Oleh: MS. Syakur
INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?
Kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?
(Jokowi, Revolusi Mental, Kompas Sabtu, 10 Mei 2014)
Kegalauan Presiden RI, Joko Widodo terpateri dalam dua pertanyaan yang ditulis di media massa ternama Indonesia saat masih menjadi calon presiden pada Pilpres 2014. Kini Jokowi sudah menjadi Presiden Joko Widodo sebagaimana dimaukan dan diinginkan. Meski kemenangan dalam Pilpres 2014 dironai dengan berbagai intrik dan trik berhasil meraih kemenangan tipis atas lawan tandingnya Prabowo Subianto yang masih sempat menggugatnya di Mahkamah Konstitusi. Meski ditolak tak ada kata meyerah dalam berpolitik dan membangun negara. Lembaga legislatif menjadi pertaruhan memenangkan kompetisi. Kubu Koalisi Indonesia Hebat ternyata tak sehebat Merah Putih, terpaksa mengalah dan melakukan lobbi-lobbi politik supaya konstruksi lembaga perwakilan rakyat yang terhormat itu berimbang, tak elok katanya jika pemenang pemilu tidak ada yang duduk di kursi pimpinan dewan atau pimpinan alat kelengkapan dewan yang terhormat.
Meski suasana galau masih ada, tidak semestinya menyandera siapa saja untuk melangkah meniti apa yang sudah dipatrikan dan dijanjikan, terutama Presiden. Belum seratus hari setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden Joko Widodo, waktu yang masih hangat untuk mengingat kegalauan yang disampaikannya dan bagaimana seharusnya. Jokowi pun menjawab kegalauannya sendiri :
“Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan”.
“Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat”.
“Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini”. (Jokowi, Revolusi Mental, Kompas Sabtu, 10 Mei 2014)
Dari mana kita mulai?, tanya Jokowi dalam tulisan tersebut yang kemudin dia jawab sendiri; “Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara. Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
(Jokowi, Revolusi Mental, Kompas Sabtu, 10 Mei 2014).
Memang revolusi belum selesai. Revolusi mental Indonesia baru dimulai, demikian Jokowi memungkasi kata dalam artikelnya.
Boleh jadi, Presiden Joko Widodo dalam melakukan revolusi mental, tidak saja berpedoman pada Pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea ke empat, juga UUD NRI tahun 1945 Pasal 29 ayat (1) dan (2), tapi mungkin juga menempatkan agama sebagai modal utama dan pedoman baku di Negara Indonesia yang berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Sehingga setiap peraturan dan undang-undang produk negara tidak akan mencederai atau melawan Agama bahkan sebisa-bisanya disesuaikan dengan tuntunan Agama. Boleh jadi juga tulisan Jokowi yang sekarang menjadi Presiden RI mengingatkan kembali pada kebijakan politik paling spektakuler dari Presiden Soekarno, yakni Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menyatakan dalam diktum terakhir pertimbangan Dekritnya:
“Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Jika ternyata tidak, malah sebaliknya menjauh dan menggugat tatanan dan Syariat agama maka dikhawatirkan revolusi mental menjadi ‘mental’ berbalik arah, mental Jokowi menjadi seperti mental Siswojo (baca: Siswoyo).
Revolusi Mental Siswojo
Siswojo (baca : Siswoyo) adalah kader komunis, yang berterus terang menyatakan ideologinya. Ideologi sosialis proletariat alias komunisme. Siswojo menjadi wakil ketua partai PKI di DPR tahun 1955, tiga belas tahun dalam tahanan rezim Soeharto empat tahun dihabiskan hari-harinya di Nusakambangan, sebelumnya ditahan di penjara-penjara Jakarta. Siswojo menghirup udara bebas tahun 1978 setelah dibebaskan tanpa pengadilan dari Nusakambangan. Dia adalah anggota sekretariat CC Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era tahun 1959. Dalam pidato politiknya dihadapan Kongres Nasional PKI ke VI (7-14 September 1959) dia menyatakan bahwa pendidikan patriotisme (civic education) adalah unsur pokok dalam pendidikan mental. yaitu merubah mental borjuis menjadi mental patriotisme proletar (pekerja). Siswojo juga mengingatkan bahwa menurut komunisme pengelolaan Negara harus steril dari agama.
“….Situasi pendidikan ini kini juga ditandai dengan adanya semangat yang kuat untuk mempertegas tujuan pendidikan dengan memasukkan patriotisme sebagai unsur pokok dalam dunia pendidikan dan pengajaran….”.
“Satu soal lagi yang kini menjadi persoalan yang hangat dan prinsipiil dalam lapangan ini ialah perjuangan antara yang ingin memasukkan pelajaran agama sebagai pelajaran yang pokok dalam sekolah-sekolah umum dan sekolah-sekolah negeri mereka, termasuk kita, yang menolak keharusan itu. Kita berpendapat agama harus dipisahkan dari soal-soal kenegaraan, agama adalah soal pribadi masing-masing”.
(Pidato kawan Siswojo, Bintang Merah Nomor Spesial Jilid II, Dokumen-dokumen Kongres Nasional ke VI PKI, 7-14 September 1959, yayasan Pembaruan Jakarta 1960)
Mental Proletariat
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) kaum komunis adalah pendidikan moral dan mental proletariat, pendidikan ideologi dan politik kelas pekerja sebagaimana di Negara-negara sosialis. Kekuatan utama bangunan sosialis dan komunis adalah keberhasilan “mental revolution”, yaitu penanaman ideologi dan politik sosialis dan komunisme. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah tulisan “World Revolution and Communist Tactics”:
“Terjadinya perubahan dari kapitalis menuju komunisme melibatkan dua pilar kekuatan. Pertama, kekuatan material dan kedua kekuatan mental. Kekuatan mental-lah yang menjadi pilar utama menuju komunisme”.
(Anton Pannekoek “World Revolution and Communist Tactics”, diterbitkan pertama kali oleh penerbit Partai Komunis Austria, 1920).
Mental tanpa Agama rupanya yang menyeruak akhir-akhir ini setelah komunitas Kristen, liberal, sosialis dan Syiah memperoleh peluang angin segar di era pemerintahan Joko Widodo. Jalaluddin Rakhmat tokoh Syiah yang menyusup ke dalam Pileg 2014 dan menjadi anggota DPR RI dari PDI P mengatakan, parlemen bukanlah pondok pesantren. Karena itu selayaknya agama tidak diikut sertakan di dalam parlemen dan atau dalam politik. “Parlemen kok seperti pesantren” ujar Jalal dalam diskusi bertajuk Revolusi Mental dengan tema “Dari Ali Hingga Jokowi”, 15 Oktober 2014 di Auditorium Nurkholish Madjid Paramadina Jakarta.
Bahkan sejak Pilpres 2014 sebagai pemanasan santer disuarakan oleh Ketua Timses Jokowi-JK bidang Hukum, Trimedya Panjaitan, SH dimuat pada koran REPUBLIKA, 5 Juni 2014 :
Kubu pasangan Capres/Cawapres nomor urut dua Joko Widodo-Jusuf Kalla
berencana memangkas peraturan daerah (perda) yang berlandaskan syariat Islam. “Ke depan kami berharap perda syariat Islam itu tidak ada,” kata Ketua Tim Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK,Trimedya Panjaitan di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (4/6). Menurut Trimedya, perda syariat Islam mengganggu kemajemukan NKRI yang berlandaskan Bhinneka Tungga Ika, karena menciptakan pengkotak-kotakan masyarakat. Selain itu, perda syariat Islam tidak sejalan dengan ideologi yang dianut PDIP, dan bertentangan dengan UUD 1945. “Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila sebagai sumber hukum sudah final.”
Apabila pada saat ini Pemerintahan Jokowi melalui menteri-menterinya suka berulah tentang peran agama dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat yang diatur negara, bisa disinyalir telah terjadi indoktrinasi yang digagas oleh ‘Tim Transisi’, untuk menghilangkan keseragaman ‘mayoritas’ karena ‘mengganggu keberagaman ‘minoritas’. Demi menjunjung tinggi dan membangun keberagaman yang hakiki terhadap ke-Bhineka-an yang Tunggal Ika, para menteri memarginalisasikan peran agama mayoritas dalam pengelolaan kementeriannya.
Wallaahu a’lam