Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Dilansir dari KOMPAS.com, Senin, 7 Desember 2020, Pusat Prestasi Nasional (Pupsresnas) Kemendikbud menyelenggarakan Kompetisi Inovasi Bisnis Mahasiswa (KIBM).
KIBM merupakan bagian dari program Kampus Merdeka, ajang yang diselenggarakan untuk mengembangkan dan menumbuhkan jiwa serta kemampuan berwirausaha mahasiswa Indonesia. Dimana ada tiga bidang proposal yang dilombakan yaitu bidang akademik (universitas, institut, dan sekolah tinggi), bidang vokasi (politeknik), serta bidang disabilitas.
Bagi setiap proposal atau usulan yang lulus seleksi akan menerima bantuan pendanaan sebagai stimulus dalam pengembangan bisnis senilai Rp 5.000.000 sampai dengan Rp 15.000.000.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto mengatakan, kompetisi ini merupakan awal yang baik bagi mahasiswa untuk mengembangkan ide kreatifnya, sekaligus mencapai tujuan membangun semangat kewirausahaan dengan memperkuat jejaring antara akademisi, bisnis dan pemerintah.
“Dana itu besar. Saya pastikan dana yang terparkir dari investor-investor itu sangat besar dan mereka kalau sudah percaya kepada sebuah ide dan pemilik ide itu, mereka akan jauh lebih confident untuk mengalirkan dana mereka pada start up seperti ini,” kata Wikan.
Program merdeka belajar ini, lebih khususnya bantuan wirausaha ini sejalan dengan program Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dengan program Santripreneur.
“Kami meyakini, para santri generasi muda akan mampu mejadi agen perubahan yang strategis dalam membangun bangsa dan perekonomian Indonesia di masa mendatang,” demikian kata Dirjen IKMA Gati Wibawaningsih, dikutip dari instagram Kementerian Perindustrian.
Pemerintah juga memberikan bantuan berupa mesin dan peralatan produksi sesuai bidang usaha yang ditekuni di ponpes tersebut. Program ini sudah ada sejak 2013 dan telah menjangkau 46 pondok pesantren (okezone.com, 23/1/2020).
Terlihat upaya pemerintah sangat masiv menggelorakan perekonomian, tak hanya level UMKM namun juga merambah dunia pendidikan. Baik itu pendidikan berbasis Islam seperti pondok pesantren maupun yang lebih umum yaitu kalangan mahasiswa. Keseriusan ini patut dipertanyakan, seberapa pentingnya kah dunia pendidikan harus menekuni wirausaha? Apakah benar ujung dari pendidikan adalah mendapatkan pekerjaan?
Sebagai agen of change mahasiswa atau pelajar pastilah berada di garda terdepan. Sebab, merekalah yang paling memungkinkan mengadakan perubahan, baik dari sisi fisik maupun pemikiran. Jika kemudian fokus pemerintah hanya pada sisi entreupreunernya saja, bisakah target perubahan bangsa ini tercapai?
Padahal secara logika, perubahan sebuah bangsa tak melulu dari sisi ekonominya saja. Namun juga akan melibatkan sektor sosial kemasyarakatan, keamanan, kesehatan dan pendidikan. Melalui pendidikan inilah ide dasar dan arah pandang sebuah bangsa akan terus hidup dan hal itu meniscayakan akan ada banyak hal yang dipelajari dan bukan monoton mengarahkannya ke arah bisnis. Justru inilah kebijakan parsial yang samasekali tak terintegrasi dengan terwujudnya kesejahteraan.
Pastilah ini ada agenda terselubung yang melatar belakangi program-program ini harus terlaksana. Bantuan untuk wirausaha hanyalah jebakan kesekian bagi pelajar. Contoh lain yaitu International Find for Agricultural Development (IFAD), salah satu lembaga pendanaan internasional di bawah PBB yang bergerak di sektor pertanian, juga mengucurka dana untuk proyek pembangunan dan pengembangan wirausaha muda pertanian Indonesia.
Yang disasar kembali adalah generasi mudanya, Program ini dinamai Youth Entrepreneurship and Employment Support Service (YESS). Melalui program ini, pemuda di desa diharapkan memiliki keterampilan dan keahlian untuk membangun bisnis serta menciptakan tenaga kerja. Program ini akan dilaksanakan selama 6 tahun (2019-2024).
Arahan untuk berdaya secara ekonomi, terutama sebagai entrepreuner jika di hadapkan pada kebijakan pemerintah yang ada sekarang sangatlah bertentangan. Setiap sektor ekonomi yang harusnya mudah diakses para usahawan muda itu nyatanya sudah dikuasai asing dan mendapatkan payung hukum pula. Pendanaan yang diberikan oleh Kemendikbud pun adalah hasil dari “sumbangan” para investor. Tentulah mereka tak mengharapkan selain para generasi muda itu menjadi tenaga kerja murah tapi terampil bagi usahanya.
Ironi, yang seharusnya para generasi muda mabuk menuntut ilmu seluas samudra, namun karena kebijakan bernafas kapitalisasi mereka harus menanggalkan cita-cita yang tadinya setinggi langit, terpaksa berakhir pada predikat buruh atau pengusaha muda kreatif ( produk rumahan). Belum lagi untuk terlibat dalam pendanaan berbasis utang riba, khas kapitalisme.
Padahal Islam memberikan pengaturan ekonomi dalam sebuah sistem yang lebih adil dan pasti mensejahterakan. Yaitu syariat tentang kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dua kepemilikan yang terakhir inilah yang akan dikuasai dan dikelola oleh negara. Dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan.
Setelah penjaminan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi oleh negara, selanjutnya negara akan mensuasanakan pendidikan berkelanjutan bagi warganya, terutama membuka kesempatan seluas mungkin untuk rakyatnya menimba ilmu tanpa harus terbelenggu oleh mindset setelah sekolah adalah bekerja.
Allah SWT berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Qs al-Mujadalah 58: 11).
Ulama atau bentuk jamaknya dari ilmu, adalah orang yang berpengetahuan. Mereka menjadi rujukan umat, ibarat gemerlap bintang di langit yang gelap. Maka, inilah semestinya tujuan utama dari pendidikan. Menciptakan generasi yang berkualitas secara aqliyah maupun Ruhiyah.
Sebab, negara tak butuh tenaga murah sekaligus terampil, namun rusak secara kepribadian, bahkan menjadi antek atau hamba kafir. Yang tak sakit hati jika Islam dihinakan dan tunduk ketika harus terus m betis didikte. Bagaimana bisa negara mengharapkan generasi yang enteng melepaskan SDA dijarah asing, SDM dijadikan kacung di negeri sendiri. Jelas bukan demikian maksud penciptaan Allah SWT atas dunia, alam semesta dan manusia.
Maka harus muncul kesadaran secara revolusione bahwa tak cukup jika pendidikan kita hanya menelorkan tenaga siap kerja, ini jelas akan sesuai dengan target SDGs (Sustainable Development Goals) yang digagas pemerintah sebagai hasil ratifikasi salah satu program PBB.
Tak lebih tak kurang, pandangan agar masyarakat lebih meningkatkan kualitas diri dengan meningkatkan kualitas kinerja yang mereka miliki dan itu berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka adalah tidak tepat. Agenda ini diadopsi oleh semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015-2030, yang hasilnya adalah memberikan cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet ini, sekarang dan di masa depan.
Padahal ini hanyalah penggiringan besar-besaran manusia kearah penjajahan gaya baru, dimana negara berkembang sebagai pasar bagi negara maju, sekaligus penyedia SDM yang terampil dan murah. Gagasan masyarakat dunia agar mendapatkan kehidupan yang sejahtera dengan hanya jalan perbaikan kualitas bekerja jelas gagasan sesat.
Tempat kembali dari semua kekacauan ini hanyalah Islam. Islam secara adil dan terperinci menjelaskan metode sejahtera hakiki. Sesuai fitrah dan memuaskan akal. Islam tak akan membebani pendidikan sedemikian rupa sebagaimana kapitalisme. Beban pemenuhan kesejahteraan ada pada negara. Sebab Islam memahami manusia tak sama, butuh mekanisme lebih kokoh dalam menjamin kesejahteraan. Hanya Islam solusi bagi seluruh problematika manusia. Wallahu a’ lam bish showab.