JAKARTA, (Panjimas.com) – Dakwah menjadi ujung tombak dari citra Islam. Sebab banyak orang mendengar ajaran Islam dan interaksi pemberdayaan umat melalui aktivitas da’i, baik dakwah secara lisan maupun dakwah yang langsung mengajak mesyarakat. Sedangkan fenomena yang marak di Indonesia masih didominasi arti dakwah secara lisan dalam acara-acara formal keagamaan atau tabligh pengajian.
Dalam rangka mengefektifkan peran dakwah sesuai dengan tujuan utamanya adalah mengajak masyarakat untuk bertauhid kepada Allah SWT, menjalankan syariah agama dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat maka Majelis Ulama Indonesia menganggap penting untuk menetapkan pedoman dakwah untuk acuan oleh para da’i.
Untuk alasan itulah Panjimas menanyakan langsung kepada KH.Cholil Nafis, Lc, Ph.D sebagai Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat.
“Dalam Pedoman dakwah yang disahkan oleh MUI pada September 2017 memuat beberapa ketentuan, diantaranya: Menetapkan kriteria dan kompetensi pelaku dakwah, Menetapkan konten dakwah Islam yang berwawasan Wasathiyah (moderat) dalam bingkai Ahlussunnah wal Jamaah dan Menetapkan model dan metode dakwah yang aktual, dinamis dan bertanggungjawab, Menetapkan adanya Dewan Etik Dakwah Nasional yang mengarahkan konten, dan mengawasi perilaku para dai dan lembaga penyiaran dakwah agar sesuai dan senafas dengan wawasan dakwah wasathiyah, baik di tingkat nasional maupun lokal,” ujar Kyai Cholil.
Masih menurut dirinya, semua orang bisa menjadi objek dakwah, umat muslim maupun non muslim. Namun menjadi pelaku dakwah harus memiliki kriteria yang harus dipenuhi agar citra Islam tidak buruk dan malah dakwahnya menjadi kontraproduktif. Da’i harus memiliki integritas dan kompetensi yang memadai tergantung pada tingkat masyarakat sebagai objek dakwah.
Seorang da’i harus memiliki integritas Qalbu, lisan, amal dan sosial. Ia harus memiliki sifat ikhlas dan tekad untuk mengabdikan diri demi melayani kebaikan orang lain. Ia harus mempunyai sifat rela dirinya berkorban demi kebaikan orang banyak. Tutur kata seorang da’i harus mencerminkan isi hatinya yang diimplementasikan dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
“Kompetensi da’i harus memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan berkomunikasi, mamagerial, dan pandai mengembangkan masyarakat. Sebab seorang da’i harus memiliki ilmu yang bisa diberikan dan sekaligus memiliki keterampilan untuk menyampaikannya. Selanjutnya da’i harus bisa mengelola dan mengembangkan masyarakat menuju kehidupan beragama dan bermasyarakat yang lebih baik,” pungkasnya. [ES]