YERUSALEM, (Panjimas.com) – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini menyatakan janjinya untuk membangun ribuan pemukiman Yahudi baru di Tepi Barat. Komentar tersebut segera saja mendapat kecaman keras dari rakyat Palestina, ini pun berarti sebuah ujian baru bagi pemerintahan Trump, yang telah bekerja selama lebih dari delapan bulan untuk memulai kembali perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina, seperti dilansir Daily Sabah.
“Kami akan mengintensifkan pengembangan Ma’ale Adumim,” tegasnya. “Kami akan membangun ribuan unit perumahan, bersamaan dengan kawasan industri yang perlu, dengan maksud untuk meningkatkan pembangunan daerah tersebut.”
Netanyahu selanjutnya menyatakan bahwa pemerintahnya akan mendukung sebuah Undang-Undang “Greater Jerusalem” yang akan memungkinkan pemerintah kota Yerusalem untuk mencantumkan 19 permukiman utama, termasuk Ma’ale Adumim, Gush Etzion dan Givat Ze’ev.
Nabil Shaath, seorang Penasihat senior Presiden Palestina Mahmoud Abbas, menyebut komentar Netanyahu “sama sekali tidak dapat diterima.”
“Ini adalah upaya Netanyahu untuk menghancurkan solusi dua negara dan penolakan yang jelas untuk mencoba kembali proses perdamaian, terutama oleh Amerika Serikat,” pungkasnya.
Rakyat Palestina tinggal Tepi Barat, yang dicaplok oleh Israel dalam perang Timur Tengah 1967, sebagai bagian dari negara merdeka di masa depan dan menganggap semua pemukiman Yahudi berstatus ilegal – sebuah posisi yang secara luas disepakati oleh masyarakat internasional. Israel sementara berdalih nasib para pemukim Yahudi harus diselesaikan melalui negosiasi.
Maaleh Adumim adalah pemukiman sekitar 40.000 orang di sebelah timur Yerusalem. Hal ini dianggap strategis karena terletak di pusat wilayah Tepi Barat, dan dengan menjadikannya bagian dari wilayah Israel dapat sangat menghambat aspirasi negara Palestina.
Pada saat yang sama, sekitar 100.000 warga Palestina sekarang tinggal di lingkungan Yerusalem – akan tetapi di luar tembok pemisah Tepi Barat-Israel – secara administratif mereka terputus aksesnya dari kota.
Israel menduduki Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, selama Perang Timur Tengah 1967. Israel kemudian mencaplok Yerusalem pada tahun 1980, mengklaimnya sebagai ibukota “abadi” negara Yahudi dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.
Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai “wilayah yang diduduki” dan menganggap semua bangunan permukiman Yahudi di sana berstatus hukum ilegal.
Rakyat Palestina, menuding Israel melakukan kampanye agresif “Yahudisasi” Yerusalem dengan tujuan untuk menghilangkan identitas historis Arab dan Islamnya dan mengusir penduduk Palestina.
Yahudisasi Yerusalem
Grand Mufti Yerusalem Syaikh Mohammed Hussein pernah mengungkapkan strategi Yahudisasi kota Yerusalem.
Salah satunya dengan cara memaksakan kebijakan liburan Yahudi di sekolah-sekolah Palestina di Yerusalem, lebih lanjut Grand Mufti Yerusalem Syaikh Hussein menekankan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk “Yahudisasi” sistem pendidikan di Yerusalem.
Selain ini, Yahudisasi Yerusalem juga dilakukan dengan cara mengganti nama-nama jalan dan daerah-daerah di Kota tua [Yerusalem Timur] dengan nama-nama Ibrani, upaya-upaya semacam ini bertujuan untuk menghilangkan identitas Palestina dan Muslim di Yerusalem, demikian penjelasan Syaikh Mohammed Hussein.
Sementara itu, Yahudisasi dalam konteks demografi dilakukan dengan cara terus membangun pemukiman ilegal Yahudi dan mengusir rakyat Palestina.[IZ]