JAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan sangat tidak setuju jika Baha’i diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Baha’i lebih tepat, lanjut MUI, menjadi aliran kepercayaan dan masuk di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ditinjau dari sisi kriteria aliran, Bahaisme bersifat sesat dan menyesatkan.
“Baha’i merupakan perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan Islam. Jadi, sangat tidak setuju jika Baha’i diakui sebagai agama baru oleh pemerintah,” ujar Ketua Dewan Pimpinan MUI, Muhyidin Djunaidi, pada Selasa (12/8/2014) seperti dilansir Republika.
Secara politis, pengakuan resmi negara terhadap Baha’i juga berpotensi menimbulkan banyak masalah di masa depan. Salah satunya, kunjungan para penganut Baha’i ke Israel akan menjadi legal dan masif dengan alasan agama dan wisata religi. Hal ini tentu menguntungkan Yahudi dan Israel secara ekonomi dan politik.
“Karena itu, MUI mendesak Menteri Agama (Menag -red) Lukman Hakim Saifuddin untuk bersikap bijak dan arif agar tidak terulang kembali Ahmadiyah jilid kedua,” tandas Muhyidin.
Akhir-akhir ini Baha’i menjadi perbincangan pro kontra di masyarakat. Hal itu terjadi setelah Menag menyatakan Baha’i sebagai agama di Indonesia melalui akun Twitter-nya beberapa waktu lalu. Hingga saat ini, Pemerintah RI hanya mengakui Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu sebagai agama resmi.
Agama Baha’i sudah ada sejak 1863, tapi banyak masyarakat Indonesia yang baru mengenalnya belakangan ini. Bahaullah adalah pendiri sekaligus orang yang mengaku sebagai pembawa wahyu agama tersebut. Pada 1863 ia mulai mengumumkan misinya untuk menciptakan kesatuan umat manusia serta mewujudkan keharmonisan di antara semua agama. [GA]