Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb
Ditengah semakin meningkatnya angka kematian akibat melonjaknya kasus Covid-19, kini solusi vaksinasi muncul bak jurus ampuh bin ajaib. Bahkan, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menyebut situasi pandemi Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, disebut sedang memasuki fase kritis. Hal ini dikarenakan semua indikator termasuk angka kematian semakin meningkat tinggi. Dalam tiga bulan pertama ini, situasi kritis menurutnya akan sangat dipengaruhi oleh respons pemerintah dalam melakukan screening, tes, hingga isolasi. Vaksin pun muncul menjadi pilihan untuk membangun kekebalan tubuh, bukan sebagai solusi ajaib (tirto.id).
Senada dengan pernyataan epidemiolog diatas, program vaksinasi ini pun tampaknya menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat. Program ini menjadi kontroversi dan menuai kritik, sebab vaksin bermerek Sinovac yang telah dipesan dan didistribusikan ke belasan provinsi di tanah air, disebutkan belum lolos uji klinis tahap III (tirto.id). Beragam opini pun muncul, mulai dari keraguan masyarakat hingga penolakan. Lantas, apakah program vaksinasi yang akan berjalan ini ialah sebuah solusi tepat ? Maka, melihat situasi ini, ada beberapa benang merah yang dapat kita tarik.
Pertama, yang perlu kita ingat kembali, vaksin termasuk ke dalam secondary prevention alias pencegahan kedua setelah sebelumnya di maksimalkan dalam primary prevention (pencegahan utama). Sedangkan dalam evaluasinya, upaya pencegahan utama juga belum maksimal dan sebagian besar masih amburadul. Padahal, primary prevention dengan 5M (Menggunakan masker, Mencuci tangan, Menjauhi kerumunan, Menjaga jarak, Menjaga imun) ialah upaya yang tak boleh diabaikan. Hal tersebut tampaknya hingga saat ini belum menjadi bahan evaluasi yang maksimal oleh pemerintah dalam membenahi penanganan pandemi di negeri ini. Fokus tindak lanjut dan pembenahan harusnya diutamakan pada primary prevention. Bukan malah menjadikan jalan vaksin seolah mengesampingkan upaya pencegahan yang utama.
Yang kedua, minimnya sosialisasi dan juga tidak transparannya pemerintah dalam menjatuhkan opsi pembelian vaksin pada merek Sinovac, menjadikan hal ini semakin menambah tingkat kecemasan dan skeptis pada publik. Sedangkan opsi pemilihan vaksin bukan hanya Sinovac buatan China, tetapi ada juga vaksin Pfizer dan Moderna yang diproduksi oleh Amerika Serikat serta Jerman, dengan tingkat efikasi masing-masing 95% dan 94,5%. Sedangkan di satu sisi, rakyat butuh diberikan penjelasan lengkap dan benar terkait vaksin yang akan disebarluaskan ini. Berbagai kabar beredar mulai dari tingkat efikasi yang belum selesai di uji coba, hingga berita kematian di beberapa negara (Brazil salah satunya) setelah vaksin di injeksi ke beberapa relawan.
Lalu yang ketiga, terkait dengan kurangnya keterbukaan dalam pemilihan vaksin yang telah dipesan dan didistribusikan ke beberapa provinsi, seolah mengindikasi program vaksinasi ini terikat kuat dengan lobi-lobi bisnis diantara penguasa dan pengusaha. Padahal vaksin yang telah didistribusi tersebut belum mendapat Persetujuan Penggunaan Darurat/Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) secara resmi. Jika dikalkulasikan, vaksin yang baru saja masuk ke Indonesia sebanyak 1,2 juta dosis, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 60,5 triliun, dengan kisaran harga per dosis yakni Rp.211.282. Angka yang cukup besar untuk vaksin yang belum jelas tingkat efikasinya. Lalu mengapa pemerintah terkesan terburu-buru padahal ini terkait dengan keamanan dan keselamatan jutaan nyawa rakyat indonesia ? Bahkan, terkait dengan pelaksanaan program ini, perangkat hukum melalui perda pun diberlakukan dengan ancaman pemberian sanksi bagi warga yang menolak pemberian vaksin. Bukankah nyawa rakyat adalah prioritas yang utama ? Namun mengapa rakyat justru diancam, bukannya diberi pemahaman dan ketenangan ?
Yang keempat ialah hal ini telah menunjukkan karakterisik dari sistem kapitalis yang diterapkan dunia hari ini. Di dalam sistem kapitalis, nyawa rakyat seolah menjadi hal yang murah. Rakyat dijadikan bahan coba-coba dengan hanya mempertimbangkan untung dan rugi. Padahal, di dalam Islam, nyawa seorang manusia jauh lebih berharga dari dunia dan seisinya. Rasululah saw bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak”. (HR. At-Tirmidzi)
Lalu yang kelima, perlu dikritisi dari sudut pandang islam terkait dengan pembelian vaksin dari negeri China yang merupakan negeri kafir harbi dan terbukti menyiksa dan membunuh banyak umat muslim etnis Uighur di Provinsi Xinjiang. Pada dasarnya boleh hukumnya umat Islam bermuamalah dengan nonmuslim. Seperti berjual beli, utang piutang, dan sebagainya, jika negeri nonmuslim itu tidak memusuhi atau memerangi umat Islam. Dalam hal ini Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al Mumtahanah: 9).
Carut-marutnya penanganan penyebaran virus Covid-19 akibat dari kebijakan dan regulasi yang kurang tepat sedari awal, kini semakin membuka wajah asli dan watak buruknya sistem yang diterapkan oleh dunia secara global saat ini. Hal ini tentu jauh berbeda dengan pengaturan kebijakan menurut Islam. Dalam Islam, penguasa yakni dalam konteks negara, berfungsi sebagai pengurus dan penjaga segala urusan yang menyangkut keselamatan jiwa rakyat. Yakni dengan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, hingga kesehatan yang telah diturunkan pedomannya oleh Sang Pencipta sebagai rahmat bagi seluruh alam. Penerapan seperangkat aturan Islam bahkan telah terbukti selama 13 abad memberikan perlindungan yang maksimal pada rakyat. Sistem inilah yang akan menjaga jiwa rakyat dengan baik, karena menghasilkan penguasa yang bertindak sesuai dengan tuntunan Sang Pemilik Alam. Penguasa yang sesuai dengan syariat islam pun akan senantiasa berusaha untuk menjaga jiwa dan keselamatan rakyatnya. Seperti sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).