Untuk Apa Memperingati
Hari-Hari Bersejarah
Oleh M. Fuad Nasar
Pada tahun ini pemerintah menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Hari besar nasional tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo tanggal 24 Februari 2022.
Sebagian orang mungkin tidak peduli; untuk apa memperingati hari-hari bersejarah? Jauh lebih penting memenangkan hari ini dan merebut masa depan yang penuh ketidakpastian dalam kompetisi global.
Sejarah adalah peristiwa dan kejadian masa lampau. Tetapi tidak semua peristiwa dan kejadian masa lampau menjadi sejarah, kecuali yang memberi dampak terhadap masa kini atau menjadi titik krusial dalam kehidupan bangsa. Sejarah menentukan hari depan bangsa dan tanah air. Sejarah tidak hanya merekam peristiwa dan manusia-manusia baik, tetapi juga sebaliknya. Baik dan buruk pada waktunya menjadi sejarah yang tak dapat dihapus.
Hari Penegakan Kedaulatan Negara berkaitan dengan salah satu peristiwa penting dalam perjuangan bangsa kita, yaitu Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Seberapa penting dan krusialnya Serangan Umum 1 Maret dalam mata-rantai sejarah perjuangan bangsa dapat ditelusuri dari latar belakang peristiwanya.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sangat mengejutkan bagi Belanda yang hampir 350 tahun menjajah Indonesia (1596 1942). Oleh sebab itu Belanda berusaha menghancurkan Republik Indonesia dan berupaya mendapatkan kembali bekas negeri jajahannya yang kaya-raya dan 60 kali lebih luas daripada Negeri Belanda. Sejarah mencatat Belanda dua kali melancarkan agresi militer secara besar-besaran yaitu tahun 1947 dan 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948 dini hari terjadi penyerangan dan pendudukan Ibu Kota Perjuangan Yogyakarta oleh angkatan perang Belanda. Melalui serangan lewat udara Belanda dapat menguasai Lapangan Terbang Maguwo dan seluruh kota Yogyakarta, kecuali Keraton Jogja. Agresi Belanda II (Clash II) yang melanggar perjanjian gencatan senjata telah mengobarkan Perang Kemerdekaan di berbagai daerah yang diduduki Belanda.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta pemimpin pemerintahan yang lainnya ditangkap oleh Belanda sewaktu menyerbu Yogyakarta. Para pemimpin republik diasingkan ke Manumbing Bangka, Berastagi dan Parapat dalam status orang tawanan. Presiden dan Wakil Presiden serta kabinet pemerintahan praktis tidak dapat menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.
Mr. Mohamad Roem dalam buku Tahta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (1982) mengungkapkan, sebelum Serangan pada 1 Maret 1949 yang dikenal sebagai Enam Jam di Yogya, sejak bulan Februari 1949 semangat rakyat Yogya mulai kendor. Sri Sultan menyampaikan saran kepada Komandan Brigade Letkol Soeharto, apakah tidak mungkin diadakan suatu tindakan yang memberi semangat kepada rakyat Yogya bahwa gerilya kita tidak diam. Inilah yang mengakibatkan serangan Yogya pada 1 Maret 1949.
Kejadian itu memberi semangat kepada rakyat Yogya dan memberi kesaksian kepada dunia bahwa TNI masih terus mengadakan perlawanan dan memberi dukungan besar kepada diplomasi Republik Indonesia yang sedang berjalan, terutama di sidang-sidang Dewan Keamanan PBB serta dimana para diplomat kita sedang berjuang.
Pertahanan Republik Indonesia ketika itu mengandalkan dua kekuatan perjuangan, yaitu:
Pertama, perjuangan di bawah kendali Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi Sumatera Barat. Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu belum mengetahui nasib pemimpin pemerintahan di Yogyakarta mengambil langkah penyelamatan negara dengan membentuk PDRI tanggal 19 Desember 1948. Keputusan Sjafruddin ternyata sejalan dengan keputusan sidang kabinet beberapa jam sebelum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta meninggalkan Yogyakarta, menyerahkan mandat memimpin pemerintahan kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi. Keputusan penting itu disampaikan melalui surat kawat (telegram).
Kota Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 juga diserang dari udara dengan bom dan martir oleh tentara Belanda, mereka kemudian bergerak ke seluruh front. Pertempuran-pertempuran dahsyat terjadi di wilayah Minangkabau (Sumatera Barat/Riau).
Sjafruddin Prawiranegara memimpin PDRI dari hutan dan bergerilya dari satu nagari (desa) ke nagari lainnya di wilayah Minangkabau. Pemerintahan darurat berlangsung dari tanggal 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949. Dedikasi para pemimpin PDRI menyatu dengan bantuan masyarakat setempat. Mohammad Hatta menyebut Ketua PDRI sebagai Presiden Darurat.
Kedua, perjuangan gerilya pasukan TNI, laskar-laskar dan rakyat yang melakukan perlawanan di berbagai daerah dengan semboyan Merdeka atau Mati, Hidup Mulia atau Mati Syahid.
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Letnan Jenderal Sudirman meneruskan perang gerilya dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Presiden Darurat. Selama masa perjuangan fisik melawan kekuatan penjajah Belanda selama hampir 4,5 tahun antara 1945 – 1950, seperti diungkapkan di buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau 1945 1950 (terdiri dari 2 jilid tebal) bahwa dalam saat-saat genting masih senantiasa berkumandang ucapan Bung Hatta, bahwa kalau datang serangan Belanda, tiap-tiap orang akan menjadi prajurit, tiap-tiap kampung akan menjadi benteng, dan semua yang ditinggalkan akan dibumi-hanguskan.
Dalam buku Laporan Dari Banaran: Kisah dan Pengalaman Seorang Prajurit Dalam Perang Kemerdekaan (1960), Letjen T.B. Simatupang menulis, bahwa menurut ahli-ahli hukum dan ahli-ahli militer yang konvensionil, mungkin kita telah dianggap kalah tatkala pada tanggal 19 Desember 1948, Ibu Kota dan kota-kota kita yang besar jatuh di tangan musuh, sedangkan Kepala Negara dan anggota-anggota pemerintahan ditawan. Syukurlah, bagian terbesar rakyat kita tidak pernah mendengar pendapat ahli-ahli hukum dan ahli-ahli militer itu sehingga mereka berperang terus.
Syukurlah, bagian terbesar dari anggota Angkatan Perang dan rakyat kita belum begitu pintar
Seluruh kota di Jawa diduduki Belanda pada akhir 1948. Salah satu dokumen otentik tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah Instruksi Rahasia Gubernur Militer III/Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng tanggal 18 Februari 1949 jam 20.00 kepada Cdt. Daerah III Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 Wehkreise III (terakhir berpangkat Jenderal Besar TNI, Presiden RI ke-2) yang membawahi daerah Yogyakarta. Isi instruksi rahasia itu ialah agar mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibu Kota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s.d. 1/III/1949 dengan mempergunakan pasukan dari Brigade IX. Serangan-serangan serentak dilakukan terhadap salah satu obyek musuh di daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah bala-bantuan untuk Yogyakarta. Surat kabar berbahasa Belanda atau media massa yang pro Belanda menyebut Serangan Umum hari Senin pukul 06.00 tanggal 1 Maret 1949 sebagai serangan kaum ekstrimis terhadap Yogyakarta. Walaupun Yogyakarta diduduki oleh pasukan TNI hanya dalam beberapa jam saja dan setelah itu harus keluar dari Yogya, namun secara politik dan psikologi militer dampaknya cukup besar.
Sejarah memberitahu kita bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah atau pemberian dari bangsa yang menjajah, melainkan hasil perjuangan panjang dan pengorbanan jiwa-raga rakyat Indonesia sendiri. Perjuangan kemerdekaan diwarnai perang gerilya di berbagai daerah republik. Coba dibayangkan Panglima Besar Sudirman dalam kondisi sakit, paru-parunya hanya berfungsi satu, dari atas tandu memimpin perang gerilya di wilayah Jawa. Presiden Soekarno menyarankan Pak Dirman lebih baik tinggal di kota, namun beliau menolak dengan ucapannya yang terkenal Yang sakit Sudirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit. Dari medan gerilya Panglima Besar ditengarai masih dapat melakukan komunikasi melalui kurir dengan Sultan Hamengku Buwono IX berkenaan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto.
Perjuangan mengangkat senjata dan perjuangan mengangkat pena di meja diplomasi atau perundingan, sama pentingnya. Radiogram Panglima Besar Sudirman tanggal 23 Maret 1949 menegaskan sikap bahwa soal politik dan soal pertahanan tidak dapat dipisahkan, karena pertahanan menjadi panggungnya politik.
Perjuangan diplomasi Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda serta dengan dunia internasional/Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak hanya berlangsung di meja perundingan. Diplomasi revolusi Indonesia di luar negeri juga didukung oleh mahasiswa Indonesia di Timur Tengah hingga menghasilkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia yang pertama adalah dari negara-negara Arab/Islam.
Perundingan Indonesia dengan Belanda tidak selalu hasilnya memuaskan kalangan tentara dan kalangan sipil. Dalam suasana revolusi pernah timbul gejolak sebagai riak-riak revolusi dan kesalahpahaman di antara sesama eksponen pejuangan. Salah satu kerikil perjuangan ialah komprador-komprador penjajah yang mengkhianati negara dengan membocorkan rahasia kepada pihak musuh dan juga munculnya organisasi-organisasi liar. Komprador penjajah dan mereka yang dituduh berkhianat dihabisi di tangan bangsanya sendiri. Di masa itu timbul ungkapan revolusi memakan anaknya sendiri.
Jenderal Besar TNI Dr. A.H. Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I (1977) menggambarkan hakikat perang kemerdekaan Indonesia adalah perang rakyat semesta yang sekaligus bergerak di lapangan politik, militer, sosial ekonomi dan kulturil. Menurut Nasution, kita memulai revolusi dengan mempertaruhkan jiwa raga, dengan mengorbankan sedemikian banyak jerih dan darah, adalah untuk meruntuhkan sistem lama: sistem-sistem hukum yang lama, sistem-sistem sosial-ekonomi yang lama, sistem-sistem politik lama, sistem aparatur lama, yang kesemuanya adalah dahulu dibuat untuk menjamin kepentingan kolonial.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah upaya meruntuhkan sistem kolonial dan mental kolonial. Di atas puing-puing kolonialisme, bangsa Indonesia mendirikan sistem negara nasional dan membangun mental konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak tahun 2006, momentum 19 Desember ditetapkan Hari Bela Negara. Peristiwa lainnya yang menentukan keberlangsungan negara Republik Indonesia ialah Mosi Integral Mohammad Natsir tanggal 3 April 1950. Karena adanya Mosi Integral itulah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1950 sampai sekarang. Mosi Integral Mohammad Natsir tanggal 3 April 1950 selayaknya ditetapkan sebagai Hari NKRI.
Kenapa sejarah perjuangan bangsa penting dikenalkan kepada generasi penerus, sedangkan kita tidak bisa merubah masa lalu?
Sesuai hukum alam (sunnatullah) manusia bisa memperbaiki masa kini dan merencanakan masa depannya. Sejarah adalah inspirasi dan pelajaran berharga bagi generasi sekarang dalam upaya memperbaiki masa kini dan merencanakan masa depan yang lebih baik.
Belakangan ini dikeluhkan di kalangan siswa dan mahasiswa tidak mengenal sejarah dan pahlawan bangsa. Mungkinkah generasi yang minus kesadaran kesejarahan mampu mengantisipasi pihak-pihak yang ingin mengaburkan, menghilangkan atau menyesatkan sejarah bangsa. Orang bijak mengatakan, untuk merusak suatu bangsa tidak perlu melakukan serangan fisik, tetapi cukup dengan memutus hubungan generasi muda dengan perjuangan bangsanya.
Pemahaman sejarah yang benar dan jujur diperlukan dalam rangka membangun perspektif berbangsa dan bernegara. Disinilah pentingnya pendidikan sejarah sebagai basis pendidikan kewarganegaraan (civic education). Sejarah dimaknai sebagai inspirasi dalam membangun bangsa di tengah perubahan global.
Kita harus melawan sindrom lupa sejarah. Peringatan hari-hari bersejarah diharapkan bisa mengamplifikasi nilai-nilai sejarah sebagai bekal dalam menghadapi tantangan kehidupan bangsa dan negara ke depan. Suatu bangsa akan kuat dan tangguh apabila jiwa generasi mudanya diisi dengan kesadaran kesejarahan, di samping menguasai sains modern dan keahlian yang dibutuhkan sesuai zamannya.
Memperingati hari-hari bersejarah mendorong kita semua untuk belajar dari sejarah perjuangan bangsa, supaya tidak menjadi bangsa yang pendek ingatan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, pesan Bung Karno. Sejarah bisa berulang dengan narasi yang sama dan aktor yang berbeda.
Dalam hubungan ini, menarik disimak pesan H. Adam Malik, pejuang kemerdekaan dan Wakil Presiden RI ke-3 dalam memoar Adam Malik Mengabdi Republik, Jilid III (1979) ketika membahas pandangan sementara pemimpin ekonomi kita di zaman Orde Baru yang ingin membangun Indonesia hanya melalui apa yang disebut market economy yaitu sistem ekonomi yang berdasarkan free competition dengan segala eksesnya. Adam Malik mengingatkan, “Haruskah sejarah kolonial dengan segala penderitaan yang menimpa rakyat kita diulang kembali. Apakah kita tidak bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang sudah lewat. Seekor keledai pun tidak akan jatuh kepeleset pada batu yang sama!
Bangsa ini perlu belajar dari para pemimpin-pejuang yang memiliki rekam jejak perjuangan dengan pengorbanan. Juga mengambil pelajaran dari penderitaan rakyat di masa lampau.
Melalui sejarah kita tahu mufakat para pendiri negara tentang dasar negara, bentuk negara dan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Dalam kerangka mufakat kebangsaan para tokoh perancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tidak boleh ada yang ragu-ragu dengan kesepakatan berbangsa dan tujuan bernegara.
Untuk itu, mari kita membaca dan memahami sejarah perjuangan bangsa dengan pikiran dan hati yang terbuka (open mind dan open heart). Sejarah bukan sekadar suatu ilmu, dalam hal ini sejarah akademis, tetapi merupakan bentuk informasi yang mempunyai kekuatan integratif. Sejarah sejatinya merekam tuntunan moralitas dan pewarisan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi muda pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa datang. Wallahu alam bisshawab.
M. Fuad Nasar, pemerhati masalah agama, sejarah dan kemasyarakatan. Sesditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.