JAKARTA, (Panjimas.com) – Mencermati portofolio Kabinet Reshuffle Jilid 2 yang diumumkan Presiden RI pada Rabu (26/7), Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menyerukan agar masyarakat meningkatkan dakwah.
‘’Masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok seperti ormas harus meningkatkan dakwah kepada penguasa (muhasabah lil hukam),’’ ujar Ketua Umum Dewan Dakwah Mohammad Siddik, Rabu (26/7) sore.
Pesan itu dilandasi penilaian bahwa perombakan kabinet cenderung mencerminkan ‘’bagi-bagi kekuasaan’’ dan berpotensi melemahkan kontrol politik.
Siddik memaparkan, kabinet saat ini menampung saham politik dari lebih banyak partai pendukung pemerintah dengan masuknya menteri dari Partai Golkar dan PAN.
‘’Hal ini berarti melemahkan kekuatan oposisi yang diperankan PKS dan Gerindra di parlemen, sehingga melemahkan fungsi check and balance,’’ tuturnya.
Salah satu implikasi politik dari reshuffle kabinet yang patut diantisipasi, lanjut Ketua Umum Dewan Dakwah, adalah semakin kuatnya dukungan untuk Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Seperti dilansir media massa, Ahok pindah jalur dari jalur independen ke jalur parpol. Ia kini didukung parpol-parpol penguasa (PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura) untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta 2017-2022.
Bagi Dewan Dakwah, selain persoalan iman, kepemimpinan Ahok juga arogan, kasar, dan tidak adil. Gubernur DKI yang mendapat jabatan sebagai ‘’warisan’’ Gubernur Jokowi, ini dikenal temperamental (emosional), biasa mengucapkan kata-kata tak pantas, dan tidak ramah terhadap warga dhuafa ibukota seperti kaum nelayan Luar Batang.
Walau demikian, Dewan Dakwah bersyukur atas masuknya Profesor Muhadjir Effendy ke dalam kabinet. Ketua Muhammadiyah ini ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Nasional menggantikan Anies Baswedan.
‘’Profesor Muhadjir dengan seabreg kepakaran, prestasi, dan jabatannya, adalah seorang putra kader Masyumi. Dengan demikian beliau merupakan bagian dari Keluarga Besar Dewan Dakwah,’’ tutur Siddik.
Dua hari jelang pengumuman kabinet, Muhadjir Effendy menegaskan bahwa Muhammadiyah dan Dewan Dakwah adalah dua saudara yang mesra hubungannya.
‘’Banyak aktivis dan dai Dewan Dakwah yang juga anggota Muhammadiyah,’’ ungkap Ketua PP Muhammadiyah dalam dialog dengan pengurus Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) Negeri Sabah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Senin (24/7).
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) selama 16 tahun ini, selain mengabdikan diri di bidang pendidikan, juga dikenal sebagai kolumnis yang banyak menyoroti masalah agama, pendidikan, sosial, politik, dan kemiliteran.
Pria kelahiran Madiun, 29 Juli 1956, ini putra dari pasangan Soeroja dan Sri Soebita. Semasa hidup, Soeroja mengabdikan diri sebagai guru madrasah, kepala desa, aktif di partai politik Masyumi.
Tak heran bila kemudian Muhadjir muda aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII).
Salah satu ‘’ruh’’ PII adalah perlawanan tanpa kompromi terhadap komunisme, sehingga organisasi pelajar ini disebut PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai ‘’Masyumi Bercelana Pendek’’.
Tentang hal ini, Muhadjir menulis dalam kolomnya di Jawa Pos edisi 4 Mei 2012:
‘’Ada dua ideologi dan partai yang jelas-jelas tidak mungkin dipersatukan, yaitu Masyumi (Majelis Syura Muslimin) yang mewakili agama dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang komunis-ateis. Di tengah persaingan sengit itu, sekalipun menyatakan diri sebagai organisasi independen, PII mau tidak mau memiliki kedekatan dengan Partai Masyumi. Saking dekatnya, orang-orang PKI menjulukinya ‘Masyumi berkatok pendek’.’’
Karena itu, Muhadjir Effendy mendukung tindakan hukum terhadap upaya-upaya menghidupkan kembali organisasi terlarang PKI, seperti pemunculan simbol palu-arit beberapa waktu lalu.
Dalam relaunching Buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito di Jakarta, Minggu (26/1/2014), Rektor UMM menjelaskan, Ketua Umum Masyumi Prawoto pernah mengungkapkan keinginannya supaya demokrasi itu wajib, sama wajibnya dengan shalat. Yaitu demokrasi yang proporsional dan berketuhanan.
”Tetapi gagasan demokrasi Masyumi ditorpedo oleh Orde Lama, Orde Baru, dan kondisi politik terkini dengan politik transaksionalnya,” kata Muhadjir Effendy. [RN]