(Panjimas.com) – Manusia adalah pelaku sekaligus pembuat peradaban. Dan kualitas sebuah peradaban pun sangat tergantung dengan kualitas manusianya. Tanpa manusia-manusia unggul, tidak mungkin lahir peradaban yang kuat, berkualitas, dan menghasilkan karya peradaban yang monumental.
Sejarah telah membuktikan bahwa maju mundurnya sebuah peradaban sangat tergantung dari kualitas manusia pendukung peradaban tersebut. Dan itu adalah sebuah keniscayaan sejarah.
Tengoklah sejarah bangsa-bangsa di dunia ini, mulai dari manusia purba, era Mesopotamia, Sungai Nil, Lembah Sungai Indus, Lembang Sungai Kuning, Yunani Kuno, Pegunungan Andeas, Mesoamerika, zaman kuno, zaman Romawi, Dinasti Asia Timur, era Kejayaan Islam, Eropa dan Abad Pertengahan, zaman sejarah modern, sampai era kontemporer sekarang ini. Semua era peradaban itu dikenal karena kehebatan manusia pendukungnya.
Sejarah perabadan Islam pun telah memberi banyak pelajaran. Kekuatan sebuah peradaban sangat tergantung pada kualitas manusianya. Saat Islam berjaya, manusia-manusia yang menjadi pendukungnya adalah jenis manusia unggul. Keunggulan Islam sebagai sebuah peradaban, sangat ditopang oleh pribadi-pribadi unggul.
Saat awal Islam berkembang, Muhammad SAW adalah penggerak sekaligus poros dari kejayaan peradaban Islam. Dan sahabat-sahabat di sekitar Rasul SAW itu adalah jenis manusia yang tidak diragukan lagi kualitasnya, baik akhlak, perilaku, tingkat kesalehan, kepiawaiannya berdagang, keahliannya berperang, keunggulannya dalam kepemimpinan, dan yang pasti keteladanannya dalam tingkah laku sehari-hari.
Begitu juga dengan kepemimpinan Islam setelah era masa Rasulullah , masa Khulafaur Rasyidin, tabiin, dan dinasti-dinasti keislaman. Dengan modal manusia-manusia unggul itu, Islam berjaya dan mengalami era kemajuan yang sangat luar biasa (the golden age). Yakni sejak abad ke-7 sampai runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani (Ottoman) awal abad ke-20.
Lihatlah Dinasti Abbasiyah yang sukses melahirkan masa kekhalifahan selama beberapa abad. Puncaknya saat kekhalifahan dipegang oleh Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Dinasti Abbasiyah sukses membangun perpustakaan terhebat di masanya, yakni Baitul Hikmah.
Dari keberadaan Perpustakaan Baitul Hikmah ini, lahirlah tokoh-tokoh intelektual muslim hebat dan unggul yang mewarnai peradaban Muslim hingga saat ini. Di antaranya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lainnya. Begitu juga saat Dinasti Ottoman berkuasa, umat Islam mengalami masa keemasannya (the golden age). Pada masa ini lahir seorang tokoh penakluk, yakni Muhammad Al-Fatih.
Pendek kata, sejak era Rasulullah hingga masa Khulafaur Rasyidin lalu berlanjut hingga masa kekhalifahan, umat Islam menjadi berjaya. Tak hanya tokoh-tokoh Muslim dalam bidang agama Islam (fikih, tafsir, hadits), tapi juga intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Ada Al-Khawarizmi, Al-Jabbar, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lainnya.
Secara umum, pada masa Khulafaur Rasyidin hingga masa kekhalifahan, kekuasaan Islam membentang dari jazirah Arab sampai ke Eropa di belahan barat. Dari Jazirah Arab sampai Asia di belahan timur.
Dari Jazirah Arab sampai ke Afrika di belahan selatan. Islam juga berjaya dan jejaknya terlihat sampai ke negara-negara Balkan di belahan utara. Kekuasaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW mampu mendidik pengikutnya menjadi manusia-manusia berakhlak mulia.
Bagaimana dengan kondisi umat Islam saat ini? Kata seorang cendikiawan: “Jika umat Islam diumpamakan sebagai sebuah bangunan, saat ini fondasinya telah terguncang; ornamen dan dekorasinya sangat baik, tetapi dasarnya rapuh. Kita harus memperbaiki fondasi yang rapuh untuk menyelamatkan masa depan.”
Saat ini, umat Islam tak semaju di era kekhalifahan masa lalu yang mempunyai tekad kuat dalam menggali ilmu pengetahuan. Kini umat Islam mengalami kemunduran yang disebabkan kurangnya kepekaan dalam menggali ilmu pengetahuan. Umat Islam terlena dengan masa lalu dan terhipnotis dengan kemajuan teknologi Barat.
Umat Islam seolah merasa puas dengan apa yang telah dihasilkan intelektual dan cendikiawan Muslim masa lalu. Umat Islam seolah sudah merasa bahagia karena ‘pernah’ memiliki cendikiawan Muslim hebat di masa lalu.
Sehingga tak punya kemampuan serta keberanian untuk ‘mengolah’ dan menggali kembali ilmu pengetahuan. Jika umat Islam mau dan berupaya kembali menggali ilmu pengetahuan, niscaya akan lahir kembali manusia-manusia Muslim yang unggul dan hebat.
Pertanyaanya adalah bagaimana menghasilkan manusia unggul itu, sehingga kita bisa menyelamatkan masa depan dan membuat Islam mampu berjaya kembali? Jawabanya terletak pada kemampuan membangun tiga pilar literasi, yaitu budaya baca, budaya diskusi, dan budaya tulis.
Artinya, untuk mampu membangun kembali kejayaan Islam dan bangsa, —suka tidak suka— mesti bermula dari kemampuan menghasilkan manusia-manusia yang melek literasi. Tanpa didukung oleh manusia-manusia yang melek literasi, rasanya sangat sulit membangun kembali kejayaan Islam.
Saat ini, telah kita sadari bersama, dunia literasi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya. Tak hanya di dunia, di Asia bahkan ASEAN saja, negeri ini jauh tertinggal. Dalam sejumlah penelitian, bahkan Badan Dunia seperti UNESCO, pernah menyebutkan bahwa tingkat melek literasi (gemar membaca) rakyat Indonesia hanya 1/1000.
Artinya, dari 1000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang suka membaca. Dengan asumsi demikian, maka sesungguhnya rakyat Indonesia yang melek literasi tak lebih dari 260 ribu jiwa (1/1000 dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 260 juta jiwa).
Tak hanya itu, tantangan lain yang dihadapi bangsa ini adalah soal melek huruf. Masih banyak rakyat Indonesia yang buta huruf alias tidak bisa membaca dan menulis. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI saat memberikan sambutan pada acara Hari Aksara Internasional 8 September 2017 di Kuningan, Jawa Barat, menyebutkan bahwa masih ada 2,07 persen rakyat Indonesia yang buta huruf. Ia menyebut sekitar 3,4 juta jiwa. Tentu saja, angka ini masih terbilang besar, sebab angka 2,07 persen berarti ada sekitar 5,1 juta jiwa yang buta huruf.
Sejumlah provinsi di Indonesia juga masih buta huruf dan belum mampu membaca. Sebanyak 7,91 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat; 5,15 persen di Nusa Tenggara Timur; 4,58 persen di Sulawesi Barat; 4,50 persen di Kalimantan Barat; 4,49 persen di Sulawesi Selatan; 3,57 persen di Bali; 3,47 persen di Jawa Timur; 2,90 persen di Kalimantan Utara; 2,74 persen di Sulawesi Tenggara; dan 2,20 persen di Jawa Tengah.
Sementara 23 provinsi lainnya sudah berada di bawah angka nasional. Jika dilihat dari perbedaan gender, tampak bahwa perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah 1.157.703 orang laki-laki dan perempuan 2.258.990 orang.
Persentase buta aksara itu menurun dibandingkan tahun 2015, sebanyak 3,56 persen atau 5,7 juta penduduk buta aksara. Pada 2014, jumlah penduduk buta aksara adalah 3,7 persen atau 5,9 juta orang. Persentase buta aksara itu menurun dibandingkan tahun 2015, sebanyak 3,56 persen atau 5,7 juta penduduk buta aksara. Pada 2014, jumlah penduduk buta aksara adalah 3,7 persen atau 5,9 juta orang.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya perpustakaan dan taman bacaan masyarakat. Tercatat, sampai tahun 2016, terdapat sekitar 157.585 perpustakaan di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Jumlah tersebut apabila dibagi meliputi;
497 perpustakaan kabupaten/kota; 23.281 perpustakaan desa/kelurahan; 118.599 perpustakaan sekolah; 2.428 perpustakaan perguruan tinggi; 9.000 perpustakaan khusus (di instansi negeri dan swasta), 3.000 perpustakaan di tempat ibadah dan 7. 780 perpustakaan komunitas (taman bacaan masyarakat).
Di sisi lain, anggaran untuk meningkatkan daya masyarakat agar mampu mengenal huruf dan membaca, masih tergoling rendah dibadingkan Negara-negara ASEAN. Misalnya, Singapura mengalokasikan anggaran untuk perpustakaan hingga Rp 1,7 triliun per tahun, Malaysia sebesar Rp 6,68 triliun. Sementara negeri kita hanya Rp. 500 miliar.
Untuk itu, maka perlu langkah-langkah konkrit untuk melepaskan diri dari jeratan buta aksara ini. Di antaranya, pertama, dengan menumbuhkan kesadaran akan motivasi belajar. Sebab lemahnya motivasi belajar merupakan akar permasalahan dalam usaha penuntasan tuna aksara. Kedua, yakni melakukan kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta dalam upaya gerakan masif penuntasan tuna aksara.
Ketiga; mengintegrasikan program pendidikan keaksaraan dengan program-program pemberdayaan masyarakat lainnya. Hal ini dapat dimaksimalkan melalui dukungan anggaran APBN sebagai investasi dalam menciptakan masyarakat yang melek aksara. Dan keempat, memperbanyak bacaan serta tempat belajar bagi masyarakat, seperti perpustakaan dan tamaan bacaan masyarakat.
Begitu pula, perpustakaan yang ada di tempat Ibadah, khususnya masjid dan mushala. Di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, misalnya, hanya terdapat sekitar 164.711 perpustakaan, dan sekitar 1000 unit merupakan perpustakaan masjid, dengan segala fasilitas pendukung (buku) yang terbatas.
Maka, memasuki tahun 2019, kita semua berharap, bangsa ini semakin maju, semakin terkemuka dan semakin cerdas. Literasi Islam bersanding dengan kemampuan anak bangsa dalam membawa negeri ini ke arah yang lebih baik, menuju negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan maju serta senantiasa dalam ridha dan ampunan Allah SWT.
Dengan dasar itulah, Islamic Book Fair (IBF) kembali digelar oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta, pada 27 Februari hingga 3 Maret 2019 di Jakarta Convention Center (JCC). Dengan tema “Literasi Islam untuk Kejayaan Bangsa”, IBF 2019 diharapkan membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia. Membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh anak bangsa.
Dalam upaya menyelamatkan masa depan bangsa melalui literasi ini, kita mungkin pernah lelah. Kita mungkin pernah kalah. Namun, kita tidak boleh menyerah. Sebab, pemenang kehidupan sejati hanyalah milik orang-orang yang selalu bangkit dari kelelahan. Selalu bangkit dari kekalahan. Selalu bangkit dari keterpurukan.
Semoga upaya kita untuk mau bersusah payah dalam membangun dunia literasi Islam, berteguh dalam prinsip kebenaran, dan berjuang untuk kejayaan bangsa tercinta, dicatat sebagai ladang amal untuk kita semua, dan menjadi ijazah tersendiri dalam kemuliaan hidup kita. Insya Allah langkah-langkah kita bermanfaat bagi bangsa, negara, dan umat manusia.
Penulis: Syahruddin El-Fikri
Wakil Ketua Panitia IBF 2019