MS. Syakur
Kemampuan meniru dan menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk melindungi wujud dan bentuk sebenarnya dan mengantisipasi kecurigaan serta kemungkinan ancaman yang mungkin akan datang, merupakan satu kekuatan bunglon untuk melindungi dirinya dengan mimikri.
Ada keanehan dan keganjilan yang luput dari KPU dan rakyat Indonesia ditengah euphoria pencapresan 2014-2019 kemarin. Ketika Jokowi-JK menyerahkan visi, misi dan program aksi capres/cawapres, KPU tidak menyediakan tim pakar untuk mengkaji secara serius, dalam waktu yang cukup untuk memastikan, apakah visi dan misi tersebut sudah sesuai, dan tidak bertentangan dengan konstitusi Negara?.
Bukan karena banyaknya plagiasi istilah-istilah yang sering digunakan Soekarno yang memperkuat tesis bahwa Jokowi adalah Utusan Partai yang masih berada dalam lingkungan trah Soekarno. Tetapi visi dan misi Jokowi penting dicermati karena bisa membuka kerawanan, masuknya para pembonceng anti NKRI dan konstitusi. Disamping ditengarai ada pergeseran ideologis yaitu hilangnya kalimat “Pancasila sesuai UUD 1945” sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar PDIP pada konsep visi misi dan program aksi Jokowi, diganti dengan Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti.
Pasca rekomendasi Rakernas PDIP di Semarang (19-20/9/2014), Megawati didaulat untuk memimpin kembali sebagai Ketum Partai berlambang banteng moncong putih periode 2015-2020. Karena menurut ketua Fraksi PDIP di DPR Puan Maharani, yang juga putri Megawati, hanya trah Soekarnolah yang bisa mengawal transisi PDIP dari Partai oposisi ke Partai pemerintah. “Yang bisa mengawal itu ya trah Soekarno”, kata Puan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, (23/9/2014).
Jika bung Karno pernah berpidato diberi judul Nawaksara, maka Jokowi pun mempunyai program unggulan bernama Nawacita. Soekarno memeras Pancasila yang diusulkan di dalam rapat BPUPKI 1 Juni 1945 menjadi Trisila, kemudian Trisila diperas lagi menjadi Ekasila yaitu Gotong royong. Pemerintahan Jokowi pun menjadikan gotong royong sebagai landasan mewujudkan Indonesia yang dia cita-citakan; “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong royong”, (Visi Jokowi-JK 2014-2019, “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”).
Bahkan melalui Rakernas PDIP IV di Semarang merekomendasikan, supaya nama kabinet Jokowi adalah Kabinet Trisakti sebagaimana Trisakti yang pernah diinisiasi oleh Soekarno pada tahun 1963. Dan yang paling kontroversial adalah infiltrasi ideologis, memaksakan ideologi personal Soekarno menjadi ideologi Nasional, menggeser Pancasila sesuai dengan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan Nasional surut ke belakang menjadi Pancasila 1 Juni 1945 yang notabene usulan Soekarno pada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Pancasila 1 Juni 1945 yang belum definitip sebagai dasar Negara.
Megawati dalam forum Rakernas di Semarang mengatakan : “Seluruh kader PDIP memiliki keharusan mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Dengan begitu, katanya, Ideologi Pancasila 1 Juni 1945 yang dianut PDIP benar-benar bisa hidup di tengah rakyat. Sebuah ideologi yang hidup bukan hanya jargon belaka” ujar Megawati (HU Republika 20 September 2014). Jika Pancasila 1 Juni 1945 dan TRISAKTI menjadi ideologi PDIP atau komunitas tertentu dari sebagian bangsa Indonesia (kaum marhaenis), bisa dimaklumi. Namun ketika presiden sebagai eksekutif pelaksana mandat rakyat memasukkannya ke dalam visi, misi dan program aksinya sebagai ideologi bangsa. Berarti presiden membuat konstitusi sendiri di luar konstitusi Negara dan bisa dikategorikan inkonstitusional. Meski Jokowi dan PDIP bisa saja menghiraukan amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR RI, dengan alasan ingin kembali kepada UUD 1945 yang awal pun juga tidak mengenal Pancasila 1 Juni 1945.
Dari manakah doktrin kembali kepada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 itu berasal?. Yang pasti bukan dari Bung Karno sendiri. Soekarno tidak pernah melakukan hal semacam itu dalam karier politiknya selama menjadi presiden RI, bahkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Bung Karno menyatakan kembali kepada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dan menjadi satu kesatuan.
Pancasila 1 Juni 1945 yang bisa berubah menjadi Trisila dan diperas lagi menjadi Ekasila (Gotong royong) adalah pemikiran Soekarno yang saat itu disampaikan sebagai kontribusi untuk mencari dasar bagi Negara Indonesia merdeka. Pancasila yang masih fleksibel itu bisa berubah-ubah menjadi Trisila dan Ekasila. Apakah benar Jokowi dan PDIP menghendaki perubahan Pancasila sebagaimana yang sudah dikenal dalam sejarah perjuangan bangsa?. Tentu saja tidak. Terus bagaimana dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 yang dihasilkan di rumah transisi, apakah Pancasila yang liberal, sosialis dan ‘merakyat’ atau Pancasila yang bagaimana?. Adakah perbedaan Pancasila yang dipakai Orde Baru dan Orde Lama dengan Pancasila yang dipakai Jokowi atau PDIP?.
Apabila membaca visi, misi dan program aksi Jokowi menuju JALAN PERUBAHAN UNTUK INDONESIA YANG BERDAULAT, MANDIRI DAN BERKEPRIBADIAN tertera sub judul pada halaman pendahuluan, BERJALAN DI ATAS AMANAT KONTITUSI, pembaca segera tahu seperti tak akan ada perubahan fundamental daripada dasar Negara.
Meneguhkan Kembali Jalan Ideologis
“Kami berkeyakinan bahwa bangsa ini mampu bertahan dalam deraan gelombang sejarah apabila dipandu oleh suatu ideologi. Ideologi sebagai penuntun; ideologi sebagai penggerak; ideologi sebagai pemersatu perjuangan; dan ideologi sebagai bintang pengarah. Ideologi itu adalah PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI”
(Visi dan misi Jokowi: Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian)
Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, dan telah menjadi kesepakatan bersama faunding father’s serta diketahui publik secara luas, meskipun tidak tercantum secara definitif di dalam lembaran Negara. Pancasila yang dikenal dan diakui secara konstitusional adalah sesuai yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, bukan Pancasila 1 Juni 1945 dan bukan pula Pancasila 22 Juni 1945, meskipun Pancasila 22 Juni 1945 merupakan kesepakatan bulat panitia 9 (PPKI), resmi dan konstitusional. Bahkan pada Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 menyatakan bahwa Pancasila 22 Juni (Piagam Jakarta) tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Suatu keanehan, mengapa PDI-Perjuangan yang mengusung Jokowi-JK di dalam Anggaran Dasarnya mencantumkan; partai berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945. Namun di dalam visi misi Jokowi direduksi menjadi ideologi PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI, tanpa embel-embel “Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”, berarti telah menggeser marwah ideologi nasional menjadi sekedar ideologi personal Soekarno yang diusulkan pada sidang BPUPKI. Apakah ini termasuk tahapan ‘jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian’?. Jika hal ini tidak dijelaskan dan diluruskan oleh Jokowi dan PDIP, maka upaya dan konspirasi senyap kekuatan lain yang anti NKRI dan Konstitusi agaknya telah berhasil memotong jalannya sejarah. Menjadikan Soekarno pemimpin besar revolusi sebagai satu-satunya icon menuju Indonesia Baru. Tak lagi peduli dengan kesepakatan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bahkan bisa dianggap menganulir peran para pemimpin dan pendiri bangsa yang juga pernah mengemukakan konsepsi 5 prinsip (Panca Sila) dasar Negara sebelum Bung Karno menyampaikan pemikirannya di hadapan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H pada Sidang BPUPKI sebelumnya, tanggal 29 Mei 1945 dan Prof. Mr. Dr. Soepomo yang juga mengusulkan pada sidang BPUPKI, 31 Mei 1945 dasar Negara Indonesia merdeka yang terdiri dari lima prinsip.
Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, bukan saja mengusulkan lima prinsip yang dia namakan Pancasila, sesuai usul salah seorang pakar bahasa untuk menjadi dasar Negara Indonesia merdeka, Tetapi Soekarno juga memberikan alternative, pilihan dan opsi. Jika tidak mau menerima lima prinsip Panca Sila yaitu:
Kebangsaan Indonesia.
Internasionalisme atau perikemanusiaan.
Mufakat atau demokrasi.
Kesejahteraan social dan
Ketuhanan Yang Maha Esa
Soekarno mempersilahkan sidang BPUPKI mengambil tiga prinsip (Trisila), perasan dari Panca Sila yaitu:
Socio-nationalisme
Socio- demokratie dan
Ketuhanan
Bahkan kalau peserta sidang tidak suka dengan tiga Trisila, Soekarno mengusulkan bisa dijadikan satu dasar saja (Ekasila), perasan dari Trisila yaitu Gotong royong. Kata Soekarno: “Sebagai tadi telah saya katakana, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”
(Pidato Soekarno 1 Juni 1945 pada Sidang BPUPKI)
Jadi Pancasila versi manakah yang menjadi pedoman Joko Widodo, apakah Pancasila sesuai dengan yang tertera dalam pembukaan UUD 1945, atau Pancasila sesuai dengan pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945?. Apabila kedua Pancasila itu dianggap sama dan identik, mengapa pada visi dan misi Jokowi, secara tegas memilih Pancasila sesuai Pidato Soekarno yaitu pada tanggal 1 Juni 1945? Apabila berbeda, apakah perbedaannya sehingga Visi Misi Jokowi lebih layak memilih Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia mengalahkan kesepakatan bersama?. Jika Pancasila 1 Juni 1945 sebagai landasan ideologi negara, hal ini akan menimbulkan pergeseran konstitusi dan pro-kontra yang bisa menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian konstitusional. Pasti akan ada pihak yang menganggap telah terjadi pengkhianatan dan mendistorsi sejarah bangsa dan Negara Indonesia oleh Presiden.
Diktator Demokrasi Rakyat: Parlemen Jalanan?
Pengesahan UU Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), UU Pilkada dan ‘kemenangan’ telak koalisi Merah Putih (KMP) pada pemilihan ketua MPR dan DPR RI, membuat meradang kubu KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Begawan PDIP Megawati Soekarnoputri dalam akun twitternya @MegawatiSSP pada 2 Okt 2014 13:13, berkicau: “1. Anggota DPR kebal hukum? 2. Pilkada oleh DPRD? 3. Ketua & wakil ketua DPR politisi busuk? Saya tidak akan menahan aksi #peoplepower”. (broadcast dari seorang anggota KMP 8 Okt, 7:19pm). Kicauan yang agaknya kurang elegan, betapa seorang mantan presiden RI ke-5 terus terang memprovokasi rakyat, padahal Negara ini adalah Negara hukum, ada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai saluran bagi masyarakat yang tidak sepakat untuk menguji apakah produk hukum tersebut inkonstitusional atau tidak. Bukannya mengajak aksi demonstrasi –meskipun hal itu dibolehkan-, sementara UU Pilkada sudah diundangkan.
Bagi kader partai yang pernah membaca diktat pedoman sekolah-sekolah politik partai sosialis dan komunis “ABC Politik” tidak akan heran. Diktat yang dikeluarkan Depagitprop CC PKI Djakarta 1958 itu menyatakan ;
“Oleh sebab itu, setelah proletariat memegang kekuasaan, di-tiap2 negeri diperlukan masa peralihan untuk mengubah susunan ekonomi jang lama mendjadi susunan ekonomi jang baru, susunan ekonomi Sosialis. Setelah klas buruh menggulingkan kekuasaan burdjuasi, ia mendirikan kekuasaannja sendiri, jaitu diktatur proletariat. Diktatur proletariat adalah diktatur massa jang luas, buruh dan tani, dibawah pimpinan proletariat, terhadap burdjuasi dan kaum kontra revolusioner lainna. Negara proletar ini adalah alat pokok dari klas buruh untuk mematahkan perlawanan” (halaman 16).
Bahkan secara lebih tegas dinyatakan dalam buku “Menempuh Jalan Rakyat” :
“Hanja Rakjat, jaitu kaum buruh, kaum tani, berdjuasi ketjil dan berdjuasi nasional jang mempunjai hak berbitjara. Dalam kategori Rakjat djuga termasuk kaum intelektuil dan ahli2 kebudajaan jang mengabdi kepentingan Rakjat. Sistim demokrasi jang dikehendaki oleh PKI jalah sistim demokrasi jang dilaksanakan diantara Rakjat; kepada Rakjat diberikan hak berbitjara, hak bersidang dan berkumpul. Hak memilih hanja diberikan kepada Rakjat dan tidak diberikan kepada kaum reaksioner. Djika digabungkan kedua-duanja ini, jaitu diktatur terhadap kaum reaksioner dan demokrasi bagi Rakjat, maka mendjadilah ia diktatur daripada demokrasi Rakjat, atau singkatnja : diktatur demokrasi Rakjat”
(D.N. Aidit, “Menempuh Jalan Rakyat”, cet. II, Yayasan Pembaruan, 1952, halaman 15-16).
Arahan dan anjuran Joko Widodo supaya Relawan Jokowi-JK tidak membubarkan diri dulu, dengan alasan masih diperlukan lima tahun ke depan, untuk membantu control dan memberi info kepada pemerintah atas kondisi masyarakat bawah. Bukannya tidak mungkin akan menjadi kekuatan basis bagi people power yang dimaksud Megawati Soekarnoputri mengingat Joko Widodo adalah Petugas Partai. Dan akan ada komunitas lain yang selama ini tidak bisa menjalankan aktivitasnya karena terkendala konstitusi akan bergabung. Seperti komunitas anti agama, komunitas liberal dan sekuler, komunitas lesbian dan gigolo, komunitas lintas agama (kawin antar agama), komunitas sosialis dan komunitas-komunitas lain dengan dalih menjunjung Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan membangun Indonesia tanpa diskriminasi. Sebuah jalan perubahan menuju Indonesia yang proletarian?. Ada pula Revolusi Mental istilah yang juga tidak asing di dalam gerakan revolusioner proletarian, diktator demokrasi proletar.
Sebelum Jokowi memenangkan sebagai presiden Indonesia melalui MK, sudah mulai ramai dibicarakan pencabutan UU larangan Partai Komunis, evaluasi perda yang bernuansa Syari’ah, kawin antar agama, legalisasi lesbian dan gigolo, lokalisasi pelacur, pergaulan bebas yang diakomodir dalam buku-buku pelajaran SD, SMP dan SMU. Pendidikan yang berbasis civic education (pendidikan kewarganegaraan) yang berkebudayaan tak lagi memasukkan nilai-nilai agama sebagaimana yang sudah ada. Agama menjadi urusan privat bukan lagi public. Maka jika ada wacana menghapuskan Kementerian Agama itu hal biasa, hanya untuk menghindari benturan sehingga Kementerian Agama dipertahankan?. Perlu kewaspadaan marginalisasi peran agama secara konstitusional apabila Pancasila 1 Juni 1945 dipertahankan.