Panjimas.com) – Tanwir Muhammadiyah yang dilaksanakan di Bengkulu dari tanggal 15 sampai dengan 17 Februari 2019 akhirnya menghasilkan keputusan yang ditunggu masyarakat luas terutama Warga Muhammadiyah.
Tanwir Muhammadiyah itu dilaksanakan di saat hiruk-pikuk kontestasi Pilpres sedang berlangsung saat ini. Bahkan penyelenggaraan Tanwir pun diramaikan dengan isu seputar Pilpres tersebut.
Ketidak hadiran Capres Prabowo Subianto di arena Tanwir sempat digoreng oleh pendukung Capres 01 sebagai bentuk ketidak pedulian Prabowo kepada Muhammadiyah, meskipun hal itu sudah dibantah oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bahwa ketidak hadiran Prabowo karena khawatir akan disoal oleh Bawaslu mengingat pelaksanaan Tanwir dilaksanakan di Kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Lokasi yang memang sebenarnya tidak dibenarkan sebagai ajang kampanye Capres.
Sebaliknya, kehadiran Presiden Joko Widodo yang menggantikan posisi Wakil Presiden Jusuf Kalla di acara pembukaan Tanwir juga telah dijadikan isu seolah terjadi intervensi Presiden terhadap penyelenggaraan Tanwir Muhammadiyah. Bahkan soal panggung dan karpet merah pun disinggung sebagai bentuk intervensi.
Dinamika Tanwir dan sorotan masyarakat atas penyelenggaraan Tanwir Muhammadiyah menunjukkan betapa sikap Muhammadiyah yang selama ini selalu menjaga jarak yang sama (atau istilah lainnya adalah menjaga kedekatan yang sama) dengan kekuatan politik dan tetap menjunjung sikap independensi terhadap intervensi politik benar-benar sangat dinantikan.
Muhammadiyah diharapkan bisa menjadi oase di tengah hiruk pikuk tarikan politik yang hampir menyeret semua kekuatan civil society di Indonesia. Dengan sikap dari Muhammadiyah tersebut yang tetap independen dan rasional diharapkan bisa menjadi rujukan yang jernih bagi warga Indonesia yang masih menggunakan hati nurani dan akal sehatnya dalam menentukan pilihan politiknya nanti.
Bahwa saat ini kontestasi Pemilu khususnya Pilpres justru lebih diwarnai dengan isu dan persoalan yang hanya remeh temeh yang kemudian malah menjadi trend dan mengoyak emosi. Sementara pertarungan gagasan yang sifatnya lebih substantif justru terlupakan.
Sayangnya hal ini juga mempengaruhi para juru debat dan juru bicara Capres. Diskusi di media televisi dan juga media sosial diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya sampingan, bukan pada pokok masalah. Bahkan kadang persoalan sampingan itu terbawa sampai ke ranah hukum dengan saling lapor dan saling menuntut. Akibatnya, masyarakat dijauhkan dengan masalah utama dari persoalan berbangsa dan bernegara.
Tapi mungkin itulah resiko dari arah kehidupan sosial yang saat ini lebih mengarah kepada populisme dan imagologi. Dunia lebih dikonstruksikan kepada kepopuleran dan pencitraan. Siapa yang paling populis dan paling bagus pencitraannya dianggap yang bakal menjadi pemenang.
Maka wajar kalau seorang Kepala Negara pun harus tampil jadi “pembalap” untuk membuka sebuah perhelatan Asian Games. Atau seorang pemimpin parpol harus tampil genit dan “tidak membawa otak” dalam sebuah iklan yang mahal di televisi, hanya untuk menarik perhatian kaum milenial.
Para tokoh politik dan partai politik tidak lagi menjadi agen pencerahan dan penyadaran masyarakat, tetapi malah larut dalam hura-hura populisme dan pencitraan.
Kembali ke Tanwir Muhammadiyah, apa yang diputuskan dalam Sidang Tanwir ternyata sama sekali tidak terpengaruh dengan isu yang berkembang di luaran. Muhammadiyah tetap dengan kepala dingin memunculkan dua keputusan ; Risalah Pencerahan dan Rekomendasi. Keduanya memberikan arah yang jernih bagaimana seharusnya kita sebagai warga bangsa harus berpijak.
Keputusan Tanwir juga mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah tetap bersikap independen, tidak dipengaruhi oleh intervensi politik. Mungkin keputusan Tanwir ini agak mengganggu bagi mereka yang berharap Muhammadiyah akan menyatakan sikap dukungan kepada kandidat tertentu.
Sering hadirnya kandidat Capres maupun banyaknya bantuan Capres tidak mempengaruhi sikap dari Muhammadiyah yang tetap independen. Muhammadiyah bukan lah anak kemarin sore yang langsung gembira karena ada gula-gula. Muhammadiyah paham apa yang harus dilakukan untuk bangsa ini. Muhammadiyah adalah ibu bagi Indonesia, karena memang turut merintis, melahirkan, dan menjaganya.
Maka sesungguhnya sumbangsih Muhammadiyah untuk negara Indonesia sangatlah besar dan tidak terhitung. Jadi, wajar saja kalau ada orang atau kelompok yang ingin membantu Muhammadiyah untuk kemudian disumbangkan kembali bagi negara Indonesia, dan jangan berharap mendapatkan pamrih dari Muhammadiyah.
Dalam kontestasi pilpres saat ini dan juga sebelumnya, menurut dirinya adalah Insya Allah Muhammadiyah bukan bagian yang berpikir untuk mendapat imbalan berupa jabatan atau materi. Jika nanti ada pemenang Pilpres yang memberi jabatan kepada tokoh atau aktivis Muhammadiyah, atau kemudian mengajak Muhammadiyah dalam proses membangun bangsa Indonesia.
Itu semata-mata karena mereka merasa Muhammadiyah sebagai komponen strategis bangsa Indonesia yang layak untuk dilibatkan, bukan karena konsesi atau pun hadiah yang diberikan.
Demikian pula jika ada eksponen Muhammadiyah yang terlibat dalam kontestasi pilpres, yakinlah mereka bukanlah para pemburu kekuasaan dan ghanimah, tetapi itu karena rasa keterpanggilan dan kepedulian kepada Bangsa Indonesia agar bisa tampil lebih baik dan menjadi Bangsa Pemenang. Percayalah ! [ES]
Penulis, Muhammad Izzul Muslimin
Ketua Koordinator Presidium Aliansi Pencerah Indonesia (API), kader Muhammadiyah