JAKARTA, Panjimas – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan 70,3% pejabat negara bertambah kaya selama pandemi. Hal ini berdasarkan analisis KPK terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir. KPK juga mencatat sebanyak 58% menteri kekayaannya bertambah lebih dari Rp1 miliar; 26% menteri kekayaannya bertambah kurang dari Rp1 miliar; hanya 3% menteri tercatat kekayaannya turun.
Tidak hanya di tingkat pusat, KPK juga mencatat kenaikan kekayaan harta pejabat di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Data KPK melaporkan 30% gubernur dan wakil gubernur kekayaannya bertambah lebih dari Rp1 miliar; 40% lainnya kekayaannya bertambah kurang dari Rp1 miliar; 18% bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kekayaannya bertambah lebih dari Rp1 miliar. (Kompas.com, 13/9/2021).
Miris, saat pandemi kehidupan makin sulit, harta kekayaan pejabat malah naik drastis. Kontras dengan kondisi rakyat yang kian tercekik. Alih-alih harta rakyat naik, angka kemiskinanlah yang kian tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat ada 27,54 juta orang miskin di Indonesia per Maret 2021. Angka ini setara dengan 10,14% dari total penduduk Indonesia. (CNNIndonesia.com, 13/8/2021).
Harta pejabat naik saat ekonomi rakyat terhimpit, jelas menambah keprihatinan kita. Saat akses rakyat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tertutup oleh berbagai kebijakan tuan penguasa. Para pejabat justru duduk empuk bergelimang harta di kursi kekuasaannya. Menikmati gaji fantastis, tunjangan selangit, dan fasilitas mewah selama bertugas. Terbaru, bonus Rp500 juta untuk wamen pun siap dikucurkan lewat Perpres 77/2021.
Untaian kata tuan pejabat “Kita harus sama-sama bersabar menghadapi pandemi ini”, nyatanya hanya lips service demi memoles pencitraan. Rakyat dipaksa menerima keadaan, sedangkan di waktu yang sama, tuan pejabat meningkatkan kekayaan. Rakyat diminta untuk tidak putus asa, sedangkan di waktu yang sama, tuan pejabat dilimpahi dengan berbagai fasilitas dan tunjangan wah.
Publik pun bertanya-tanya, apa bisnis tuan pejabat, sehingga mampu menambah deras pundi-pundi rupiah, kala kondisi ekonomi susah. Etika politik tuan pejabat sebagai pelayan rakyat pun seolah hilang. Sebab alih-alih melayani kepentingan rakyat, malah asyik mendulang rupiah bak pengusaha. Makin hilang pula rasa peduli dan kepekaannya terhadap derita rakyat. Sebab hanya duduk di kursi empuk sembari menjalankan bisnis meraup cuan miliaran rupiah. Inikah sikap negarawan sejati, hidup bergelimangan harta di atas derita rakyat?
Inilah potret buram demokrasi. Alih-alih menjamin keadilan dan melahirkan para pejabat yang peduli terhadap nasib rakyat. Nyatanya, justru menyuburkan sikap tuan pejabat yang memperkaya diri sendiri saat rakyat sekarat. Demokrasi makin nyata membuka lebar pintu bagi oligarki memperkaya diri. Ekonomi yang disebut-sebut meroket, memang benar-benar meroket bagi oligarki di sekeliling tuan penguasa. Lagi-lagi, rakyat yang menanggung utang dan derita, sedangkan tuan pejabat hidup berlimpah harta penuh sukacita.
Tuan pejabat yang memperkaya diri tentu tidak akan dijumpai dalam Islam. Dalam Islam, haram bagi penguasa dan pejabat negara mengambil harta yang bukan haknya, apalagi memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dari cara tersebut. Alih-alih gila harta, para pejabat justru berlomba-lomba menyedekahkan hartanya untuk umat.
Tertulis dengan tinta emas bagaimana sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz hidup bersahaja dan tidak gila harta. Selama beliau berkuasa, tidak sedikit pun beliau berniat menumpuk harta, walaupun keuangan negara saat itu dalam kondisi surplus. Sebaliknya, ia memberikan hartanya untuk kas negara, menolak tinggal di istana, bahkan beliau menyuruh istrinya Fatimah binti Abdul Malik untuk menyerahkan perhiasannya ke baitulmal.
Dalam naungan Islam, penguasa dan pejabat pun sungguh-sungguh menjalankan amanah dengan landasan takwa. Mereka benar-benar memahami beratnya konsekuensi jika melalaikan dan mengkhianati amanah rakyat. Sebab Rasulullah Saw. tercinta telah mengingatkan, “Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, jika rakyat meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat negara, maka perhitungan harta dan pembuktikan terbalik dapat diberlakukan atas penguasa atau pejabat tersebut. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. saat beliau berkuasa.
Khalifah Umar r.a. pernah menghitung kekayaan para pejabatnya, baik di awal maupun di akhir jabatannya. Jika terdapat kenaikan harta yang tidak wajar, maka pejabat yang bersangkutan harus membuktikan, bahwa kekayaannya diperoleh dengan cara yang halal. Jika pejabat tersebut gagal membuktikan, maka Khalifah Umar r.a. memerintahkan pejabat tersebut untuk menyerahkan kelebihan hartanya dari jumlah yang wajar ke kas negara; atau membagi dua kelebihan harta itu untuk pejabat yang bersangkutan dan sisanya untuk negara.
Sungguh para penguasa dan pejabat semestinya berhati-hati dalam pengurus harta umat. Mereka merupakan pelayan rakyat, bukan pedagang yang berlomba-lomba meraup keuntungan lewat jabatan. Sebagai pelayan rakyat, sudah kewajiban tuan penguasa dan tuan pejabat mengurusi kemaslahatan umat. Bukan sebaliknya, silau akan gemerlap harta dunia yang fana. Alhasil, hanya dalam naungan Islam, ketakwaan tuan pejabat terjaga dan tidak gila harta. Harta umat pun terkelola dengan benar sesuai koridor syarak. Wallahu a’lam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan