(Panjimas.com) – Menarik untuk dicermati RUU PKS (Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang sudah masuk prolegnas periode antara 2015 – 2019. Tentunya desakan untuk segera mensahkan RUU PKS ini begitu kuat. Di samping latar belakang terjadinya kejadian demi kejadian yang berhubungan dengan pelecehan seksual kerapkali menimpa kaum wanita. Yang terbaru dan sempat ada indikasi pengajuan grasi ke presiden adalah kasus pelecehan seksual yang dialami oleh saudari Baiq Nuril.
Tulisan ini selanjutnya akan mencermati beberapa pasal dalam RUU PKS. Yang urgen dan mendasar untuk dicermati adalah mengenai definisi dari frase Kekerasan Seksual. Di dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat ke-1 dijelaskan bahwa “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan atau politik.
Dari definisi kekerasan seksual tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa selama perbuatan yang disebutkan yakni merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, dilakukan tanpa ada paksaan, tentunya tidak bisa dijerat oleh hukum. Artinya perbuatan – perbuatan yang dimaksud dilakukan atas dasar saling menguntungkan dan sukarela. Inilah pintu pertama dari cacat pendefinisian, yang akibatnya membuka celah upaya liberalisasi.
Berikut ini beberapa pasal di dalam RUU PKS yang menjelaskan bentuk – bentuk kekerasan seksual.
Pasal 5,
Ayat 1; setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya.
Ayat 2; Bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 meliputi, a. pelecehan seksual, b. Kontrol seksual, c. Perkosaan, d. eksploitasi seksual, e. Penyiksaan seksual, dan f. perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas, dan atau organ reproduksi sebagai sasaran.
Pasal 7
Ayat 1; Tindak pidana control seksual sebagaimana pasal 5 ayat 2 huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan, dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.
Ayat 2; Kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi,a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu, b. Pemaksaan kehamilan, c. Pemaksaan aborsi, c. Pemaksaan sterilisasi, dan e. Pemaksaan perkawinan.
Sesungguhnya asas nilai yang mendasari diajukannya RUU PKS adalah nilai liberalisme. Bahwa manusia berkuasa atas dirinya sendiri. Manusia itu mempunyai 4 kebebasan pokok yakni kebebasan beragama, kebebasan beperilaku, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berpendapat. Ukuran dari pemenuhan 4 macam kebebasan tersebut adalah selama seseorang dalam memenuhi kebebasannya tidak merugikan hak orang lain untuk memenuhi 4 kebebasan tersebut. Fungsi negara dalam hal ini layaknya satpam yang mengatur regulasi agar setiap individu bisa menikmati kebebasannya dengan sebaik – baiknya.
Di dalam RUU PKS ini sudah memberikan ruang lingkup contoh dan definisi dari frase kekerasan seksual. Ambil contoh tindak pidana kontrol seksual. Seseorang siapapun dia dilarang untuk memaksa menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Padahal sebagai seorang muslimah, Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan agar menggunakan pakaian khusus ketika keluar rumah, yakni jilbab dan kerudung. Lantas apakah dengan alasan merasa dipaksa kemudian kewajiban memakai jilbab dan kerudung itu gugur bagi kaum muslimah? Bisa – bisa nanti para muballigh yang menjelaskan haramnya memakai pakaian yang membuka aurat dan wajibnya bagi kaum wanita memakai busana muslimah, akan dilaporkan oleh orang – orang yang merasa kebebasannya dikekang dengan pengajian tersebut. Bahkan orang tuanya sendiri pun tidak segan untuk dilaporkan karena memaksa anaknya memakai busana muslimah. Potensi dari RUU PKS ini hingga melahirkan manusia – manusia yang tidak takut dengan Tuhannya, Allah SWT.
Di samping itu, RUU PKS ini membuka peluang yang lebar akan maraknya perzinaan. Secara naluriah orang yang melakukan zina tidak siap menerima konsekwensi dari perbuatan zinanya yakni mendapatkan kehamilan. Tentunya tidak akan bisa dijerat hukum, bila mereka berinisiatif untuk membuang bayinya atau melakukan aborsi. Mereka pun lantas bisa tenang menikmati kumpul kebonya.
Termasuk sesuatu yang harus disegerakan dalam Islam adalah mengawinkan anak wanita ketika sudah ada calon suaminya. Dengan alasan ingin menuntut ilmu lebih, atau ingin mengejar karir supaya nanti kehidupan perkawinannya tercukupi secara ekonomi, si wanita memutuskan untuk tidak mau segera menikah. Biarlah mereka jalani kehidupan cintanya dengan berpacaran agar lebih mengenal satu sama lain lebih dalam. Pada kondisi seperti ini, anjuran dan perintah orang tuanya untuk segera melakukan perkawinan akan bisa berujung pada delik pidana. Hal demikian rentan akan mendisharmonisasi hubungan antar anggota keluarga.
Bahkan pada pasal 8 RUU PKS, dijelaskan mengenai aktifitas pemerkosaan. Ironisnya, RUU PKS ini menggolongkan pemerkosaan itu bisa terjadi dalam dua kondisi yakni kondisi di luar perkawinan dan kondisi di dalam perkawinan.
Disebut pemerkosaan adalah dalam kondisi dipaksa. Ketika suatu hubungan kelamin tanpa ada kondisi paksaan, bukan lagi pemerkosaan untuk menyebutnya, akan tetapi yang tepat hal tersebut adalah perzinaan. Jadi tidak ada istilah pemerkosaan tanpa paksaan, padahal sejatinya yang dimaksud adalah zina. Propaganda zina begitu kental nuansanya.
Bahkan lebih dari itu, bangunan keluarga bisa terancam hancur. Bagaimana mungkin seorang suami disebut melakukan pemerkosaan kepada istrinya? Padahal mereka berdua sudah halal untuk saling mengecap kenikmatan satu sama lain.
Tatkala suami menginginkan istriya untuk melayani hasrat seksualnya, maka apakah layak sang istri menolaknya hanya karena alasan belum menyetujui atau memang tidak ada keinginan? Lantas suaminya dilaporkan karena melakukan pemerkosaan di dalam perkawinan.
Sebagian orang bisa jadi memandang bahwa hukum Islam atas wajibnya seorang istri melayani hasrat sekrual suaminya walau ia sendiri masih berada di dekat tungku api, dipandang sebagai bagian dari pelanggaran atas hak asasi manusia. Pola berpikir demikian bermula dari asas berpikirmya. Adalah kewajaran ketika orang sekarang sudah hidup sekian belas hingga puluhan tahun dalam kondisi yang jauh dari nilai – nilai Islam dalam regulasi perundang – undangan, maka pola berpikirnya tidak jauh beda dengan fenomena yang disaksikannya dari maraknya pergaulan bebas dan berbagai kejahatan. Parahnya dengan pola berpikir yang sekuleristik , berusaha untuk mengoreksi nilai nilai dan hukum islam.
Sesungguhnya pasangan suami istri yang baik, yang memahami hak dan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam hukum agama, tidak akan menemukan persoalan terkait hubungan seksual di antara keduanya. Tidak akan ada perasaan istri merasa dipaksa oleh suaminya dalam melakukan hubungan seksual.
Demikianlah beberapa pasal dalam RUU PKS yang merupakan lubang biawak bagi kaum muslimin di negeri tercinta ini. Ngomong – ngomong tentang lubang biawak, penggambaran hadits tentang lubang biawak sebagai kulminasi dari upaya mengikuti jejak dan budaya orang – orang kafir. Ketika wanita – wanita muslimah itu sudah masuk ke dalam perangkap lubang biawak, akibat mengerikan akan segera terjadi. Hancurnya tatanan keluarga dan masyarakat. Tidak ada lagi nilai – nilai moral dan keluhuran di tengah tengah masyarakat. [RN]
Penulis, Ainul Mizan, S.Pd
Guru, tinggal di Malang