JAKARTA (Panjimas.com) – Arus penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi semakin deras dari elemen dan tokoh masyarakat. Kali ini giliran Muslimat Nahdhatul Ulama (NU), organisasi sayap perempuan NU yang menyatakan penolakan dan keberatannya.
Senada dengan yang lain, Muslimat NU tidak sepakat dengan pasal legalisasi aborsi terhadap kehamilan karena perkosaan. Hal tersebut ditegaskan langsung Ketum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa. “Memangnya siapa yang akan memonitor, mengontrol, memastikan seorang perempuan hamil karena diperkoksa. PP ini rawan diselewengkan,” ujarnya di Jakarta, pada Rabu (13/8/2014).
Menurut mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini, tanpa adanya PP itupun praktek aborsi sudah begitu marak dan menjamur, termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun kandungan dan praktek ilegal lainnya. Khofifah dengan tegas meminta pemerintah segera meninjau ulang peraturan tersebut.
“Ini harus dilakukan revisi sebelum mendapat lebih banyak penentangan dari masyarakat,” paparnya. Karena rawan diselewengkan, Khofifah juga khawatir PP tersebut akan memicu pergaulan bebas. “Ini akan menumbuhkan ruang free sex. Godaannya sudah besar, jangan lagi diberi peluang,” tandasnya.
PP No. 61/2014 yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir Juli 2014 lalu memuat aturan yang membolehkan pengguguran kandungan. Dalam pasal 31 hingga 39, dijelaskan seluk beluk aborsi yang diperbolehkan karena dua hal, yakni kondisi medis ibu dan kehamilan karena perkosaan.
Seperti diberitakan Panjimas.com sebelumnya, PP Nomor 61/2014 tentang Reproduksi yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir Juli 2014 menuai kontroversi lantaran diperbolehkannya aborsi bagi korban pemerkosaan. Ini tertuang dalam pasal 31 ayat 2 yang menyebut tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan bila kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengatakan bahwa PP tersebut telah dikonsultasikan dengan pihak-pihak terkait dan sudah mendapat restu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun pihak-pihak terkait termasuk MUI sendiri menolak klaim yang disebutkan Menteri beragama Kristen yang sering membuat kontroversi ini, termasuk sola kondom beberapa waktu lalu. [GA/rol]