Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Ahli Hukum Pidana)
Sidang praperadilan yang menguji tentang sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan terhadap IB HRS telah berakhir pada hari Rabu tanggal 10 Maret 2021 dan masing-masing pihak telah menyampaikan kesimpulannya. Kini tinggal menunggu pembacaan putusan Hakim, apakah mengabulkan permohonan kuasa hukum IB HRS atau menolaknya.
Perlu disampaikan bahwa penetapan status tersangka dengan penangkapan dan penahanan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, masing-masingnya dapat dibedakan dan oleh karena itu menjadi objek praperadilan yang berbeda, walaupun dengan subjek yang sama (in casu IB HRS).
Dengan demikian, dalam proses penyidikan yang didalamnya termasuk penetapan status tersangka, penangkapan dan penahanan memiliki keterhubungan dengan dua alat bukti minimal, pemeriksaan calon tersangka, dan pemenuhan unsur delik yang disangkakan.
Tidak mungkin dilakukan penangkapan dan penahanan apabila sebelumnya belum ditetapkan status tersangka. Tidak mungkin ada penetapan status tersangka tanpa sebelumnya ada proses penyidikan dan sebelumnya penyelidikan.
Pada sidang praperadilan kedua ini, pihak pemohon mendalilkan bahwa penangkapan dan penahanan tehadap IB HRS tidak sah, sebab belum dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebagai calon tersangka sebagaimana dimaksudkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Dapat disebutkan disini beberapa putusan dikabulkannya permohonan praperadilan terkait tidak sahnya penetapan tersangka dikarenakan tidak adanya pemeriksaan calon tersangka, yaitu: Putusan Nomor 67/Pid.Prap/2015/PN. Jkt.Sel, Pemohon: Dahlan Iskan; Putusan Nomor 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, Pemohon: Dr. H. Ilham Arief Sirajuddin; dan Putusan Nomor 19/Pid.Prap/2016/PN.Sby, Pemohon: Ir. H. La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP.
Dua alat bukti minimal dimaksudkan dalam rangka membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Membuat terang tindak pidana adalah dalam hal mengetahui secara jelas tindak pidana apa yang terjadi dan kemudian terpenuhinya unsur pasal yang akan diterapkan kepada pelaku. Unsur pasal dimaksud adalah adalah unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Penyidikan sebagai suatu proses tidak selalu harus menghasilkan produk berupa penetapan status tersangka.
Penetapan status tersangka harus memenuhi adanya dua alat bukti minimal, pemeriksaan pendahuluan terhadap calon tersangka dan terpenuhinya unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea) dan keterhubungan keduanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pemeriksaan calon tersangka demikian penting sebab berkaitan dengan dua alat bukti minimal dan pemenuhan unsur pasal yang akan dikenakan.
Kemudian, terkait dengan sidang pokok perkara yang dijadwalkan pada hari Selasa, tanggal 16 Maret yang akan datang menimbulkan pertanyaan serius. Disini dipersoalkan bagaimana keberadaan putusan praperadilan yang menurut informasi akan dibacakan pada hari Rabu tanggal 17 Maret.
Jika informasi tersebut benar adanya, maka akan berdampak pada putusan praperadilan a quo. Hakim praperadilan dapat menyatakan gugurnya permohonan praperadilan dengan alasan telah dilangsungkan sidang pertama terhadap pokok perkara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa”, tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.” Sidang pertama dimaksud adalah pembacaan dakwaan oleh Penuntut Umum.
Menjadi lain halnya, jika putusan praperadilan dibacakan pada hari Senin, sehari sebelum sidang pokok perkara. Seandainya putusan praperadilan mengabulkan permohonan, maka IB HRS harus dikeluarkan dari tahanan. Adapun pelaksanaan sidang pokok perkara tetap dilangsungkan dan IB HRS mengikuti seluruh rangkaian persidangan secara langsung.
Pada prinsipnya, kehadiran Terdakwa dalam persidangan merupakan suatu keharusan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 154 KUHAP. Seiring dengan pandemi Covid-19 kehadiran secara daring pada Terdakwa berlaku tidak tetap, ada yang dilakukan secara langsung seperti dalam kasus Djoko Tjandra.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perihal kehadiran IB HRS dalam persidangan ditentukan oleh putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur apakah akan dilakukan secara off line ataukah on line tergantung dari putusan praperadilan tersebut. Jika tidak dikabulkan, maka kemungkinan besar akan dilakukan secara on line.
Begitupun jika putusan menyatakan gugurnya permohonan praperadilan dengan alasan telah dilangsungkan sidang pertama terhadap pokok perkara. Penulis berpendapat kehadiran IB HRS secara fisik dipersidangan sepertinya tidak dikehendaki dan oleh karenanya belaku secara daring. Terlebih lagi, jika putusan praperadilan menyatakan gugurnya permohonan praperadilan, maka menutup peluang hadirnya IB HRS secara langsung.
Jakarta, 14 Maret 2021.