BOYOLALI, (Panjimas.com) – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan pernyataan bahwa ada 19 pondok pesantren terindikasi mengajarkan radikalisme. Menanggapi hal ini, Mudzir PP. Darusy Syahadah, Ustadz Qosdi Ridwanullah menyatakan khawatir yang dipakai adalah cara pandang imperialis sebagaimana zaman penjajahan dulu.
“Pesantren kan sejak (zaman penjajah, red) dulu sudah ada. Nah, di mata imperialis, di mata penjajah, pesantren itu adalah duri, pesantren itu adalah sarang pemberontak. Maka saya khawatir, menuduh tanpa klarifikasi itu adalah memakai kacamata imperialis. Sehingga orang-orang yang biasa berbuat baik dianggap tidak baik,” kata Qosdi kepada Panjimas pada Kamis (4/2/2016) pagi saat di temui di kantornya.
Pimpinan pesantren yang berlokasi di Boyolali, Jawa Tengah ini juga menilai bahwa tudingan itu berlebihan dan tidak adil.
“Adapun kasus mungkin ada satu dua yang tidak sesuai (dengan kebenaran, red) itu kan di mana-mana ada. Contohnya pelaku bom Thamrin itu katanya alumni-alumni perguruan tinggi negeri ya? Lalu apakah adil kalo kita sampaikan bahwa perguruan tinggi itu sarang bomber, misalnya? Atau koruptor-koruptor di negeri kita kan sangat banyak itu. Ada yang dari UI, misalnya. Apakah lalu kita katakan UI itu tempat persemaian koruptor? Kan nggak adil itu. Apalagi sekarang ini akses orang ke media sosial luar biasa. Jadi apabila ada indikasi-indikasi alumni yang dianggap radikal, kemudian lembaganya langsung disangkutkan, maka ini suatu pandangan yang menurut saya sangat tidak adil dan perlu dibenahi. Karena mungkin cara pandangnya memakai kacamata imperialis tadi yang su’udhan kepada kaum muslimin,” terangnya.
Darusy Syahadah sendiri sudah berdiri sejak 1994, dan sudah meluluskan ribuan santri. Maka sungguh tak adil dan berlebihan pula bila ada segelintir oknum yang pernah nyantri di sana, kemudian pesantrennya langsung dikaitkan.
“Alumni kita kan sudah ribuan. Lalu yang dianggap salah itu cuma berapa orang? Yang sekian banyak sudah mengisi pendidikan Islam, dakwah di masyarakat, mengembangkan moral bangsa kok nggak dihitung, yang dihitung kok yang satu dua tiga yang dianggap salah?” tanya Qosdi.
Dia menambahkan, alumni maupun jebolan santri dalam situasi teknologi informasi seperti sekarang, sangat mungkin mendapat pengaruh dari luar. Maka apabila diantara mereka ada yang bertindak salah, sangat berlebihan bila pesantren langsung disangkutkan. [IB]