SUKOHARJO (Panjimas.com) – Kali ini kita akan belajar lagi istilah hisab, rukyat dan imkanur rukyat yang sering menjadi pembahasan umat Islam ketika akan memasuki bulan-bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah.
Dijelaskan oleh ustadz AR Sugeng Riadi dari Observatorim PP Assalam, bahwa hakikatnya hisab dan rukyat itu satu ilmu yaitu ilmu Falak.
“Hisab secara bahasa artinya menghitung. Rukyat secara bahasa artinya melihat. Dalam penerapannya di dalam ilmu falak berarti untuk menentukan awal bulan, menghisab artinya menghitung,” kata ustadz AR Sugeng.
Syarat awal bulan itu adalah terjadinya konjungsi atau ijtimak dan matahari sudah terbenam. Dan konjungsi atau ijtimak terjadinya sebelum ghurub. Pada saat ghurub, tinggi atau altitude hilal itu sudah positif. Inilah perhitungan alias hisabnya.
Sementara untuk rukyat, sejatinya tidak memerlukan “hisab”. Untuk merukyat kita tinggal datang ke lapangan dan melihat. Hanya ketika kita tidak menggunakan hisab bagi yang tidak pernah merukyat dia tidak akan faham dimana matahari akan terbenam dan dia akan kehilangan momen untuk bisa fokus ke arah bulan.
“Tapi dengan panduan hisab, matahari terbenam di azimut sekian, maka secara hisab akan diketahui bulan itu nanti bisa diketahui azimut dan altitudenya dan itu bisa memandu,” terang ustadz AR Sugeng.
Tetapi kemudian rukyat yang sebenarnya diterapkan sejatinya kita tinggal ke lapangan pada tanggal 29 untuk melihat bulan. Jika tidak kelihatan maka tinggal istikmal alias bulan digenapkan menjadi 30 hari.
Sementara untuk Indonesia itu ada beragam hisab. Pemerintah juga menggunakan hisab, hanya saja pemerintah RI menggunakan hisab yang kemudian menghargai penganut rukyat.
“Jadi walaupun pemerintah hisab tetapi untuk mengumumkannya menunggu hasil pelaksanaan atau pengamal rukyat. Jadi apa yang diumumkan pemerintah itu sebenarnya sudah dihisab dua tahun sebelumnya oleh tim falakiyah,” ustadz AR Sugeng menjelaskan.
Jadi Wujudul Hilal itu adalah hisab yang dipakai oleh ormas Muhammadiyah. Lalu Imkanur Rukyat yang dipakai pemerintah juga hakikatnya adalah hisab, yang sekarang namanya neo mabim. Imkanur Rukyatnya Neo Mabim.
Apa itu Neo Mabim? itu Neo visibilitas yang menaikkan kriteria hilal. Jaman dahulu kriterianya adalah 2 derajat dan sekarang naik menjadi 3 derajat.
“Pada dasarnya, berapapun kriteria hilal, apabila sudah mematok angka maka hakikatnya itu adalah hisab. Jadi ketika muncul angka-angka ketinggian hilal dan lain-lain, maka itu sudah termasuk hisab,” tambahnya.
Sementara hakikat rukyat itu tidak akan memunculkan angka. Ilmu falak yang dipakai untuk melihat hilal, untuk mengetahui hilal, untuk mencari hilal, tapi dia tidak muncul angka-angka maka itulah pengamal rukyat.
Pengamal rukyat itu menggunakan teleskop langsung, menggunkan mata langsung untuk melihat hilal itu adalah hakikat pengamal rukyat. Tapi ketika pengamal rukyat itu menggunakan data-data untuk melihat hilal akan ada di ketinggian sekian, maka itu sudah termasuk pengamal hisab.
Jadi sekarang NU sendiri sudah memadukan antar rukyat dan hisab. Hisabnya NU bagaimana? hisabnya dipakai untuk membantu ketika ketinggian hilal itu ada di bawah tiga derajat, maka NU tidak memerlukan rukyat. Andaikata ada rukyat, hasil rukyatnya pasti ditolak karena secara hisab ketinggian hilal ada di bawah tiga derajad sesuai kriteria NU.
Sementara ketika hasil hisab mengatakan tinggi hilal ada di atas 10 derajat atau minimal 10 derajat, maka penganut rukyatnya NU juga tidak perlu rukyat. Andaikata ada orang NU rukyat, padahal hilal secara perhitungan sudah 10 derajat atau lebih dan walaupun tidak ada yang berhasil melihat seluruh Indonesia, maka hilalnya tetap dianggap kelihatan.
Bagi NU, yang dirukyat adalah hilal yang secara hisab ada di ketinggian 3 derajat dan di bawah 10 derajat. Ketika berhasil dilihat maka sudah dianggap bulan baru, dan ketika tidak terlihat hilalnya maka istikmal.
Sedang Muhammadiyah, yang penting positif secara hisab maka sudah masuk bulan baru.
Hakikat hisab itu memunculkan angka, sedangkan hakikat rukyat tidak butuh angka.