(Panjimas.com) – Masih di tengah momet bulan Maret. Bulan yang digadang menjadi tonggak sejarah bagi kaum perempuan dengan sebuah peringatan besarnya yang telah berlangsung beberapa abad lalu. Tepatnya tangga 1 Maret. hampir seluruh perempuan di pelosok dunia memperingati hari besar mereka yakni Hari Perempuan Internasional, yang lebih dikenal dengan istilah “Woman’s March”
Berangkat dari sebuah fakta sejarah tentang adanya upaya diskriminasi yang dilakukan oleh para laki-laki kepada kaum perempuan. Sehingga memicu lahirnya aksi tuntutan berupa kesetaraan gender. Sehingga diharapkan tidak lagi terjadi diskriminasi di tengah masyarakat.
Namun apakah benar dengan kesetaraan gender maka persoalan diskriminasi ini akan terselesaikan? Tidak. Justru kesetaraan inilah yang menjadi penyebab lain dari adanya eksploitasi bagi perempuan. Dengan kesetaraan gender maka kaum perempuan diharapkan mempunyai tugas dan peran yang sama dengan laki-laki. Terutama dalam hal memenuhi kebutuhan materi dan finansial.
Dengan adanya kesetaraan gender maka perempuan diharapkan dapat memasuki ruang-ruang publik, mengekspresikan dirinya. Berkarya dan berkarir sehingga mencapai kata ‘sukses’ dalam kaca mata kapitalis. Banyak sekali kaum perempuan yang berlomba-lomba mencapai prestasi tersebut. Yakni pencapaian materi yang melimpah. Yang pada akhirnya justru melalaikan mereka para kaum ibu dan calon ibu dari kodrat maupun fitrah yang sebenarnya.
Kapitalisme bersama kebebasannya telah berhasil menggiring para perempuan dari rumah-rumah mereka. Menjadi mesin produksi. Mengganti peran mulia mereka sebagai ibu, madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan peran baru yaitu pencari nafkah.
Mengeksploitasi feminitas para wanita dengan iming-iming penampilan fisik yang menarik. Sehingga mereka menanggalkan hijabnya, berganti dengan pakaian minimalis serta polesan menor. Berserta aktivitas yang terlampau lama di luar rumah. Meninggalkan buah hati yang sangat membutuhkan bimbingan ibunda mereka, yang digantikan dengan peran subsidi.
Hal yang sangat bertolak belakang di dalam Islam. Sebab di dalam Islam Allah menempatkan perempuan dan laki-laki sama di hadapanNya, sebagai makhluk. Karena itu tidak ada istilah kesetaraan gender di dalam Islam.
Namun, Islam pun mengajarkan kepada masing-masing dari keduanya. Dengan menetapkan tujuan hidup mereka di dunia adalah demi meraih ridho Allah. Yang dalam pelaksanaannya Allah Subhanahu wa ta’ala bedakan caranya antara perempuan dengan laki-laki. Semata-mata demi menjaga perempuan itu sendiri. Sebab di dalam Islam perempuan adalah kehormatan yang wajib dilindungi, dan yang paling tahu tentang diri manusia adalah Allah ta’ala.
Perempuan mempunyai tugas utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya. Serta pendidik bagi anak-anaknya. Karena itu perempuan disebut sebagai tonggak peradaban. Sehingga ada sebuah kata bijak mengatakan bahwa “generasi cemerlang dan berjiwa penakluk hanya terlahir dari para ibu yang visioner juga bercita-cita kepemimpinan”.
Kaum ibu yang teguh pada wahyu dan apa yang sudah dijanjikan oleh Allah Rabb mereka, kaum Muslimah yang paham betul bahwa kesuksesan sejati mereka adalah kesuksesan peradabannya, masyarakatnya, dan generasi yang lahir dari tangannya.
Mereka adalah para perempuan hebat yang hidup di masa keemasan Islam. Mereka bukanlah sosok wanita Karir seperti hari ini yang hanya mengejar kesuksesan semu dengan capaian materi. Hanya memikirkan kesuksesan diri dan keluarganya. Atau mereka yang berhasil duduk di bangku parlemen karena memenangkan pemilu ala demokrasi sekuler.
Namun mereka adalah para intelektual peradaban, penggerak opini dakwah dan ibu generasi pemimpin umat yang menyadari keberhasilah terbesarnya adalah berkarya mendidik generasi dan menyiapkan peradaban dengan prestasi menjulang. (MMN; hal 41).
Oleh karena itu wanita hanya akan mencapai karir cemerlangnya selama berpegang pada syariat Allah Subhanahu wa ta’ala , bukan yang lain. Wallahu a’lam bis showab. [RN]
Kaimana, 12 Maret 2018
Penulis, Rahmiani Tiflen, Skep
Revowriter Papua Barat dan Pengamat Perempuan