YOGYAKARTA (Panjimas.com) – Studi penerjemahan mengalami perkembangan yang signifikan sekarang ini. Para pakar penerjemahan telah mempublikasikan karya mereka dalam bentuk buku, prosiding maupun artikel jurnal ilmiah. Dalam konteks intercultural studies, penerjemahan adalah media komunikasi antar kelompok budaya pengguna bahasa yang berbeda-beda. Lewat penerjemahan, kelompok budaya tertentu yang biasanya lebih rendah atau imperior, bisa melakukan adaptasi, asimilasi, dan bahkan imitasi terhadap isi budaya dari kelompok lain. Inilah yang sering disebut dengan transmisi budaya, termasuk pengetahuan, dari kelompok pengguna bahasa sumber kepada kelompok pengguna bahasa sasaran.
Demikian yang disampaikan Prof. Dr. Abdul Munip, M.Ag dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga saat dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Studi Islam (Tarjamah), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor. 45789/MPK/KP/2020 tentang Kenaikan Jabatan Akademik/Fungsional Dosen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dibacakan Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama Drs. H.A. Munir, M.A. di gedung Prof. RHA. Soenarjo, S.H. lt.1, Kamis(24/09).
Abdul Munip menjelaskan transmisi pengetahuan ini berlangsung melalui beberapa fase, seperti dikemukakan oleh Dolby, yakni fase awareness, interest, dan adoption. Awareness merupakan tahap awal dari proses terjadinya transmisi pengetahuan dari satu kelompok budaya ke kelompok budaya lainnya. Awareness dimaknai sebagai kesadaran dari kelompok budaya tertentu, biasanya ilmuwan, bahwa ada pengetahuan, teknologi, atau isi budaya yang lebih baik yang dimiliki oleh kelompok budaya lain. Kesadaran ini mengantarkan pada fase berikutnya yaitu interest atau ketertarikan. Fase ketertarikan ini ditandai dengan anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok budaya lain ini penting. Anggapan ini kemudian mengantarkan pada fase ketiga atau terakhir dalam proses transmisi pengetahuan, yakni fase adoption. Fase ini muncul dalam bentuk tindakan para transmitter agar pengetahuan baru tersebut bisa diadaptasikan atau diaodpsi untuk kepentingan kelompok budaya mereka.
Lebih lanjut Abdul Munip menambahkan adopsi ini masih berlangsung sampai sekarang ini. Hampir bisa dipastikan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sepanjang sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Islam di Timur Tengah. Beredarnya buku-buku terjemahan dari bahasa Arab di Indonesia merupakan bukti kongkrit masih berlangsungnya transmisi pengetahuan dari Timur Tengah.
Setidaknya ada lima motif yang mendorong penerjemah dan atau penerbit melakukan kegiatan penerjemahan dan menerbitkan buku-buku terjemahan dari bahasa Arab untuk kepentingan publik. Kelima motif tersebut tidak bisa berdiri sendiri, namun saling terkait. Yakni pertama, motivasi religius, yakni berupa keinginan penerjemah agar aktifitas penerjemahannya terhadap buku bahasa Arab dikategorikan sebagai amal shalih yang bermanfaat bagi semua orang dan bisa menjadi penyebab diterimanya pahala Allah Swt.
Kedua, motivasi edukasional. Artinya, kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa Arab dilandasi motif untuk membelajarkan masyarakat. Ketiga, motivasi ekonomis. Motivasi ini sangat tampak dari keinginan penerjemah dan penerbit untuk mendapatkan keuntungan materi dari penerbitan buku-buku terjemahan dari bahasa Arab.
Motivasi keempat adalah motivasi ideologis. Motivasi ini ditandai dari kegigihan penerjemah dan penerbit untuk menyebakan faham dan ideologi keagamaannya melalui buku-buku terjemahan dari bahasa Arab. Motivasi kelima adalah motivasi stimulatif-provokatif. Motivasi ini ditandai dengan diterjemahkannya buku-buku berbahasa Arab karya ilmuwan Timur Tengah kontemporer dengan tujuan memantik diskursus akademik dalam studi Islam.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr.Phil. Al Makin, M.A. menyatakan bahwa bidang penerjemahan itu sudah terjadi sejak awal peradadaban Islam. Dari Yunani ke Latin. Dari Latin ke Syriak. Atau dari Yunani ke Syriak. Dari Syriak ke Arab. Itulah transfer pengetahuan di era Umayyah dan Abbasiyah yang menjadikan modal penerjemahan itu masa keemasan.
“Dalam buku saya Keragaman dan Perbedaan, penerjemahan itu menunjukkan keragaman, karena pelaku penerjemahan itu dari berbagai unsur agama, etnis, dan budaya, tidak hanya Arab dan Islam. Tapi Yahudi, Krstiani,Persia, Afrika, India, Latin, Siria, dan lain-lain.” tutur Al Makin.[AZ]