(Panjimas.com) – Ahok tersangka kasus penistaan agama. Dia juga dicegah bepergian ke luar negeri. Begitulah yang diumumkan Kapolri Tito Karnavian, pagi tadi (Rabu, 16/11). Alhamdulillah…
Ya Alhamdullillah. Sebagai ummat Islam, kita diwajibkan bersyukur atas setiap karunia yang Allah berikan. Status tersangka bagi Ahok adalah juga karunia yang harus disyukuri.
Selanjutnya, what’s next? Apa lagi?
Sekadar mengingatkan saja, ummat Islam sudah kadung merencanakan bakal menggelar aksi Bela Islam (ABI) jilid 3? Konon, ABI 3 akan digelar besar-besaran, pada 25 November 2016. Sebagian kalangan menyebut-nyebut jumlah massa yang bakal terlibat lebih besar daripada ABI 2, yang mencapai 2,3 juta massa.
25 November? Belum tentu juga. Pasalnya, para pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang menjadi ‘penyelenggara’ aksi sejak awal sudah membantah tanggal tersebut. Pembina GNPF Habib Rizieq Shihab, misalnya, mengatakan tanggal aksi belum ditentukan. Termasuk juga sasaran atau tempat aksi, belum diputuskan. Tapi titik kumpul sudah bulat,yaitu di Bunderan Hotel Indonesia. Sedangkan mengenai jumlah massa aksi, diharapkan memang lebih besar daripada ABI jilid 2.
Tuntutan ABI 2 adalah Tangkap dan Penjarakan Ahok. Polisi memang baru menetapkan gubernur yang hobi menggusur dengan brutal itu sebagai tersangka. Ini artinya, tuntutan memenjarakan Ahok belum dipenuhi. Polisi hanya mencegah mantan Bupati Belitung Timur yang mulutnya kerap menyemburkan isi toilet itu bepergian ke luar negeri.
Lalu, bagaimana? Saat mengumumkan hasil gelar perkara yang memutuskan Ahok sebagai tersangka, Tito menjelaskan para penyidik telah bekerja secara profesional. Mereka sama sekali tidak menerima perintah atasan. Mereka juga tidak terpengaruh oleh tekanan dari mana pun, termasuk dari publik.
Kapolri juga minta publik menghargai keputusan hasil gelar perkara. Semua pihak diminta menerima keputusan itu. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak, di luar yang telah diputuskan tim penyelidik. Pasalnya, lanjut Tito, ada indikasi pemaksaan kehendak kelompok tertentu dengan membonceng rencana aksi berikutnya.
Ini adalah kalimat bersayap dari seorang Kapolri. Secara implisit, Tito ingin mengingatkan siapa pun untuk tidak macam-macam dan tidak main-main. Dikombinasi dengan wara-wiri Presiden Jokowi ke sejumlah pihak, termasuk dan terutama ke pasukan-pasukan elit TNI dan Polri, penegasan itu bisa dimaknai sebagai ‘ancaman’. Dan, sasaran ancaman tersebut, tentu saja, adalah GNPF serta mereka yang dituding sebagai para penunggang di belakangnya.
Sebagian teman memang tetap ngotot bermaksud turun pada 25 November. Alasannya, ya itu tadi, Ahok belum ditangkap dan dipenjarakan. Mereka juga mengatakan, penetapan status gubernur yang amat suka memaki rakyatnya itu sebagai tersangka hanya untuk meredam kemaraham ummat Islam.
“Itu cuma gula-gula agar kita kita jadi turun ke jalan. Kita tidak tahu, apa yang terjadi dan apa yang akan pemerintah lakukan setelah ini. Kita tidak ingin kasusnya seperti Budi Gunawan. Setelah tersangka, dia mengajukan praperadilan. Lalu, bebas. Sangat mungkin ‘sukses’ ini bakal mereka ulangi,” ujar teman dari Solo dengan bersemangat.
Kekhawatiran penetapan status tersangka Ahok hanya alat untuk meredam kemarahan ummat Islam memang masuk akal. Apalagi sistem beracara di negeri ini memang membuka peluang untuk itu. Bukan mustahil Ahok dan timnya sudah menyusun skenario seperti itu.
Pertama, mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri. Lalu, menunggu Jaksa memutuskan berkas P-19 dan P-21. Jangan lupa, begitu berkas sampai di kejaksaan, tidak ada secuil pun jaminan bakal menggelinding ke pengadilan. Maklum, Jaksa Agungnya, Prasetyo, adalah kader Nasdem, partai pendukung utama Ahok.
Katakanlah, akhirnya kasusnya naik ke PN. Hasilnya, bisa menang bisa juga kalah. Habis, itu ada yang naik banding. Maka, kasusnya pun bergulir ke Pengadilan Tinggi. Hasilnya sama, bisa menang bisa juga kalah. Selanjutnya, pihak yang tidak menerima akan mengajukan kasasi di Mahkamah Agung dengan hasil lagi-lagi menang/kalah.
Selesai? Belum juga. Masih ada rangkaian berikutnya. Pihak yang tidak puas, berusaha menemukan novum baru dan kembali maju ke MA. Setelah sidang lagi yang juga tidak kalah melelahkan, barulah ada keputusan tetap alias in kracht. Selesai, sudah. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk itu semua, normalnya sekitar lima tahun! Sedap, kan?
Jadi, bagaimana? Pada titik ini, sebaiknya rencana ABI jilid 3 yang konon bakal digelar pada 25 November itu ditunda. Jangan habiskan energi ummat, untuk suatu aksi yang seperti kehilangan momentum.
Benar, tuntutan tangkap dan penjarakan Ahok pada ABI-2 memang belum dipenuhi. Namun, dengan status tersangkanya Ahok, ibarat makan, rencana Aksi Bela Islam jilid 3 sudah kehilangan atau minimal berkurang seleranya.
Lebih baik potensi energi luar biasa itu untuk sementara kita simpan. Jokowi, Wapres JK, dan Kapolri sudah berjanji, pemerintah akan mengusut tuntas kasus ini dengan cepat, adil, dan transparan. Kita kawal prosesnya. Caranya, beri waktu, katakanlah 2-4 pekan. Kalau ditemukan ada permainan dari aparat hukum, barulah ABI-3 jadi digelar.
Langkah ini lebih bermanfaat ketimbang ummat Islam ‘memuntahkan semua peluru’ yang ada. Dalam perang, diperlukan strategi yang pas. Dalam pertempuran, harus bisa menghemat peluru. Usahakan, satu peluru satu nyawa musuh.
Lagi pula, untuk urusan manusia yang satu ini, percayalah, ada banyak alasan untuk ‘menembakkan peluru’ lainnya. Penistaan al Madiah ayat 51 hanyalah satu hadiah dari Allah. Masih banyak hadiah lain yang sangat mungkin Allah sediakan. Dengan mulut ember seperti itu, Ahok masih sangat mungkin membuat masalah baru yang lainnya.
Tidak percaya? Coba simak apa pendapatnya setelah diganjar kasus tersangka sebagai penista agama.
“Tersangka, jadi tersangka saja. Yang malu itu tersangka koruptor. Kalau tersangka belain orang, bangga saya. Ahok dipenjara karena difitnah dan dizalimi,” ungkapnya di Rumah Lembang, Jl Lembang No. 27, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/11/2016).
Ahok merasa difitnah. Dia merasa dizalimi. Dia sama sekali tidak merasa bersalah. Tidak ada kata menyesal dalam kamus hidupnya. Dia lantang menantang!
Simak kalimat berikutnya, “Mandela dipenjara 35 tahun jadi presiden. Siapa tahu gue jadi presiden kan enak, ngapain pusing,” ungkapnya.
Hebat, kan? Jadi, kita kawal terus proses hukumnya. Sambil, kita tunggu ‘hadiah’ berikutnya dari Allah… (*)
Jakarta, 16 Novembver 2016
Penulis, Edward Marthens
Pekerja sosial, tinggal di Jakarta