MOSKOW, (Panjimas.com) – Saat mengelar konferensi pers bersama dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Moskow, Grand Mufti Rusia Syaikh Rawil Gaynetdin menegaskan dukungannya atas perjuangan rakyat Palestina dan turut berkomitmen menggalang dukungan luas bagi Palestina di Rusia.
Syaikh Gaynetdin menilai bahwa langkah A.S. mengenai pemindahan Kedubesnya dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai suatu tindakan yang “provokatif”.
“Yerusalem harus mempertahankan status resminya yang ditetapkan sesuai dengan resolusi PBB dan didukung oleh mayoritas negara-negara [PBB]. Yerusalem Timur adalah ibu kota Palestina “, pungkas Syaikh Gaynetdin.
Sementara itu, Mahmoud Abbas menyampaikan pentingnya digelar konferensi internasional mengenai status Yerusalem.
Abbas mengusulkan Moskow ataupun Paris yang bisa saja menjadi tuan rumah konferensi menyoal nasib Al-Quds itu.
“Kami tidak menolak A.S. namun kami tidak ingin A.S. menjadi mediator tunggal. Kami ingin mediasi multilateral segera setelah diadakannyanya konferensi internasional yang bisa saja berlangsung baik di Moskow ataupun di Paris,” pungkasnya.
Menurut Abbas, Konferensi tersebut haruslah mampu merumuskan sebuah mekanisme baru dalam hal perundingan Israel-Palestina, demikian penuturan Presiden Mahmoud Abbas dalam konferensi pers di Moskow setelah Ia bertemu dengan Grand Mufti Rusia, Syaikh Rawil Gaynetdin.
Mekanisme baru tersebut, menurut Presiden Palestina itu, harus melibatkan pihak Rusia, A.S., Uni Eropa dan negara-negara Muslim utama dalam proses perundingan Israel-Palestina.
Pada tanggal 21 Desember 2017, 128 negara menolak deklarasi Trump di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menuntut AS untuk menarik keputusannya tersebut.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota Kamis malam (21/12) menggelar sidang khusus darurat mengenai keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 6 Desember lalu. Tidak seperti di Dewan Keamanan, dalam Majelis Umum PBB, A.S. tidak memiliki hak veto.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Sebagaimana diketahui, 3 hari sebelumnya, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB – yang mendapat dukungan dari 14 anggota Dewan Keamanan tersebut (baik anggota permanen maupun anggota tidak tetap DK PBB). Resolusi DK PBB itu menyerukan larangan pembentukan misi diplomatik AS di Yerusalem.
Hukum internasional memandang wilayah Tepi Barat – termasuk Yerusalem Timur – sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di atas tanah itu adalah tindakan ilegal.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”.[IZ]