Munculnya sejumlah figur dengan sebutan Gus akhir-akhir ini menjadi perbincangan menarik di kalangan netizen. Sebagian mempertanyakan asal-usul figur tersebut mendapatkan gelar atau sebutan yang identik dengan pemuka agama khususnya islam yang berada di jawa tengah dan jawa timur.
Sebagian menilai, tokoh dengan sebutan Gus merupakan seseorang yang harus dihormati dan dijunjung tinggi karena memiliki latar belakang pondok pesantren. Mengenai hal itu, seorang dari keluarga Keraton Kasunanan Surakarta, Kanjeng Senopati K.R.M.H. Tommy Agung Hamidjoyo, S.E menulis tentang sejarah asal usul panggilan Gus dari disetrap.com yang dikutip dan disunting Panjimas.com, Rabu (9/3/2022). Berikut selengkapnya :
‘Mengenal Sejarah Asal Usul Panggilan Gus’
Oleh Kanjeng Senopati
K.R.M.H. Tommy Agung Hamidjoyo, SE
(Wayah Dalem Soeriohamidjoyo PB X Kasunanan Surakarta Hadiningrat)
Panggilan Gus awal mula munculnya dari kalangan ndalem kraton yang diperuntukkan sebagai nama panggilan khusus kalangan putra-putra raja yang biasa dengan sebutan Gusti adalah gelar status khusus putra raja atau sapaannya dengan Gusti atau Gus. yaitu pada sebelum era Kamardikan (sebelum kemerdekaan).
Sapaan itu dimulai pada masa Pakubuwono IV tahun 1788 -1820 M yang dikenal oleh para ahli sejarah masa puncaknya peradaban Kraton Mataram Islam pasca Sultan Agung karena dikenal dengan adanya para Santri Pitu atau “Tujuh Ulama” besar Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sri Susuhunan Pakubuwono IV adalah seorang raja sekaligus santri. Karena menurut kepaugeran Kraton Mataram Islam secara turun temurun yang namanya seorang raja Mataram adalah harus seorang santri, maksudnya dia harus seorang pemimpin yang berilmu agama dan paham agama, mengamalkan ajaran agama dan berakhlak Budi luhur. Kalau ini tidak dilakoni maka tunggu saja runtuh dan kehancurannya trah Kerajaan Mataram Islam.
Maka gelar kebangsawanan raja Mataram Islam ada memakai gelar Khalifatulloh Sayiddin Panotogomo (pemimpin, pengatur dan penata agama). Kemudian muncul kembali masa puncaknya peradaban Mataram Islam pada masa Pakubuwono VI dan terakhir Pakubuwono X. Dimasa itu istilah Gusti adalah sapaan bagi anak-anak raja pada masa Mataram Islam semenjak Panembahan Senopati.
Dan eyang Sinuwun Pakubuwono IV dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena beliau terkenal seorang raja Mataram Islam yang berwajah bagus dan tampan, beliau juga seorang raja yang alim, tawadhu’ dan sangat dekat dengan para ulama.
Maka sudah turun temurun anak laki-laki sebagai putra raja sampai hari ini biasa panggilan sapaannya dengan Gusti atau Den Bagus, Raden Bagus. Maka putra-putra raja diberi gelar bangsawan dengan “Gusti Pangeran Haryo” atau gelarnya GPH, atau sapaannya sehari-harinya dengan Gusti atau Gus atau Den Bagus.
Panggilan Gusti atau Den Bagus hanya ada pada golongan priyai di masyarakat Jawa tengah dan Jawa timur yang awalnya sapaan tersebut dibawa oleh para ulama kerajaan atau Kyai dalem Kraton yang kemudian sapaan tersebut dibawa keluar untuk menyapa putra anak laki-lakinya mereka juga dengan sapaan Den Bagus.
Seiring berjalannya waktu ratusan waktu kemudian, sebutan Den Bagus digunakan oleh golongan priyayi Jawa di luar kraton seperti golongan ulama Kyai dan golongan saudagar untuk memanggil anak laki-laki mereka dengan menghilangkan kata “Raden” atau “Den”, sehingga tinggal “Bagus” atau Gus saja, jadi paham ya disini?
Menurut Sastrawan Jawa bernama Poerwadarminta dalam bukunya Baoesastra tahun 1939, sapaan Bagus dalam basa jawanya diartikan sebagai bocah lanang sing rada duwur pangkate atau sebutan bagi anak lelaki yang memiliki kedudukan tinggi.
Ketika masa Kamardikan (setelah kemerdekaan) pesantren mulai tumbuh berkembang pesat di tanah Jawa, maka nama sapaan Gus kemudian resmi digunakan untuk menyebut seorang Putra Pemimpin Pesantren.
Panggilan Gus ini kemudian perlahan menjadi semacam gelar bagi anak-anak Kyai terutama di kultur NU. Lambat laun, penggunaan Gus untuk menyebut para putra kyai. Putra Kyai biasanya diperlakukan secara khusus karena diharapkan menjadi penerus sang Kyai.
Maka salah satu perlakuan khusus adalah dengan memberi gelar sapaan khusus anak Kyai, dengan sapaan Gus. Meskipun begitu, tidak berarti Gus otomatis akan jadi seorang Kyai sekalipun. Dan sapaan Gus yang disematkan tidak semata-mata hanya karena alasan seorang anak Kyai, akan tetapi juga adanya pengakuan kompetensi untuk meneruskan perjuangan sang ayah dalam mendidik mendakwahkan ajaran luhur Islam kepada masyarakat.
Pada masyarakat social kita satus atau gelar ada dua yaitu gelar status biologis culture dan gelar status Struggle Culture. Gelar status Biologis Culture, yaitu status yang didapat karena didapat dari keturunan genetika dari para leluhurnya.
Adalah gelar, sapaan yang disebabkan faktor keturunan garis darah, contohnya adalah gelar Kanjeng, Gusti atau Gus yang biasanya disematkan kepada putra-putra golongan priyai keturunan raja atau keturunan ulama besar.
Gelar status Struggle Culture, yaitu status yang didapat karena perjuangan seseorang tersebut sehingga nama seorang tersebut naik ke permukaan karena ilmu, adabnya dan penghormatan, jasanya kontribusinya kepada masyarakat sehingga mendapatkan kedudukan terhormat di masyarakat.
Misalnya seorang tersebut seorang mubalig atau seseorang tokoh yang kharismatik karena seorang tersebut memiliki ketajaman ilmu agama disertai dengan akhlak prilaku adab yang tinggi, sehingga seorang ini disapa dengan Gus kendati orang ini bukan keturunan Kyai sekalipun.
Jadi tidak semua orang yg dipanggil Gus adalah turunan Kyai karena bisa saja dia sebagai seorang tokoh spiritual masyarakat atau mubalig yang bergerak dan berjuang sendiri. Maka hal itu boleh-boleh saja dan sah-sah saja memakai panggilan dengan sapaan Gus. Karena sapaan Gus itu bukan suatu gelar resmi yang tidak pernah ada memiliki sertifikasi resmi seperti umumnya gelar kebangsawanan di kerajaan.
Konsekuensinya memakai sapaan Gus dia harus bisa membawa diri, menjaga kehormatan diri, nama baiknya sendiri atau bisa menjaga attitudenya sikap dan perilakunya yang ditunjukan sehari-hari sebagai seorang yang bereligius, berilmu, beradab jauh dari prilaku yang buruk.
Surakarta, Maret 2022
Kanjeng Senopati