JAKARTA, Panjimas.com – Kontroversi soal nama Jalan Mustafa Kemal Pasha At-Taturk yang akan digunakan di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat, mengingatkan umat Islam di negeri pada polemik yang sangat sengit antara A. Hassan dan Natsir dengan Sukarno. Polemik ini berlangsung di media massa dan menjadi salah satu polemik legendaris hingga kini.
Ketiga tokoh ini sebenarnya cukup dekat. Natsir adalah murid dari A. Hassan, sedangkan Sukarno adalah sahabat A. Hassan yang juga banyak belajar soal agama pada tokoh Persatuan Islam (Persis) itu. Sukarno juga yang saat di Endeh, Nusa Tenggara Timur, meminta kepada A.Hassan agar meringankan beban ekonomi rumah tangganya, dengan mencarikan orang yang bersedia menerbitkan karya terjemahannya tentang tokoh yang sering dijuluki sebagai pengasas paham Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab.”Saudara tolong carikan orang yang mau beli copy itu barangkali saudara sendiri ada uang buat membelinya? Tolonglah melonggarkan rumah tangga saya…” kata Sukarno dalam suratnya pada A. Hassan.
Mustafa Kemal At-Taturk dijuluki sebagai “Bapak Sekularisme Turki”. Kebijakannya memisahkan agama dengan urusan negara, dipuja-puji oleh Sukarno sebagai upaya “re-thinking of Islam” dengan membuat suatu artikel di Majalah _Pandji Islam_ tahun 1940 dengan judul _“Memudakan Pengertian Islam”_. Sebagai pengagum tokoh sekular itu, Sukarno juga ingin Indonesia yang saat itu belum merdeka, suatu saat bisa menjadi negara yang mencontoh Turki di bawah kekuasaan At-Taturk.
Sedangkan A. Hassan dan Natsir sebaliknya, agama dan negara tak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya berarti masuk ke dalam jurang sekularisme, yang disebut oleh Natsir sebagai paham “netral agama” (Laa diniyah). Ujung dari paham netral agama adalah meminggirkan sama sekali peran agama dalam kehidupan bernegara. Natsir menyebut Sukarno dan para pengagum sekularisme Turki di bawah Kemal At-Taturk dengan istilah “Kemalisten Indonesia.” Untuk menjawab tulisan Sukarno, A. Hassan membuat tulisan berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”.
At-Taturk, sebagaimana juga dipropagandakan oleh Sukarno, menyebut kebijakananya memisahkan agama dan negara bukan untuk menghilangkan sama sekali peran agama. Tapi fakta menunjukan, tahun 1928, empat tahun setelah runtuhnya khilafah di Turki, Islam sebagai agama negara dihapuskan oleh At-Taturk. “Antara tahun 1920 sampai 1924 itu, Kemal Pasha tidak menyinggung-nyinggung urusan agama secara merendahkan, tapi lambat laun, bertambah berani ia mengejek-ejek agama dan merendahkan orang-orang yang mengerjakan agama di muka umum,” tulis Natsir dalam polemik yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Agama dan Negara dalam Perspektif Islam” (2001: 99)
Sebelumnya, Natsir juga memaparkan fakta-fakta Kemal At-Taturk, yang selama dirinya berkuasa, tak lebih dari seorang diktator, dengan menutup sekolah-sekolah agama, menghilangkan simbol-simbol yang identik dengan Islam, dan lain-lain. Natsir menyebut At-Taturk dengan sebutan “Fuehrer” yang biasa disematkan kepada Hitler, pemimpin besar Nazi dari Jerman. Kepada Sukarno, yang mengaku telah membaca puluhan buku tentang At-Taturk, Natsir memintanya agar membaca tulisan Khalide Edib Hanoum, tentang tokoh sekular itu. Hanoum menyebut apa yang dilakukan At-Taturk sebagai kebijakan “memerdekakan agama”, tetapi “menindas agama”. Hanoum mengetakan, “Beleid (kebijakan, pen.) pemerintahan Kemal Pasha itu adalah merantai peri kehidupan agama di Turki.”
Sementara kata Natsir, “Selaku seorang Vrijmetselaar (Freemason, pen.), buat Kemal Pasha memang tidak tersangkut-sangkut lidahnya menamakan seorang yang pergi ke masjid itu seorang yang gila atau sekurang-kurangnya orang yang tak berguna, useless” ujarnya sambil menyebut apa yang ditulisnya ini merujuk pada keterangan H.C Amrstrong, dalam bukunya yang terkenal berjudul “Grey Wolf, Mustafa Kemal: An Intimate Study of Dicator”. Dalam catatan kakinya, Natsir menyebut fakta bahwa At-Taturk seorang Freemason bukanlah isapan jempol.
“Bagi Kemal Pasha, Freemason dan Loge-gebouw (bangunan loji tempat berkumpulnya para anggota Freemason, pen.) adalah simbol kebudayaan yang tinggi, dan Islam baginya plus masjidnya, adalah menjadi simbol kemunduran dan kekolotan,” demikian tulis Natsir mantan Ketua Umum Partai Masyumi ini (2001:104).
Dalam buku “Agama dan Negara” juga, Natsir menceritakan bagaimana gaya hidup Kemal At-Taturk, yang cenderung kebarat-baratan, dan menurutnya adalah cermin dari sifat _inferiority complex_ alias minder atau rendah diri. “Waktu Serraut, seorang anggota dari Vrijmetselaarij yang terkemuka di Paris datang mengunjungi Kemal Pasha selaku teman seanggota dalam _Vrijmetselaarij_ untuk memintakan ampun bagi Jafid, seorang Yahudi yang akan dihukum mati, disambutnya Sarraut dengan pesta gemerlapan yang diatur secara Barat,” terang Natsir. “Malah, dengan cara yang lebih kebaratan dari Barat itu sendiri,” tambahnya. Dengan berseru, Kemal mengajak para tetamunya untuk berdansa, “All civilzed dance! All civilzed people should dance!” tulis Natsir, merujuk pada buku H.C Armastrong, Grey Wolf
Guru dari Mohammad Natsir, Tuan A. Hassan, juga mengutip buku karya H.C Armstrong, dalam mengeritik Sukarno yang tergila-gila dengan At-Taturk. A. Hassan, mengupas bagaimana kehidupan kelam At-Taturk dengan memaparkan riwayat hidupnya. Terkait seruan Sukarno agar bangsa ini memisahkan urusan agama dan negara, A Hassan menyatakan dengan tegas, “Tuan Soekarno tidak tahu, bahwa orang Eropa pisahkan agama Kristen dari staat (negara, pen.) itu tidak lain melainkan lantaran di dalam agama Kristen tidak ada cara mengatur pemerintahan. Dari zaman Isa sampai sekarang, belum terdengar ada satu _staat_ menjalankan hukum agama Kristen,“ terang A. Hassan, dalam tulisan yang kemudian diterbitkan dalam satu buku berjudul “Islam dan Kebangsaan” (1984: 101-103).
A. Hassan menjelaskan, ”Bukan begitu dengan Islam. Islam satu agama yang cakap dengan sepenuh-penuhnya mengurus dunia dan akhirat. Sudah dibuktikan dari zaman Nabi sampai beberapa abad..” Terkait urusan agama yang menurut Sukarno tidak perlu diatur oleh negara, A. Hassan menegaskan,”Bagaimana satu agama, satu peraturan, bisa subur kalau tidak ada pelindungnya?”
Demikian polemik antara A. Hassan dan Natsir dengan Sukarno terkait dengan Kemal At-Taturk yang dijadikan kiblat oleh Sukarno untuk melakukan “re-thinking of Islam”. Padahal, sejarah mencatat bagaimana kelamnya kehidupan kaum muslimin di Turki, ketika At-Taturk yang merupakan seorang Freemason dari Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement), memberangus ajaran-ajaran Islam dan simbol-simbol Islam.
Jika saat ini ada wacana menjadikan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai nama jalan di Jakarta, wilayah yang mayoritas Muslim, ibukota dari negara muslim terbesar di dunia, maka wajarlah jika ini kembali memicu polemik dan kegaduhan di masyarakat. Dalam hal ini, sudah seharusnya pemerintah peka dan menghargai perasaan umat Islam.
(Arta Abu Azzam/Penulis dan Wartawan)