SOLO (Panjimas.com) – Masyarakat Indonesia khususnya kaum muslimin telah dihebohkan dengan beredarnya video Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengucapkan Hari Raya agama Baha’i. Video tersebut diunggah di kanal youtube Baha’i Indonesia pada Jum’at (26/3/2021). Meski Video telah beredar empat bulan lalu, namun dengan viralnya video tersebut beberapa hari ini membuat masyarakat mencari tahu lebih jauh tentang ajaran agama yang pernah dilarang di era Soekarno dan dilegalkan di era Gus Dur tersebut.
Sekilas tentang agama Baha’i, menurut berbagai sumber disebutkan bahwa agama Baha’i adalah agama monoteistik yang menekankan pada kesatuan spiritual bagi seluruh umat manusia. Agama Baha’i lahir di Persia (sekarang Iran) pada tahun 1863. Pendirinya bernama Mirza Husayn Ali Nuri yang bergelar Baha’ullah (kemuliaan Tuhan, kemuliaan Allah).
Atau menurut Peneliti Aliran Sesat Ustadz Hartono Ahmad Jaiz pernah menyebutkan bahwa Baha’iyah atau baha’isme sendiri merupakan ajaran yang menyatukan berbagai macam agama. Di antaranya, agama Yahudi, Nasrani, Islam dan lainnya menjadi satu. Hingga aliran ini jelas-jelas dinyatakan sebagai non-Islam.
Komentar datang dari Tokoh MUI Pusat KH Muhyiddin Junaidi yang menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat ini. KH Muhyidin mengatakan bahwa Pemerintah seharusnya melakukan serangkaian komunikasi dengan Majelis Ulama Indonesia dan ormas Islam serta menyiapkan naskah akademik tentang Bahaisme dalam perspektif agama dan sejarah. Ia menyebutkan bahwa OIC atau OKI via Lembaga kajian ilmiyah sejak tahun 2000 sudah menyatakan secara resmi tentang beberapa penyimpangan Bahaisme dari aspek aqidah dan Ibadah.
Bahkan menurutnya lembaga tersebut meminta kepada semua negara Islam agar mewaspadai dengan cermat gerakan Bahaisme yang dapat subsidi dan dukungan penuh dari kelompok pegiat kesamaan gender dan sebagainya.
“Bahaisme jelas mengekploitasi penafsiran ayat Alquran dan Hadits sesuai dengan versi mereka. Bahkan kecenderungan terjadinya konflik horizontal terbuka lebar ,” tutur KH Muhyidin kepada Panjimas.com, Rabu (28/7/2021).
KH Muhyidin melanjutkan bahwa penggunaan istilah dan narasi keagamaan yang dinilai mirip dengan Islam justru memiliki resiko tinggi dan kesalah pahaman dikalangan masyarakat awam. Apalagi kondisi ekonomi masyarakat yang masih terpapar ekonomi akibat pandemic.
“Sebagai anggota OKI, Indonesia punya kewajiban moral untuk menerapkan Fatwa dan sikap Majma Buhus / lembaga kajian resmi. Kementrian agama harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada MUI dan ormas Islam se Indonesia sebelum menentukan sikap final.
“Kebijakan absurd pasti akan menimbulkan kegaduhan publik dan kekacauan. Pengakuan resmi Bahaisme juga sangat kontra produktif karena begitu banyak aliran kepercayaan domestik ynag akan menuntut perlakuan yang sama,” pungkasnya.