telah ditolak negara hak-hak kebebasannya untuk bergerak. Selain itu, setidaknya 160 jiwa, sebagian besar adalah Muslim Rohingya, tewas dalam bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di wilayah itu.
Walau tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, pemerintah Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Mereka juga memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sering mengalami penahanan sewenang-wenang dan perpajakan, kerja paksa, dan penyitaan properti, mengutip laporan Human Rights Watch (HRW). [IZ]