Yogyakarta, Panjimas – Songsong Tahun Baru Islam 1445 Hijriah, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada, Jumat (14/7) selenggarakan pengajian umum dan menghadirkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.
Pengajian yang bertema “Islam dan Spiritualitas Generasi Z: Tantangan dan Strategi bagi PTMA”. Abdul Mu’ti dalam tausiyah menyampaikan, terkait dengan penamaan generasi Z maupun milenial mengalami kerancuan, oleh karena itu dia lebih nyaman menyebutnya sebagai generasi muda.
Dalam konteks spiritual, budaya dan ekonomi generasi ini memiliki distinksi dengan generasi yang lain. Dalam sisi spiritualitas, imbuh Mu’ti, generasi ini memiliki karakteristik dan tingkat spiritualitas dari generasi sebelumnya. Lebih-lebih dengan generasi baby boomer.
“Generasi Z atau milenial ini memang memiliki spiritualitas yang memang lebih rendah dibandingkan dengan generasi sebelumnya.” ungkapnya.
Merujuk sumber-sumber penelitian, Guru Besar Pendidikan Islam menjelaskan bahwa terdapat beberapa indikator untuk mengukur rendahnya spiritualitas generasi ini. Pertama, pandangan mereka tentang makna agama bagi kehidupan. Mereka menganggap agama tidak terlalu diperlukan dalam kehidupannya.
“Generasi ini tidak merasa agama itu perlu, agama itu penting. Bahkan yang menarik ketika kita berbicara tentang agama pada generasi milenial ini, sesuai dengan karakteristik mereka yang easy going yang cenderung bebas, dan mendapatkan sesuatu secara mudah, kelompok ini cenderung memaknai spiritualitas sebagai ketenangan batin. Namun tidak berarti dia harus terikat dengan agama-agama tertentu.” ungkapnya.
Kenyataan tersebut yang kemudian menimbulkan trend pada kalangan generasi muda untuk memilih tidak beragama. Meskipun mereka mempercayai spiritualitas ke-Tuhanan, tetapi mereka enggan terikat dengan institusi agama manapun atau agnostik.
Dengan kalimat sederhana Abdul Mu’ti menyebut mereka “mencintai tapi tidak mau memiliki.” Fakta tersebut menjadi alasan Muhammadiyah mengangkat isu spiritualitas kelompok generasi milenial ini menjadi isu nasional dalam Muktamar ke-48 di Surakarta beberapa waktu lalu itu.
Indikator yang kedua, generasi muda ini lebih longgar dalam relasi antar kawan, bahkan relasi antar agama. Sifat terbuka dan lebih menerima nilai-nilai universal, daripada nilai yang memisahkan mereka.
“Penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan itu lebih tinggi di kelompok ini. Karena mereka lebih cair, bergaulnya itu melintas batas,” imbuhnya.
Kecenderungan sikap tersebut dapat dilihat dalam case LGBT. Mu’ti menyebut, kelompok generasi muda ini lebih mudah menerima perbedaan orientasi seksual tersebut, ketimbang kelompok ‘kolonial’ atau tua.
Sikap pelonggaran yang diikuti oleh kebanyakan generasi milenial atau Z ini berdampak pada demografi suatu negara. Sebab mereka cenderung untuk memilih tidak menikah, menyebabkan pertumbuhan penduduk di suatu negara itu negatif. Realitas tersebut dapat ditemukan di negara-negara maju.
“Kelompok ini begitu longgar, yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan antar generasi,” imbuhnya.
Berbagai kenyataan tersebut menjadi alasan Muhammadiyah mengangkat isu spiritualitas generasi milenial sebagai isu nasional. Saat ini dan ke depan, demografi penduduk Indonesia mayoritas adalah kelompok generasi ini. Sehingga masa depan bangsa ini digantungkan kepada generasi milenial.