Oleh: Ustadz Umar Faruq Lc (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)
(Panjimas.com) – Sungguh kita berada dalam nikmat yang besar dan tak putus-putusnya. Kalau sekarang kita merasa menderita dan sengsara di tengah lautan nikmat yang banyak ini, mungkin karena terlalu tinggi angan-angan kita, sehingga tidak sempat nikmat yang datang, atau karena kita tidak pernah puas dengan karunia.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan At-Thabarani, bahwa Rasulullah Saw..pernah bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ , فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa yang berpagi-pagi; kehidupannya aman, badannya sehat walafiat, ada makanan untuk hari itu, maka sungguh telah diberikan padanya kehidupan dunia” (HR. At-Tirmidzi).
Bahagia itu sederhana, asal kita mau bersyukur atas setiap nikmat. Syukur memberi kita ruang untuk menikmati setiap karunia ini tanpa harus menunggu masa depan. Kita tidak lagi tergantung dengan hasil akhir, sebab kita bisa menikmati saat ini dengan penuh bahagia. Kalau pun hasil akhir datang sesuai harapan, maka bertambah pula kebahagiaan itu. Ucapan alhamdulilah menebar kebahagiaan dalam jiwa.
Terlalu tinggi kita berangan-angan, padahal saat ini kita sedang menikmati inti kehidupan dunia; kesehatan, keamanan dan ketersediaan makanan. Inilah pokok kenikmatan kita di dunia. Tiga unsur inilah yang menjadi inti kebahagiaan, bukan pada uang dan harta benda yang banyak.
Kekayaan menjadi terasa berarti apabila dibarengi oleh ketiga hal ini. Tanpa itu yang ada hanyalah kesusahan. Sebab kesehatan, keamanan, dan ketersediaan makanan langsung berhubungan dengan kita, sementara uang dan harta itu lebih banyak berhubungan dengan orang lain.
Hidup yang damai, di tengah-tengah keluarga yang harmonis, dalam lingkungan yang saling memperhatikan satu sama lain adalah kenikmatan tiada tara.
Di sini bisa makan dengan enak, tidur dengan nyenyak. Pergi bekerja dengan senang, pulang kerja dengan hati yang riang. Di kantor banyak rekan-rekan kerja yang penuh semangat, di sekolah bertemu dengan teman-teman yang rajin, saling membantu dan bertukar informasi, wajah penuh senyuman itu begitu ramah ketika menyapa. Kita pun bisa kemana saja dengan sesuka hati tanpa ada teror pembunuhan, rudal, senjata, dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti itu sungguh kita berada dalam kenikmatan.
Tapi tidak demikian di tempat-tempat yang lain. Kita mungkin pernah mendengar di banyak tempat terjadi banyak kekacauan, perampokan, pencurian, penodongan, atau pengrusakan akibat tawuran dan perkelahian. Anda sendiri mungkin pernah mengalami. Betapa tidak enaknya hikdup dalam ketakutan seperti itu.
Betapa sengsara kondisi negara-negara lain yang tidak mengalami keamanan selama bertahun-tahun lamanya. Terutama kondisi negara-negara Muslim yang didera konflik dalam negeri, seperti Suriah, Irak, Darfur, Libya, dan terutama Palestina. Mereka merasakan duka nestapa yang berpanjangan. Perasaan takut selalu menyelinap. Alam semesta turut berduka dengan apa yang menimpa saudara-saudara kita di sana.
Akibat konflik itu, kadang berpengaruh kepada kekurangan bahan makanan. Kita sering menyaksikan betapa penyakit busung lapar mewabah dengan luas di Afrika. Baik karena ketiadaan makan dan obat-obatan, atau karena makanan yang sudah tercampur racun atau unsur kimia yang tidak baik bagi kesehatan. Kedinginan tanpa selimut, kedinginan tanpa tempat bernaung.
Air minum pun tidak ada. Kalau pun ada, ia bersumber dari tempat yang kotor. Bahkan ada yang mengatakan bahwa air yang ada di kamar mandi di rumah kita, jauh lebih bersih dari air yang dijadikan sumber minum banyak orang yang ada di Afrika sana.
Ada pula yang kekurangan makanan karena tidak mampu membeli. Hidup dengan serba kekurangan. Tidak punya uang walau hanya untuk membeli sesuap nasi yang membuatnya bertahan untuk hidup.
Sementara kita saat ini masih ada makanan yang bisa kita nikmati. Bentuknya beraneka macam, dengan berbagai warna dan rasa. Mulai dari makanan yang ringan sampai makanan berat. Semua ini menggerakkan kita untuk bersyukur, berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat yang terkira. [Edt; GA]