JAKARTA (Panjimas.com) – Bareskrim Polri menaikkan status tiga tersangka anggota Kepolisian menjadi tersangka dalam kasus dugaan unlawful killing dalam peristiwa KM-50 yang mematikan 6 laskar FPI. Hal itu disampaikan oleh Karo Penwas Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, di Mabes Polri, Selasa (6/4/2021) lalu.
“Terkait peristiwa KM 50, di sana ditetapkan tiga anggota Polri sebagai terlapor dan pada hari Kamis kemarin, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa Km 50 dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan maka status dari terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka. Tiga tersangka,” ujarnya.
Brigjen Rusdi menyebut bahwa salah satu tersangka bernama Elwira Pryadi Zendrato meninggal dunia karena kecelakaan pada 3 januari 2021. Meskipun menurut investigasi Tempo yang dikutip Panjimas.com sebelumnya, menyebutkan bahwa nama EPZ tidak terdaftar sebagai salah satu anggota yang terlibat dalam kasus penembakan itu. Namun sampai pada hari ini, Kepolisian masih menetapkan EPZ sebagai salah satu terlapor. Dengan informasi meninggalnya EPZ dan berhentinya penyidikan dengan mengutip pasal 109 KUHP, kini tinggal 2 tersangka yang akan dilanjutkan proses penyidikan selanjutnya.
Dari 3 tersangka yang dalam pengumumannya tersebut merupakan anggota Polda Metro Jaya, 1 meninggal dunia yang kemudian namanya diumumkan secara transparan, namun 2 tersangka yang tersisa sampai saat ini tidak diumumkan secara jelas.
Kuasa hukum keluarga korban KM-50, Hariadi Nasution menilai bahwa penyebab Kepolisian tidak menyebut nama, inisial atau asal satuan para pelaku tersebut salah satunya karena takut jika pelaku membeberkan nama komandan yang memberi perintah. Sehingga pelaku lapangan enggan mengambil resiko diberhentikan dari dinas Polri dan kehilangan sumber penghasilannya.
“Kalau pelaku lapangan nanti nyanyi di pengadilan tentang perintah komandan, maka tentu saja semua skenario rencana pembunuhan yang sistematis akan terbongkar. Makanya para dalang dan aktor intelektual dibelakang skenario pembunuhan 6 laskar ini masih belum mau membeberkan siapa pelaku,” ujarnya.
Advokat yang sering disapa Ombat tersebut, menduga bahwa belum adanya persetujuan dan kepastian pihak yang dikorbankan untuk tidak membuka suara tentang komando yang diterima. Sebagaimana dua anggota Kepolisian yang ditetapkan sebagai tersangka penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang akhirnya publik meragukan dan justru menjadi polemik. Terlebih tersangka hanya dijatahui hukuman 1 tahun penjara.
Menurut dugaannya, bukan Polisi level bawah, melainkan adanya tim eksekutor di luar Polda yang memiliki wewenang lebih besar dan sangat berkuasa sehingga mampu menghambat penuntasan kasus pembunuhan 6 laskar tersebut.
“Membunuh saja mereka sanggup dan merasa punya wewenang apalagi sekedar menghentikan perkara. Karena pihak pelaku sesungguhnya ini bahkan bisa menjadikan perkara hukum apapun yang dianggap menghalangi kepentingan mereka. Jadi bisa dibayangkan besarnya kekuasaan para pelaku sesungguhnya ini,” pungkasnya.