(Panjimas.com) – Siapa tak kenal Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah? Ia seorang dari imam mazhab yang empat. Suatu masa, karena aktivitas keilmuan yang ia lakukan, Allah ta’ala mengujinya dengan musibah: tertimpa fitnah, dicekal, dilarang berinteraksi dengan umat.
Pada masa keadaan Sang Imam seperti itu, ada seorang perantau asal Andalusia tiba di Baghdad. Satu tujuannya, menemui Imam Ahmad dan berguru padanya. Perantau itu seorang penghimpun hadits. Namanya Baqi bin Makhlad. Di Maghrib, daerahnya, dirinya dikenal sebagai ulama. Baqi menempuh perjalanan tanpa kendaraan, hanya berjalan kaki saja.
Baqi baru tahu tentang keadaan Imam Ahmad saat hampir sampai Baghdad. Gundahlah hatinya. Usai mencari penginapan dan meletakkan perbekalan, ia langsung pergi menuju masjid besar. Baqi bergabung di halaqah taklim yang diasuh Yahya bin Ma’in rahimahullah, seorang syaikh besar di sana.
Selesainya, Baqi keluar dan mencari tahu rumah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Seseorang menunjukkannya. Ia pun menuju ke sana.
“Wahai Abu Abdillah, aku perantau dari negeri nun jauh. Ini kedatanganku pertama kali di negeri ini. Aku ini pencari dan penghimpun hadits. Aku tidak berjalanan sejauh ini kecuali untuk menemui Engkau,” beber Baqi setelah dibukakan pintu.
“Masuklah ke lorong itu, dan jangan sampai seorang pun melihat Engkau!” pinta Imam Ahmad.
Di tempat yang tersembunyi itu, mereka berbincang.
“Dari mana asalmu?”
“Daerah Maghrib.”
“Afrika?”
“Lebih jauh lagi. Aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika. Negeriku Andalusia.”
“Negerimu benar-benar jauh. Tiada sesuatu yang lebih aku suka daripada membantu orang seperti Engkau dengan baik demi terwujudnya cita-cita. Namun saat ini aku sedang menghadapi cobaan, dan mungkin Engkau juga sudah mengetahuinya.”
“Benar, aku telah mendengarnya waktu hampir tiba di Baghdad. Wahai Abu Abdillah, ini kedatanganku yang pertama kali di sini. Aku tidak dikenal di sini. Bila Engkau setuju, biarkan aku datang tiap hari dengan berpura-pura menjadi pengemis. Biar kuucapkan apa yang lazim mereka ucapkan, lalu Engkau keluar dan kita bertemu di sini. Sekali pun hanya satu hadits yang Engkau sampaikan setiap harinya, itu sudah cukup bagiku.”
“Baiklah, tapi syaratnya Engkau jangan muncul di halaqah-halaqah, juga menemui ahli hadits lain.”
“Insya Allah.”
Keesokan harinya, Baqi mengambil ranting untuk tongkat dan membebat kepalanya dengan kain. Kertas dan tinta ia sembunyikan di balik lengan baju.
“Pahala …. semoga Allah merahmati kalian.”
Begitulah Baqi berseru, seperti pengemis kebanyakan. Mendengarnya, Imam Ahmad keluar, menemuinya, menyampaikan dua atau tiga hadits, atau sekian hadits, kepadanya. Rutinitas baru ini berjalan setiap hari sampai orang yang menimpakan fitnah kepada Sang Imam meninggal dunia.
Selanjutnya, tampuk kepemimpinan negeri itu beralih ke kubu Ahlussunnah. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah kembali bebas berinteraksi dengan umat. Orang-orang berduyun-duyun berguru padanya. Dan tentu saja, Baqi bin Makhlad al-Andalusi rahimahullah tak perlu jadi “pengemis” lagi.
Wallahu a’lam. [IB]