JAKARTA, (Panjimas.com) – Setahun sudah usia Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Berbagai program aksi sudah dijalankan, tetapi selama setahun berjalan banyak pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya sudah menunjukkan hasil signifikan tetapi ternyata belum dirasakan langsung rakyat hasilnya. Salah satunya bidang kesejahteraan masyarakat (kesra) terutama terkait perlindungan anak dan pelayanan kesehatan yang jadi PR besar pemerintah ke depan.
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris yang bidang tugasnya mengawasi kinerja Pemerintah Bidang Kesra mengatakan, setahun memang belum bisa jadi ukuran berhasil tidaknya Jokowi-JK menahkodai pemerintahan, tetapi waktu setahun bisa dijadikan gambaran seperti apa wajah bangsa ini lima tahun ke depan.
“Setahun memang belum bisa dijadikan acuan pemerintahan ini berhasil atau tidak, karena hampir semua bidang masih meletakkan pondasi. Tetapi, masa setahun inilah yang menentukan berhasil tidaknya Presiden mengelola negeri ke depan. Catatan saya untuk bidang kesehatan dan perlindungan anak masih banyak yang harus dikejar pemerintah,” ujar Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (20/10).
Untuk bidang kesehatan, Fahira belum melihat ada keterpaduan antar Kementerian/Lembaga dalam Program Indonesia Sehat. Menurutnya, pelayanan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari kondisi infrastruktur di sebuah daerah, baik infrastruktur jalan, transportasi maupun infrastruktur kesehatan itu sendiri. Di banyak daerah masih temui warga yang sulit mengakses fasilitas kesehatan. Oleh Karena itu, kementerian terkait, terutama Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, BKKBN, Kepala Daerah, dan lembaga terkait lainnya, harus duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Buat apa berobat gratis kalau fasilitas kesehatan susah dijangkau karena jalan rusak dan tak ada sarana transportasi. Ada juga daerah yang puskesmasnya mudah dijangkau, tetapi tenaga medisnya tidak siap. Atau jika tenaga medis siap kamar selalu penuh atau peralatan medis tidak memadai. Harapan saya, program Indonesia Sehat itu komprehensif dan melibatkan berbagai kementerian dan lintas stakeholders, bukan sekedar berobat gratis seperti yang dimunculkan saat ini,” tukas Senator Asal Jakarta ini.
Pekerjaan rumah lainnya di bidang kesehatan adalah implementasi BPJS Kesehatan yang terus saja mendapat keluhan peserta. Fahira mengungkapkan, setahun ini belum ada kesamaan persepsi antara rumah sakit, BPJS Kesehatan dan peserta BPJS Kesehatan terkait kondisi kegawatdaruratan. Akibatnya banyak peserta BPJS Kesehatan yang ditolak dirawat di rumah sakit. Imbas lain dari kondisi ini adalah, masih ditemukan peserta BPJS Kesehatan yang harus menanggung biaya perawatan dengan uang pribadi karena menurut rumah sakit tidak memenuhi syarat yang ditanggung BPJS Kesehatan.
“Kita ingin ke depan, ada kesamaan persepsi agar rakyat tidak diping-pong saat ingin berobat. Pemerintah harus tegas menindak rumah sakit yang tidak memberikan pelayanan maksimal kepada peserta BPJS Kesehatan,” tegas Fahira.
Jika di bidang kesehatan sudah ada pondasi, di bidang perlindungan anak sepertinya belum ada pondasi yang kuat. Indonesia hingga saat ini sama sekali tidak mempunyai grand desain sistem perlindungan anak yang komprehensif. Gerakan Perlindungan anak di Indonesia seperti tanpa arah dan komando.
“Setahun ini saya tak pernah dengar apa dan bagaimana strategi atau komitmen Presiden dalam hal perlindungan anak yang semakin hari semakin mencemaskan saja. Saya harus katakan, saat ini, kita belum punya strategi bagaimana membangun sistem perlindungan anak yang mampu menjamin anak agar tidak lagi menjadi korban kejahatan terutama seksual,” tukas Ketua Yayasan Abadi (Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri) ini.
Menurut Fahira, walau Indonesia sudah 13 tahun punya UU Perlindungan Anak (UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), tetapi pemahaman masyarakat terhadap UU ini sangat minim, bahkan banyak orangtua tidak tahu bahwa ada ancaman pidana kalau melakukan kekerasan atau penelantaran terhadap anak walau itu anak kandungnya sendiri. Tak heran, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak dengan berbagai macam cara meningkat tiap tahun.
“Belum ada sistem yang mampu menggerakkan semua struktur yang ada dalam masyarakat mulai dari yang terkecil (RT/RW, sekolah, dan lainnya) sebagai basis upaya preventif kekerasan anak termasuk. Sensitivitas aparat penegak hukum kita terkait perlindungan anak juga harus ditingkatkan. Mereka harus paham kekerasan terhadap anak itu kejahatan luar biasa sehingga tidak ada lagi hakim yang memutus vonis ringan pelaku kekerasan anak,” papar Fahira.