JAKARTA, Panjimas.com – Saat ini ditengah perkembangan teknologi digital yang berkembang sangat pesat dan pertumbuhan pengguna internet yang sangat besar membuat isu perlindungan data pribadi menjadi sangat penting dibahas dan diperhatikan.
Hal itu pula yang menjadi salah satu sorotan anggota dewan dari Komisi 1 DPR RI, Muhammad Iqbal dalam sebuah diskusi Forum Legislasi “Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi” di Media Center DPR RI pada Selasa,(31/8/2021).
“Saya boleh mengatakan, bahwa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah krisis perlindungan data pribadi. Bahwa penyimpanan data cukup lemah di Indonesia,” ujar Iqbal dalam forum legislasi tersebut.
Dirinya mencontohkan seperti kejadian di tahun 2020 dimana terjadi kasus kebocoran data beberapa lembaga instansi swasta dan pemerintah. Contohnya data pasien Covid 19 dimana sekitar 230 ribu data pasien bocor. Kemudian pada akun Tokopedia juga mengalami kebocoran data pengguna sekitar 91 juta dan 13 juta di akun Bukalapak juga mengalami kebocoran. Serta mungkin banyak lagi yang lainnya yang memiliki kasus yang sama.
Agus Sudibyo yang menjadi Anggota Dewan Pers (2019-2020) dalam bukunya yang berjudul Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan menuliskan tentang lahirnya General Data Protection Regulation (GDPR) yang disepakati oleh Parlemen Uni Eropa 27 April 2016.
Dimana GDPR adalah undang-undang yang mengatur perlindungan
data pribadi penduduk atau warga Uni Eropa yang berada di dalam maupun di luar Uni Eropa, serta yang dikelola pihak mana pun di dalam maupun di luar teritori Uni Eropa.
Berlandaskan pada Piagam Hak Asasi Uni Eropa yang menetapkan “warga Uni Eropa memiliki hak untuk melindungi data pribadi masing-masing”, GDPR menjadi instrumen utama harmonisasi hukum perlindungan data di seluruh negara anggota Uni Eropa. Hal yang mesti digarisbawahi, regulasi ini juga mengikat semua pihak di mana saja yang mengumpulkan, memproses dan
memanfaatkan data pribadi penduduk atau warga Uni Eropa.
Melalui pengaturan yang ketat dan ketentuan denda yang besar, GDPR dengan tegas menyatakan setiap orang berdaulat atas perlindungan data pribadi masing-masing di hadapan pihak manapun.
Setiap orang di sini mencakup setiap orang yang bertempat tinggal di Uni Eropa, baik yang berstatus warga negara atau bukan. Obyek pengaturan GDPR mencakup orang, perusahaan, organisasi dan lembaga pemerintah Eropa di seluruh dunia yang memproses dan memanfaatkan data pribadi semua orang yang bertempat tinggal di Uni Eropa. Berfungsi menggantikan Undang-Undang Perlindungan Data Uni Eropa (EU Data Protection Directive) Tahun 1995, GDPR mulai berlaku 25 Mei 2018.
GDPR dilatarbelakangi perkembangan digitalisasi global yang telah melahirkan persoalan serius bagi perlindungan privasi dan keamanan diri pengguna internet sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Proses pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan data pribadi pengguna internet oleh perusahaan-perusahaan penyedia berbagai layanan digital telah meningkat tajam dan mencapai skala yang nyaris tak terhingga.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengungkapkan jika Komnas HAM cukup banyak menerima berbagai pengaduan masyarakat yang mengalami peretasan, cyber terror, doxing, atau tindakan lain yang melanggar hak privasi dan perlindungan data pribadi. Hal tersebut memicu Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM untuk melakukan sebuah kajian terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) Perlindungan Data Pribadi yang saat ini masih dalam tahap penyusunan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Komnas HAM mengkritisi RUU Perlindungan Data Pribadi bukan bertujuan untuk adanya RUU baru, namun RUU yang sudah ada dikaji agar substansinya berspektif HAM,” kata Sandra dalam Focus Group Discussion (FGD) Kajian RUU Perlindungan Data Pribadi, pada hari Rabu (14/07/2021).
Lebih jauh disampaikan bahwa perlindungan data pribadi merupakan bagian dari hak privasi seseorang. “Berdasarkan RUU Perlindungan Data Pribadi yang dimaksud dengan data pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan/atau non-elektronik,” papar Wahyudi Djafar selaku Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).