(Panjimas.com) – Belum lama ini, Kamis, 28 Februari 2019, Munas NU di Kota Banjar, Jawa Barat memutuskan bahwa “Non-Muslim Bukan Kafir, Mereka Warga Negara” (nu.or.id). Menaggapi hal tersebut, KH. M. Najih Maimoen, seorang Ulama NU (Murid Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki) menjelaskan beberapa hal:
Non-Muslim adalah kafir sebagaimana yang tertera jelas dalam Nash-nash Al-Qur’an, Hadits dan Kutubussalaf. Meskipun dalam Fiqih Islam, ada beberapa istilah seperti harbi, dzimmi, musta’min dan mu’ahid, namun sifat kafir itu tetap melekat dalam diri mereka dan tidak bisa dihilangkan.
“Jika mereka enggan disebut kafir, terus maunya disebut apa?!. Kalau cuma dinamakan warga negara, kami khawatir suatu saat nanti kita (umat Islam pribumi) disebut WNA, sedang mereka (kafir pendatang) disebut WNI,” tagas KH. M. Najih Maimoen.
Keputusan Munas NU di atas semakin mempertegas posisi NU sekarang yang alergi terhadap istilah-istilah Qur’ani dan Musthalahat Ulama yang justru berimplikasi menghapus lafadz, makna dan hukum serta substansi yang terkandung di dalamnya.
Inilah wajah liberalisasi Islam yang terorganisir secara masif. Yahudi-Nasrani saja yang notabenenya Ahlul Kitab, disebut kafir oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, apalagi Hindu, Budha, Konghucu, Komunis, Atheis atau Komunis Gaya Baru (mengakui tuhan tapi menolak ajaran agamanya).
Dilegalkannya kepemimpinan kafir-Non Muslim dan membolehkan memilihnya dalam kontestasi Pileg, Pilkada, Pilgub dan Pilpres, serta penghapusan kata “kafir” sebagaimana yang dihasilkan Bahtsul Masail GP Ansor, Munas NU di NTB dan Munas NU di Banjar merupakan bukti konkrit bahwa NU era sekarang seakan telah ‘memvulgarkan’ keliberalan organisasinya, yang dulunya hanya dicemari oleh statement oknum-oknum liberal seperti Masdar Farid Mas’udi, Said Aqil Siradj, Ulil Abshar Abdalla dan Sang Maha Guru mereka.
“Namun NU kini tidak segan-segan mempercayakan urusan Bahtsul Masail (sebagai perumus atau mushahhih) kepada gembong liberal, Abdul Muqsith Ghozali cs,” sesalnya.
Orang-orang yang harus tanggung jawab dunia akhirat atas keputusan Bahtsul Masail Maudluiyah yang menyalahi syariat; KH. Miftahul Akhyar, KH. Subhan Ma’mun, Prof. Muhammad Ahsin, Masdar Farid Masudi, Yahya Cholil Staquf, Abdul Ghofur Maimun Zubair, H. Asrorun Niam Sholeh, Said Aqil Siroj, H. Marsudi Syuhud, dan H. Helmi Faishal Zaini.
Apakah keputusan Munas NU di Banjar ini ada hubungannya dengan didatangkaannya jutaan buruh dari China untuk mencoblos salah satu Paslon agar sah pencoblosannya dan diakui sebagai etnis Indonesia baru (komunis gaya baru)? Atau adakah hubungannya dengan caleg-caleg kafir China yang sudah sekian persen menduduki parlemen Indonesia? Atau terkaitkah dengan dengan munculnya fenomena ganjil Aliran Kepercayaan dalam e-KTP? Ini jelas ada campur tangan rezim yang disinyalir ingin menghidupkan Nasakom jilid baru.
Kalau sudah seperti ini, berarti NU pusat sudah mal’unah beserta seluruh liberalis-pro komunis yang bernaung di bawahnya, karena tidak menggubris Nash-nash Al-Qur’an Hadits dan kutubussalaf, dan menjadikan liberalisme (Islam Nusantara) sebagai agama barunya.
“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim.” Begitulah argumentasi yang dipaparkan Abdul Muqsith Ghozali selaku Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU di Komisi Maudluiyah Munas NU di Banjar.
Dalam tradisi pesantren, sah dan legalkah hal tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan hukum syar’i? Kenapa NU lebih semangat mengotak-atik istilah yang sudah baku dalam Islam? Apakah ada pihak-pihak luar (Kafir, Kristen, Cina dll) yang sedang mengancam dan siap menghabisi NU? Ngapain NU ngopeni rasa ketersinggungan kafir yang notabene ahli jahannam? Kok sampai segitunya ya?
Abdul Ghofur Maimoen, sebagai pihak yang memimpin komisi Bahtul Masa’il Maudluiyah dalam beberapa kesempatan menyampaikan pembelaannya atas keputusan Munas NU di Banjar. Di antaranya dia berdalih,
الأصل في العلاقة بين المسلمين وغيرهم هو السلم. العلة في الحرب الهجومي للكفار هي الحرابة وليست الكفر
Bahkan dengan dasar ini, dia berani membuat istilah Kafir Silmi. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ta’bir di atas tak lain adalah syubhat liberalisme yang gencar dipasarkan oleh pemikir-pemikir liberal Mesir, seperti M. Rasyid Ridla dan Musthofa as-Siba’i. Pendapat ini melawan konsensus jumhur ashhabil madzahib yang dengan tegas menyatakan الأصل في العلاقة بين المسلمين وغيرهم هو الحرب, pendapat ini didasarkan beberapa nash-nash agama.
Jika dia berkelit lagi dengan menggunakan ayat,
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة: 8)
Maka perlu dia catat bahwa ayat ini untuk urusan kekeluargaan, bukan urusan kenegaraan. Adapun saat ini, kita tidak memerangi orang-orang kafir, itu disebabkan karena kita tidak mempunyai pemerintahan yang melindungi dan menjamin keberlangsungan jihad fi sabilillah. Kami lebih selamat mengikuti fatwa Syaikh Ismail Zein, hal 200-212, yang dengan jelas menyatakan status keharbian non muslim Indonesia, namun karena lidafil mafsadah, kita tidak boleh memeranginya. Apakah Abdul Ghofur Maimoen sudah merasa lebih Alim dari Syaikh Ismail Zein? Ataukah ia sudah tergolong aba wastakbara…?
Keputusan Munas NU di Banjar secara eksplisit menganggap perbedaan agama bukanlah sebuah akidah yang prinsipil, NU secara implisit mendidik warganya untuk tidak mempermasalahkan perbedaan agamanya dan mendorong mereka untuk lebih bangga jika berstatus “sederajat” dengan orang-orang kafir.
Jika demikian adanya, lalu apa bedanya status Nahdliyyin dan status Komunis? Buat apa amaliyah kesehariannya (tahlilan, istighosah, tawasshul, shalawatan, diba’an dsb) jika bermental komunis-atheis?
Saat dalam keadaan terpojok, elit-elit NU seringkali meniru gaya rezim saat ini, yaitu tidak mau mengakui kesalahannya, berusaha mengelak dan mencari-cari pembenaran dengan berkelit dan mentakwil-takwil. Krisis amanah ilmiah dan moralitas memalukan seperti ini sudah seringkali terulang-ulang dalam tubuh NU.
Contoh kongkritnya yaitu ketika NU memutuskan keputusan-keputusan kontroversial seperti melegalkan kepemimpinan non muslim dan penghapusan istilah kafir, sebagaimana pemerintah saat ini yang seringkali salah dalam masalah data dan carut-marutnya penerapan kebijakan. Ajaib sekali, karakter keduanya hampir sama persis. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan NU kini telah disetir oleh rezim dengan mengucurkan dana besar lewat program Islam Nusantara. Sungguh naas sekali nasibmu kini, wahai NU, tergadaikan!
Demikian ini yang dapat kami sampaikan sebagai wujud kepedulian tinggi kami terhadap Organisasi warisan ulama salafusshalih Ahlussunnah wal Jama’ah agar tidak melenceng terlebih dari substansi orisinalitas agamanya. Semoga Allah SWT menghancurkan pihak-pihak yang ingin merusak NU, dan memberi taufiq dan inayah kepada mereka yang istiqomah merawat dan memperjuangkan NU ala thariqoti salafisshalih Ahlissunnah wal Jama’ah. Amin.
Wallahu a’lamu bisshawab.
Sarang, Jumat, 24 Jumadal Akhirah 1440 H./ 1 Maret 2019 M.