YOGYAKARTA, (Panjimas.com) – Salah seorang penghayat (penganut) aliran kepercayaan di Yogyakarta, Endang S. mengatakan, latar belakang para penghayat berbeda-beda. Sebagian karena pengaruh keluarga. Dirinya sendiri salah satunya. Orang tua Endang adalah penganut aliran bernama Paguyuban ASK (Angesthi Sampurnaning Kautaman).
Sejak kecil ia dididik sebagai penghayat (sebutan bagi penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan YME). Hingga di masa sekolah pun, dengan tegas orangtuanya mengatakan kepada pihak sekolah bahwa anaknya adalah seorang penghayat.
Namun karena di sekolah tak ada pelajaran kepercayaan, Endang tetap mengambil pelajaran salah satu agama. Di SMP dia mengambil Islam, dan di SMA mengambil Kristen. Yang jelas, itu semua hanya sebagai formalitas semata.
Endang menjelaskan, di mata para penghayat, semua agama resmi di Indonesia berasal dari luar. Sedang Aliran Kepercayaan, yang biasa juga disebut Kebatinan atau Kejawen, adalah agama lokal.
Namun persepsi tersebut tidak memiliki argumen yang kuat. Ajaran kebatinan dengan berbagai macam namanya baru muncul pada era Orde Baru, dan biasa berawal dari perenungan pendirinya.
Seorang peneliti naskah-naskah kuno dan sejarah kebudayaan Jawa, yang juga kandidat doktor Universitas Ibnu Khaldun, Susiyanto M.Pi., menunjukkan bukti yang bertolak belakang. Kebatinan yang dianut orang Jawa, sangat dipengaruhi oleh ajaran Theosofi yang dibawa oleh Belanda.
Ajaran tersebut telah dipromosikan di Jawa, terutama di Surakarta, sejak 22 November 1905. Theosofi mulai mendirikan centrum di Surakarta pada tanggal di atas. Ketuanya adalah seorang berkebangsaan Belanda bernama J.B. Messchaert. Gerakannya berupa propaganda. Ia dibantu oleh R, Ng. Djojopuspito (sekretaris) dan R.M.Ng Mangundipuro (bendahara).
Melalui kegiatan studieklas, dipromosikanlah konsep bahwa pendidikan anak tidak boleh dilakukan dengan menggunakan agama. Agama dianggap sebagai sumber konflik. Agama harus diperbandingkan dengan agama lain karena menurut keyakinan mereka semua agama memiliki kebenaran. Kebenaran-kebenaran yang berasal dari berbagai agama ini harus diambil dan digunakan sebagai dasar pijakan seorang theosof. Jadi kalau sudah menganut ajaran theosofi atau kebatinan, maka ajaran agama itu sendiri menjadi tidak penting.
Gerakan ini berkembang di kalangan orang Jawa dan masuk melalui para abdi dalem Kraton Mangkunegaran dan Kasunanan dari tahun 1905-1960-an.
Pengaruh ajarannya masuk melalui kitab-kitab Primbon, dan salah satu kadernya pernah membentuk organisasi Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang menaungi seluruh organisasi kebatinan pada tahun 1955. Organisasi tersebut masih aktif hingga kini, meski tidak semasif kala itu. [IB]