(Panjimas.com) – Gadis jelita itu bernama Hindun binti Suhail. Ia adalah putri bangsawan Quraisy bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzum. Bangsawan kaya ini dikenal dengan kedermawanannya. Orang menggelarinya Dzad ar-Rakib, Penjamu Musafir. Ibu Hindun bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kananiyah. Ia berasal dari Bani Faras.
Sebagai putri bangsawan yang terhormat dan disegani, Hindun menjadi gadis idaman para lelaki. Apalagi dengan budi pekertinya yang luhur serta parasnya yang cantik menawan, pesonanya semakin memukau saja.
Tak heran, banyak pemuda Makkah ingin mendapatkan Hindun binti Suhail. Mereka berlomba. Lalu siapa gerangan lelaki mujur yang berhasil merengkuh hatinya? Adalah seorang penunggang kuda Quraisy terkemuka bernama Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Ia adalah putra Barrah binti Abdul Muththalib bin Hasyim, bibi Muhammad bin Abdullah, anak yatim piatu yang nantinya diangkat menjadi Nabi terakhir. Jadi, Abdullah adalah saudara sepupu Muhammad. Mereka juga saudara sesusuan dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab.
Tak lama setelah menikah, pasangan muda Abdullah dan Hindun masuk Islam. Mereka berdua termasuk golongan sabiqunal awwalun (shahabat yang masuk Islam di urutan depan).
Menyaksikan penindasan kaum kafir Quraisy terhadap kaum Mukmin, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam membuka pintu hijrah ke Habasyah. Abdullah dan Hindun mengambil kesempatan ini. Mereka meninggalkan kampung halaman menuju negeri asing nun jauh, demi menyelamatkan iman. Saat menetap di daratan Afrika itu, Hindun binti Suhail radhiyallahu ‘anhu melahirkan empat buah hatinya. Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah sekian tahun, terdengar kabar bahwa dua pentolan kafir Quraisy masuk Islam. Adalah Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib radhiyallahu ‘anhuma. Mereka pun kembali ke kampung halamannya, Makkah. Namun ternyata intimidasi kafir Quraisy belum juga berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi. Maka demi keamanan keluarganya, Abdullah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anhu meminta perlindungan kepada salah satu tokoh Quraisy, Abu Thalib, dari intimidasi Bani Makhzum.
Penindasan kafir Quraisy terhadap Mukmin terus berlangsung. Hingga tibalah perintah hijrah ke Yatsrib. Abdullah bin Abdul Asad sekeluarga berhijrah ke sana. Tapi rupanya rute yang mereka tempuh bukanlah zona aman. Di tengah jalan mereka dicegat sekelompok orang dari Bani Makhzum. Hindun pun disandera. Rupanya orang-orang Bani Asad pun tak ketinggalan dalam aksi pencegatan. Mereka menyandera salah satu putra pasangan Mukmin itu, Salamah. Hindun disandera, Salamah juga. Penyanderanya dari kelompok yang berbeda. Ibu dan anak terpisah. Dengan kesedihan mendalam, Abdullah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anhu melanjutkan perjalanan hanya dengan ketiga putranya. Mereka pun menetap di kota yang selanjutnya bernama Madinah itu. Setahun kemudian, Hindun dan Salamah dibebaskan. Mereka menyusul keluarganya ke Madinah. Keluarga ini sangat bahagia bisa berkumpul kembali setelah setahun terpisah.
Pada tahun kedua pascahijrah (2 Hijriyah), meletuslah perang Dzil Asyirah. Abdullah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anhu mengemban amanah penting sebagai wakil Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam memimpin pasukan. Ia juga turut serta dalam perang Badar dan Uhud. Di perang Uhud, pria penunggang kuda ulung ini mengalami luka yang cukup serius dan hampir saja mati. Tapi alhamdulillah, atas izin Allah ta’ala luka itu berhasil disembuhkan.
Setelah perang Uhud, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mendapat kabar bahwa Bani Asad berencana melakukan serangan. Maka beliau menunjuk Abdullah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima puluh orang. Pasukan itu diarahkan ke Bukit Quthn yang merupakan lokasi mata air Bani Asad.
Allahuakbar! Pasukan Abdullah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anhu berhasil memenangkan pertempuran. Mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta ghanimah. Namun setelah itu, luka-luka Abdullah dalam perang Uhud kambuh dan harus istirahat beberapa lama. Siang-malam istrinya harus merawatnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun sering kali menjenguknya.
Suatu hari, demam Abdullah menjadi, sepertinya ksatria tangguh ini tak sanggup bertahan lagi. Mendapati kondisi kritis sang suami, Hindun berucap, “Aku dapat pengetahuan bahwa bila seorang perempuan yang suaminya meninggal dan masuk surga, istrinya pun akan masuk surga jika tidak menikah lagi. Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pun bila si istri yang meninggal dan suaminya tidak menikah lagi. Maka itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji tidak akan menikah lagi sepeninggalmu.”
Abdullah menanggapi, “Maukah engkau menaati perintahku?”
Aku bermusyawarah hanya untuk taat,” jawab Hindun.
“Kalau aku mati, maka menikahlah!” Abdullah memerintah, lalu berdoa, “Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah (Hindun) setelahku seorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.”
Tak lama kemudian, Abdullah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia. Wallahu a’lam. [IB]