By Asyari Usman, Wartawan senior
Ada hadits Rasulullah yang lebih-kurang menyebutkan bahwa salah satu tanda kedatangan qiyamat adalah apabila manusia mengatakan yang benar itu salah, yang salah itu benar. Apabila manusia berpikir dan bertindak terbalik-balik.
Belum lama ini (tepatnya Jumat, 1/3/2019), Munas Ulama NU merekomendasikan agar kata “kafir” tidak lagi digunakan di Indonesia. Alasannya, kata “kafir” tidak dikenal di dalam sistem kenegaraaan. Tidak ada di dalam konstitusi (UUD ‘45). Yang ada ialah nonmuslim, kata Ketua PBNU Said Aqil Siradj (SAS).
Sampai di sini, SAS benar. Kata “kafir” memang tidak ditulis di konstitusi. Begitu juga kata “nonmuslim”.
Yang menjelaskan rekomendasi ini adalah SAS sendiri. Karena itu, saya lebih enak menyebut ini sebagai rekomendasi SAS. Toh, struktur NU dan PBNU tidak salah kalau dipersonifikasikan menjadi Said Aqil Siradj. Bukankah beliau adalah penguasa tertinggi dan terkuat di PBNU?
Baik, kita lanjutkan lagi.
Yang menjadi masalah adalah, rekomendasi penghilangan kata “kafir” itu mau tak mau masuk ke dalam kategori “menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah”. Padahal, Allah Ta’alaa sendiri yang membuat istilah “kafir” di dalam al-Qur’an al-Kareem. Tiba-tiba sekarang mau dihentikan penggunaannya oleh Said Aqil.
Bukankah ini bisa disebut sebagai pertanda qiyamat sudah dekat sebagaimana dijelaskan hadits di atas? Bisa jadi. Dan sangat mungkin qiyamat datang lebih cepat. Mengalami akselerasi gara-gara pelarangan kata “kafir”.
Nah, di sini ada masalah besar. Rekomendasi SAS untuk menghapus kata “kafir”, bisa sangat merugikan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Ruginya di mana? Mari kita ungkap.
Misalnya begini. Jokowi, dengan segala cara dan daya-upaya, bisa menang di pilpres 17 April nanti (meskipun sekarang ini hampir pasti beliau kalah). Nah, bayangkan kalau qiyamat datang dua minggu setelah Jokowi menang gara-gara Said Aqil ingin menghapuskan kata “kafir”. Bukankah itu akan merugikan Jokowi? Tentu iya.
Padahal, Jokowi sudah siap melanjutkan pembangunan infrastruktur (walaupun menambah utang). Dia siap dengan berbagai kartu baru. Ada kartu sembako murah, kartu prakerja dengan jaminan uang, ada kartu pendidikan sampai perguruan tinggi, dlsb.
Jokowi juga siap melanjutkan program mobil nasional, Esemka. Dia siap meluncurkan ‘unikon’ berteknologi digital. Dia juga telah menyiapkan Jokowi App yang akan membuat Anda bisa lebih akrab dengan beliau (tinggal “upload”, kata Pak Jokowi). Jokowi juga sudah siap dengan ekonomi roketnya. Siap meningkatkan ekspor kedaulatan negara yang sekarang menjadi komoditas yang disukai ‘buyer’ (pembeli) asing.
Bayangkan kalau qiyamat terjadi lebih awal gara-gara Said Aqil membuatkan tanda kedatangan qiyamat itu. Rugi ‘kan, Pak Jokowi?
Begitu juga Ma’ruf Amin. Beliau bahkan rugi lebih banyak lagi jika qiyamat datang seminggu atau sebulan setelah menang pilpres. Kiyai Ma’ruf merebut kemenangan itu mati-matian sampai-sampai beliau siap-sedia mengatakan dan melakukan berbagai kontroversi.
Betapa besar kerugian Kiyai Ma’ruf bila qiyamat terjadi setelah beliau menang pilpres tapi belum dilantik. Menjadi sirna impian duduk di istana wapres. Bermobil RI-2 ke mana-mana. Ajudan kolonel. Dikawal Paspampres 24 jam. Dapat hadiah rumah bagus di Jakarta setelah selesai masa jabatan pada usia Pak Kiyai ke-80. Semua ini akan batal.
Di atas itu semua, yang teramat penting adalah tekad keras Kiayi Ma’ruf untuk mewujudkan Islam Nusantara. Yaitu, Islam khas Indonesia yang akan menjadikan kebudayaan sebagai filter al-Qur’an. Yang akan menempatkan kebudayaan sebagai superioritas al-Qur’an.
Rencana dan tekad Kiyai Ma’ruf untuk Islam Nusantara ini akan sirna juga apabila qiyamat datang sebelum beliau dilantik menjadi wapres. Qiyamat yang dipicu oleh pelarangan kata “kafir” atas usul Said Aqil.
Selain kerugian Pak Jokowi dan Kiyai Ma’ruf, qiyamat yang datang lebih awal juga akan merugikan Said Aqil dan jajaran elit pimpinan NU sendiri. Betapa tidak. Pemerintah akan menyalurkan dana investasi sebesar 1.5 (satu setengah) triliun kepada PBNU. Sayang sekali kalau duit besar ini tak bisa dicairkan karena qiyamat datang cepat.
Jadi, alangkah baiknya kalau Said Aqil Siradj memikirkan kembali rekomendasi pelarangan kata “kafir”. Khawatir nanti penghapusan kata ini akan menjadi tanda kedatangan qiyamat.
Di atas tadi telah kita simak bersama berbagai kemungkinan yang merugikan Jokowi-Ma’ruf andaikata qiyamat terjadi setelah mereka menang pilpres tapi belum dilantik. Juga kerugian 1.5 triliun di pihak PBNU.
Semoga qiyamat masih lama. Agar ada waktu untuk bertaubat bagi kita semuanya. Agar kita tidak gegabah mengajak kaum muslimin untuk menghapus kata “kafir”. Siapa tahu, tanpa sadar kita berniat melarang kata ini karena dorongan nafsu keduniaan.
Semoga qiyamat masih jauh dan kita tidak menjadi bagain dari tanda-tanda kedatangan qiyamat itu. Wallahu a’lam.