Jakarta, Panjimas —Setelah berkali-kali menolak, Syamsul Anwar akhirnya menjadi salah satu anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027. Padahal, sejak tahun 1985 hingga saat ini, ia aktif di Majelis Tarjih dari level wilayah hingga pusat. Kehadirannya di jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, akan semakin menambah daya gedor citra ulama di Muhammadiyah.
Pakar hukum Islam yang lahir pada tanggal 30 Maret 1956 di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau ini, sejak kecil mendapatkan bimbingan pendidikan dari keluarganya. Pada tahun 1975, ia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus yang sama dengan fakultas yang berbeda, ia melanjutkan studi akidah dan filsafat.
Sebelum menyelesaikan tesis, Syamsul mengikuti program belajar di Universitas Leiden tahun 1989-1990 bersama 13 dosen dari beberapa IAIN se-Indonesia. Ia juga sempat mengikuti pembelajaran bahasa Inggris selama dua bulan di School of Oriental and African Studies (SOAS), London University. Setahun penuh belajar Islamic Studies di Negeri Kincir Angin, Syamsul pulang ke Indonesia dan menyelesaikan pendidikan S2 pada tahun 1991.
Pada tahun 2001, Syamsul sukses menyandang predikat sebagai doktor dalam bidang hukum Islam di IAIN Sunan Kalijaga. Disertasinya berjudul “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustaṣfa Karya al-Gazzali.” Penelitian doktoralnya ini berangkat dari kegelisahannya melihat al Ghazali dipahat sebagai seorang sufi, filsuf, dan teolog, namun luput sebagai pakar hukum Islam. Melalui al-Ghazali, ia memeroleh landasan paradigma baru dalam hukum Islam terutama dalam upaya menghadapi tantangan modern.
Tidak lama setelah itu, IAIN Sunan Kalijaga mengangkat Syamsul menjadi Guru Besar dalam bidang hukum Islam. Sejumlah karya telah diterbitkan baik berupa buku, jurnal ilmiah, artikel koran, dan lain-lain dalam berbagai bahasa seperti Arab, Inggris, dan Indonesia. Kombinasi antara kepiawaiannya dalam membaca teks-teks klasik (turats) dan menelaah teks-teks kontemporer, membuat Syamsul cukup disegani di kalangan akademisi.
Kontribusi dalam Bidang Hukum Islam
Syamsul Anwar berhasil menemukan formula yang tepat agar fikih tidak dipandang sebagai disiplin pengetahuan yang hanya membahas halal-haram. Menurut Syamsul, fikih klasik setidaknya memiliki dua kekurangan: kelemahan sistematisasi (lack of sistematizatioan); dan kelemahan dalam hal kurang empiris (lack of empiricism). Hal ini terjadi lantaran formulasi metodologis yang telah ditawarkan ulama-ulama sebelumnya lebih terpusat pada suatu analisis tekstual dengan model deduksi peraturan-peraturan konkrit dari nash.
Dalam mengatasi kekurangan konsep fikih klasik, Syamsul menawarkan metode pertingkatan norma dalam Usul Fikih. Pemikiran ini terinspirasi dari pakar hukum dan filsuf Austria Hans Kelsen yang mengandaikan adanya suatu hierarki norma dalam sistem hukum. Tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada norma dasar. Norma dasar tersebut adalah norma superior yang menjadi dasar pembentukan norma lainnya yang lebih inferior. Teori ini juga diterapkan di Indonesia sebagai hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Syamsul meminjam paradigma Kelsen ini sebagai langkah agar fikih atau usul fikih serta hukum Islam secara umum tidak melulu hasil deduksi peraturan-peraturan rinci dari kitab suci. Menurutnya, tingkatan norma dalam hukum Islam meliputi: 1) nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah); 2) prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah); dan 3) ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Contoh sederhana penggunaan metode asumsi hirarkis ini, misalnya: nilai dasar persamaan, diturunkan ke prinsip umum menjadi setaranya antara hak laki-laki dan perempuan, dan norma konkretnya adalah kebolehan menjadi pemimpin struktural baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Syamsul memberikan catatan terkait teori pertingkatan normanya ini. Berbeda dengan Kelsen yang menganggap norma lebih rendah mendapatkan keabsahannya dari norma lebih tinggi secara formal, sehingga menganggap unsur materi hukum tidak menjadi penting. Norma seburuk apa pun bisa jadi absah, apabila terdapat norma yang lebih tinggi yang memayunginya. Prinsip keterbukaan, misalnya, bisa menghasilkan norma hukum kebolehan pornografi.
Menurut Syamsul, keabsahan norma dalam hukum Islam bersifat koroboratif dan ditentukan oleh tiga faktor: 1) oleh sejauhmana ketepatan derivasi (istinbat) norma itu dari sumber-sumber hukum Islam; 2) oleh sejauhmana ketepatan penerapan prosedur derivasi (istinbat) yang ditetapkan dalam usul fikih; dan 3) ditentukan oleh kualifikasi pelaku derivasi. Karenanya, lubang kosong dalam teori hierarki Kelsen ini ditutupi Syamsul dengan metode istiqra’ ma’nawi yang dikenalkan oleh Imam al-Syatibie.
Istiqra’ al-ma’nawi ialah memanfaatkan kolektivitas dalil dari berbagai bentuknya baik yang terkait dengan nash secara langsung (manqulah) atau tidak langsung (ghairu manqulah). Kolektivitas antar dalil ini akan melahirkan satu pemahaman yang utuh tentang makna hakiki dari syari’at. Semakin banyak dalil yang satu frekuensi menunjukkan pada norma tertentu, maka norma tersebut bisa jadi qathi.
Dengan adanya metode ini, norma yang buruk walaupun absah secara formal dalam hirarki hukum Hans Kelsen, akan tertolak karena tidak absah secara kesatuan dasar syari’ah.
Pemikiran Syamsul tentang teori pertingkatan norma ini merupakan integrasi dari metode istiqra’ ma’nawi milik Imam al-Syatibi dan metode hirarki hukum miliki Hans Kelsen. Ia meminjam hirarki hukum Kelsen sebagai bangunan fikihnya, namun untuk unsur-unsur materi hukumnya menggunakan pola-pola istiqra’ ma’nawi-nya Imam al-Syatibi. Apa yang dilakukan Syamsul ini sudah biasa dipraktekkan para ulama klasik ketika bersentuhan dengan filsafat Yunani.
Aplikasi Pemikiran Hukum Syamsul dalam Majelis Tarjih
Pemikiran Syamsul ini telah dipraktekkan sehingga melahirkan beragam putusan tarjih seperti Fikih Tata Kelola, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Fikih Perlindungan Anak dan lain-lain. Memang isinya terlalu berat karena tendisi filosofis-teoritis dan sedikit yang praktis-aplikatif. Namun justru dari sana terdapat keuntungan yang semakin menunjukkan bahwa konsep Fikih Muhammadiyah benar-benar berkemajuan.
Jika biasanya fikih secara umum terlalu banyak memuat isu-isu praktis-kasuistik, Fikih Muhammadiyah memuat tuntunan dan pedoman yang dapat digunakan dalam berbagai kondisi ruang dan waktu. Apa yang sedang dibangun dalam Fikih Muhammadiyah sebenarnya mengikuti jejak para ulama klasik yaitu merancang bangunan kaidah-kaidah fikih (qawaid al-fiqhiyyah) untuk kemudian digunakan sebagai respon terhadap kasus-kasus yang berkembang di masa depan.
Misalnya salah satu produk Majelis Tarjih yaitu Fikih Difabel, disusun bukan berdasarkan kasus-kasus detail, melainkan dibangun atas fondasi-fondasi tuntunan dan pedoman. Terdapat tiga nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah) dalam Fikih Difabel, yaitu: Tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Nilai-nilai dasar ini diambil dari nilai universalitas Islam yang diserap langsung dari semangat al-Quran dan as-sunnah. Tingkatan pertama ini bersifat norma-norma abstrak yang merupakan nilai paling esensial dalam ajaran Islam.
Setelah menyusun kategori nilai-nilai dasar tahapan selanjutnya dalam paradigma fikih Muhammadiyah ialah menentukan prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah). Dalam prinsip umum ini isinya berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam seperti asas-asas hukum Islam (an-nazzariyat al-fiqhiyyah) dan kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawaid al-fiqhiyyah). Prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Fikih Difabel adalah kemulian manusia, inklusivisme, dan penghormatan dan pemenuhan kebutuhan hidup berbasis ilmu.
Selain nilai dasar dan prinsip umum, Fikih Difabel juga memuat pedoman praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Pada bagian ini terdapat kaidah-kaidah praktis dalam pelaksanaan ibadah bagi kalangan difabel. Kaidah praktis ini disusun dengan pertimbagan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan dan menghapuskan kesulitan-kesulitan, serta disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan mukallaf.
Itulah aplikasi teori pertingkatan norma Syamsul Anwar. Hal ini berguna untuk merespon sesuatu yang bersifat praktis secara fleksibel karena landasannya telah dibangun terlebih dahulu. Hal ini juga membuat Fikih Difabel tidak hanya berhenti pada kasus tertentu tapi akan selalu berkembang karena masalah difabel itu terus bergulir. Kalau sekiranya Fikih Difabel dibangun atas persoalan kasuistik, isinya tidak akan terus aktual karena terpenjara pada situasi ruang dan waktu tertentu.
Sumber : muhammadiyah.or.id