SOLO (Panjimas.com) – Seringkali di media kita membaca berita tentang seseorang yang ditangkap polisi dengan istilah “dijemput paksa”. Apakah sebenarnya istilah “jemput paksa” dalam sistem hukum di NKRI ini?
Jemput paksa itu tidak dikenal dalam KUHAP dan tidak berpengaruh pada masa hukuman, berbeda dengan penangkapan dan penahanan.
Pada pekan ini , petugas kepolisian pun mendadak menyambangi kantor Advokat Ahmad Yani di Jakarta. Ahmad Yani aktifis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menolak saat akan dipanggil paksa. Sementara itu, banyak media mewartakan bahwa Kepolisian telah menjemput paksa advokat Ahmad Yani.SH MH
Lantas, apakah perbedaan antara panggil paksa, jemput paksa dengan penangkapan? Berikut penjelasan hukumnya.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ditemukan istilah jemput paksa maupun panggil paksa. Yang ada, hanyalah istilah “dihadirkan dengan paksa”. Pakar Hukum Pidana Alumni Universitas Sebelas Maret Surakarta Dr.Muhammad Taufiq.SH MH menjelaskan panggil paksa dapat dilakukan dalam tahap penyidikan maupun proses persidangan. Selain itu, keduanya juga berbeda dengan penahanan.
Panggil paksa dan jemput paksa hanya bisa dilakukan setelah pemanggilan yang sah dilakukan dua kali. Sementara itu, penangkapan bisa dilakukan tanpa didahului dengan pemanggilan.
“Kalau panggil paksa dan jemput paksa harus ada pemanggilan yang sah dulu. Jika sudah dua kali dipanggil secara sah tidak datang juga, barulah dijemput paksa. Kalau penangkapan tidak perlu pemanggilan,” kata Taufiq peneliti pada PUSDEMTANAS (Pusat Demokrasi dan Ketahanan Nasional ) UNS Surakarta.
Panggil paksa dalam proses penyidikan dapat dilakukan terhadap tersangka maupun saksi. Hal ini diatur di dalam Pasal 112 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.